Thursday, March 24, 2005

Media, damai, dan perang

(Media dalam konflik Ambalat)

Menurut saya, tak ada media yang akan diuntungkan dari perang. Terutama bagi media-media yang lahir, hidup, dan menjalankan bisnisnya di masyarakat/negara yang terlibat. Kecuali media yang
berada di 'luar konteks masalah' yang akan menangguk untung, atau media yang besar dan berbasis di masyarakat/negara yang lebih kuat dan tak berpengaruh langsung terhadap konteks perang tadi. Pengalaman sejumlah media di tempat perang, ketika mereka bersikap terlibat, bisa dipastikan mereka akan kehilangan separo audiens-nya. Ketika media berpihak ke A, separo yang tidak suka A akan menjauhi media itu. Dan berbeda dengan jenis konflik lain, --dalam konflik perang/kekerasan, lebih sulit lagi. Begitu menyatakan ikut mendukung perang/mengobar perang, bisa dipastikan dihindari yang pro damai, dan ketika habis perang, meskipun menang, media tersebut akan tetap dapat cemoohan sebagai media pengobar perang. Pengalaman di Ambon, juga media-media di balkan, media yang sebelumnya baik/netral, ketika ikut terpengaruh konflik, akhirnya susah, meski perang sudah usai, susah sekali mereka untuk tumbuh mendapat kepercayaan sebagai media yang pro damai/kemanusian/kebaikan/profesional sebagai kelayakan media yang konvensional, akan tetap dianggap media yang pro kekerasan.

Saya kira, kalau terjadi perang, tak ada satu pun media di Indonesia maupun Malaysia yang akan bisa menangguk untung. Apapun editorialnya, mendukung atau menolak perang. Bagi yang pengobar perang, mungkin akan menangguk untung/mendapat respon sentimen eksklusifitas dukungan selama mungkin 1/4 waktu dalam periode waktu perang itu, habis itu akan diacuhkan audiens-nya. Meski mungkin menang, akan tetap dianggap media yang mendukung perang/kekerasan. Apalagi ini perang dalam bangsa serumpun dan relatif dekat ikatan batinnya.

Tapi bagi media di luar Indonesia maupun Malaysia, kalau terjadi perang benar, merekalah yang akan menangguk untung. Ketika terjadi konflik di Ambon, dan beberapa media terjebak dalam publisitas pro kekerasan, beberapa wartawan berusaha jangan sampai di Indonesia akan ada catatan ada wartawannya yang seperti pengalaman didalam konflik Hutu/Tutsi di Rwanda, ada wartawan/media yang terjebak menjadi pengobar kekerasan, dan ketika perang usai, 2 wartawannya masuk dalam
peradilan internasional karena dianggap ikut terlibat dalam pengobaran perang.

Kasus yang menimpa lembaga media serbia, Serbian Radio and Television (SRT) dan media Rwanda, Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) bisa menjadi pelajaran berharga. Media yang terjebak menjadi media pengobar perang akhirnya harus membawa beberapa pengelolanya ke peradilan dengan dakwaan ikut menjadi pengobar kekerasan perang. Dan meski perang kemudian berakhir, lembaga media ini tetap mendapat stigmatisasi sebagai lembaga media pro perang/kekerasan.

Jurnalisme damai menjadi solusi tawaran yang menarik. Perang tak membawa sesuatu pun yang menguntungkan bagi kelangsungan bisnis media.

Wahyuana,
March 2005