Wednesday, March 22, 2006

Investor Asing Dalam Kepemilikan Bank di Indonesia

by Wahyuana

Liberalisasi sektor perbankan masih terus berlanjut di Indonesia. Trend yang berawal dari krisis perbankan tahun 1997-1998 itu kemungkinan masih akan terjadi bagi bank-bank dalam mencari solusi kesulitan likuiditas. Apalagi BI telah mengeluarkan kebijakan untuk menghapus blanket guarantee mulai bulan Maret 2006 ini, dan juga kebijakan berupa kewajiban pemenuhan batas minimal permodalan bank, -- menuju program Asitektur Perbankan Indonesia (API) yang akan dimulai sejak tahun 2007-- yang mengharuskan bank-bank bermodal kecil untuk segara mencari tambahan ‘dana segar baru.’

Liberalisasi kepemilikan bank ini, bermula dari program divestasi perbankan yang dilaksanakan pemerintah melalui BPPN, terhadap bank-bank rekap akibat krisis perbankan delapan tahun lalu, yang kemudian merubah struktur kepemilikan bank menjadi dikuasi kepemilikan asing, dan sekarang ditengarai pengaruh asing mulai berimbas ke permainan pasar bank. Apalagi pemerintah Indonesia melonggarkan peraturan penguasaan saham-saham perbankan bagi investor asing bisa sampai 99% proporsi saham. Ini berbeda dengan di China misalnya, yang membatasi penguasaan saham asing di industri perbankannya hanya sampai 25%, sehingga pemerintah masih dapat mengontrol industri bank.

Kepemilikan asing (lihat tabel 4.) seperti di BCA, Bank Danamon, Bank Niaga, BII, Permata Bank, dan Lippobank mengakibatkan penguasaan pasar bank oleh pihak asing. Saat ini penguasaan pihak asing di industri perbankan nasional sampai 48,51%, sedangkan pemerintah hanya 37,45%, dan sisanya pelaku swasta nasional. Dari 131 bank di Indonesia saat ini, kepemilikan di 41 bank diantaranya dikendalikan oleh pihak asing. Mereka terdiri atas bank campuran, cabang bank asing di Indonesia, serta bank swasta yang dimiliki asing. Porsi kepemilikan itu akan terus meningkat, apalagi bank-bank swasta kecil sekarang ini lebih suka dibeli oleh asing... (more continued)

Berebut Nasabah Dengan Bersaing Layanan

by Wahyuana

Lucki (26) seorang pedagang karangan bunga via online internet, selama ini sudah memiliki tabungan tahapan di BCA, dia membuka 2 rekening untuk kepentingan pribadi dan bisnisnya. Lewat rekening BCA itu dia menjalankan menajemen keuangan binisnya, mulai mengurus pembayaran penerimaan pesanan melalui transfer antar bank sampai membayar gaji karyawannya setiap bulan. Semua sudah bisa dilakukan via internet, bahkan melalui handphone-nya, sehingga amat praktis dan cepat.

Namun dalam beberapa hari ini dia menemukan iklan sebuah bank di majalah yang menawarkan hadiah gila-gilaan bagi nasabahnya. Hadiah undian puluhan mobil tiap 3 bulan, kemudahan akses bank lewat internet sampai handphone, dan ATM yang akan dia miliki kalau menjadi nasabah, yang dapat digunakan untuk berbagai macam transaksi dan transfer antar bank, tak hanya untuk nasional transfer tetapi bahkan internasional dengan beban fee transfer yang kecil.

Besoknya Lucki pun tertarik untuk membuka rekening di bank itu, dan memindahkan semua tabungan ke no rekening baru dan bank pengiklan itu. Dan rekening BCA-nya dibiarkan bersaldo minimal. Ia pindahkan seluruh uang dengan harapan akan bisa memenangkan undian yang hadiahnya gila-gilaan itu... (more continued)

Kemana Arus Kredit Perbankan Mengalir ?

by Wahyuana

Sejak terjadi krisis ekonomi delapan tahun lalu sampai saat ini, sektor konsumsi dan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi pilihan favorit alternatif bagi arus penyaluran kredit perbankan nasional. Karena telah terbukti, dibanding sektor korporasi, sektor UMKM ternyata justru lebih tahan banting menghadapi krisis moneter. Pelaku usaha UMKM ternyata juga lebih tertib dan disiplin dalam mematuhi pengembalian kreditnya. Selain itu, ditengah krisis, sektor UMKM juga masih mendatangkan margin keuntungan yang tinggi.

Namun ditengah ‘krisis mini’ yang sedang membelit industri perbankan saat ini, pertumbuhan kredit perbankan tahun 2006, termasuk bagi kredit konsumsi, diperkirakan akan melambat. Diperkirakan akan tumbuh sekitar 10-15% dibanding tahun 2005, atau bahkan mungkin hanya stagnan. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, pasca krisis, pertumbuhan kredit perbankan selalu diatas 20%.

Tahun 2002 industri perbankan menyalurkan total kredit sebesar Rp. 410 triliun, atau meningkat 14,4% dibanding tahun 2001. Per Desember 2003, total kredit perbankan yang disalurkan naik lagi menjadi Rp. 477,19 triliun. Dan tahun 2004, total kredit yang disalurkan mencapai Rp. 547,5 triliun. Sedang tahun 2005 angka itu melonjak ke angka sekitar Rp. 600 triliun. Namun di tahun 2006, ditengah bayang-bayang resiko terjadinya kredit macet akibat inflasi yang tinggi dan penurunan net interest margin (NIM) akibat cost of fund yang besar, tampaknya akan membuat industri bank berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya... (more continued)

Sunday, March 19, 2006

Krisis Mini Sedang Menyelimuti Industri Perbankan Indonesia

By Wahyuana

Perolehan laba bersih industri perbankan tahun 2005 mencapai Rp. 24,9 triliun atau turun 18,3% dibandingkan laba tahun 2004 yang mencapai Rp. 29,46 triliun. Menurut sejumlah pengamat perbankan yang ditemui mengatakan, penurunan laba 18,3% di tahun 2005 ini lebih merupakan imbas dari kondisi makro ekonomi yang sedang dilanda ‘krisis mini.’ “Kinerja perbankan membaik, tetapi faktor makro ekonomi yang memang sedang sulit,” ujar seorang pengamat perbankan. Sejumlah faktor eksternal seperti kenaikan BBM yang tak terkira (rata-rata mencapai 126,6%), telah mendorong kenaikan laju inflasi nasional sampai 18%. Belum lagi suku bunga BI yang masih tinggi 12,75%. Nilai rupiah belum stabil, masih sering terfluktuasi akibat pengaruh penyesuaian harga minyak dunia yang juga sering terfluktuasi. Faktor-faktor ini menyebabkan harga-harga melambung tinggi, yang akhirnya menyebabkan beban biaya ekonomi produksi tinggi. Akhirnya debitor-debitor menunda pembayaran kredit bank, yang ujung-ujungnya industri perbankan yang paling terkena imbasan negatif.

Dilihat dari NPL (Non Performing Loan) yang meningkat menjadi 8,2% atau naik dari 4,5% dari awal tahun 2005, menunjukkan adanya peningkatan jumlah kredit macet yang dialami industri perbankan, meski jumlah belum mengkhawatirkan seperti ketika terjadi krisis perbankan tahun 1997-1998. Nilai standard ideal NPL sesuai ketetapan BI sebesar 5%. NPL ini mencerminkan buruknya sektor usaha dalam pengembalian kreditnya. Sektor perindustrian yang menyerap 48,25% kredit perbankan, mencatatkan NPL yang paling tinggi yaitu 3,41% (Lihat tabel 2.) Angka ini menunjukkan bahwa sektor industri sedang benar-benar terpukul akubat kenaikan BBM tahun lalu... (more continued...)

In Japanese was published at JIEF Magazine

Saturday, March 18, 2006

Tsunamis : "Korban" atau "Orang Bermasalah"



Oleh : Wahyuana*


Santi Ochi, perempuan 43 tahun, sudah berjam-jam berjalan hilir mudik sambil menggendong sebuah keranjang berisi 8 buah nanas di hamparan pasir putih Pantai Hikkaduwa, Galle, Srilanka Selatan, yang dipenuhi oleh ratusan turis asing yang sedang berjemur dan bermain selancar. Dia menjual dagangan buah nanas Rp. 10 ribu per buah. Namun, tak banyak orang yang memperhatikannya. Semua orang terlena dengan kesenangannya sendiri, tak mau tahu dengan barang dagangan Ochi buah-buah nanas yang manis dan murah. Mereka juga tidak peduli terhadap keras Ochi yang sudah seharian di sengat cahaya matahari pantai untuk menjajakan barang dagangannya. Apalagi atas derita Ochi.

Ochi merupakan salah satu korban tsunami atau disebut tsunamis. Suaminya meninggal ketika bencana tsunami menyapu habis semua pemukiman pinggir pantai di Bossa, Srilanka Selatan. Sekarang ia harus menanggung sendiri kehidupan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, Lansa (7 tahun), Madura (9 tahun), dan Acala (12) yang tinggal di bawah tenda di pemukiman pengungsi sementara di Bossa, Srilanka, sekitar 5 kilometer di selatan Pantai Hikkaduwa. Untuk menghidupi keluarganya ia mencari uang dengan berjualan buah nanas dan cindera mata bagi para turis asing. Kadang-kadang dalam sehari ia berhasil menjual semua barang dagangannya, namun juga sering semua dagangannya masih utuh alias tidak ada yang membeli. "Orang sekarang semakin tidak peduli terhadap kami," ujarnya, sambil mengeluh barang dagangannya yang tak seberapa banyak itu susah menjualnya.

Setahun pasca tsunami, masih banyak korban tsunami atau tsunamis yang belum pulih kembali kehidupannya, masih menggantungkan hidupnya atas bantuan dari orang lain. Bahkan tak jarang mereka kemudian menjadi pengemis. Seperti yang ditemui penulis di terminal bus umum Kota Galle, Srilanka Selatan. Dinuka (lelaki, 54) meminta uang kepada semua orang yang ia temui di pintu masuk terminal, sambil menerangkan kalau dirinya korban bencana tsunami sehingga memohon perlu bantuan, dia juga memperlihatkan foto anaknya yang kecil, yang katanya juga terkena penyakit polio. Namun tak banyak orang yang memperhatikannya, meskipun ia sudah berteriak-teriak dan meminta uang dengan memaksa.

Di Srilanka, banyak orang yang sudah mulai melupakan dan 'acuh' terhadap para tsunamis, padahal mereka masih sangat membutuhkan bantuan. Bahkan mulai timbul kesan negatif terhadap para korban tsunami yang kadang-kadang ada korban tsunami yang mencari bantuan dari rumah ke rumah untuk meminta pekerjaan atau uang, dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang sedang bermasalah.

Sebuah survey yang dilakukan oleh UNDP bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia Srilanka telah mengadakan dialog dengan sekitar 800 kelompok-kelompok masyarakat, mengunjungi 1.100 desa dari 13 kabupaten yang terkena tsunami, mereka mendapati keluhan meningkatnya sinisme masayarakat terhadap mereka para korban tsunami. "Para korban tsunami mulai terkena stigma sosial sebagai 'orang-orang yang bermasalah' atau ungkapan sinis 'orang yang dapat rejeki dari bencana tsunami' dari masyarakat yang lebih luas," ujar laporan itu. Sikap sinis ini ditengarai bisa mendatangkan sikap deskriminasi terhadap para korban tsunami.

Tak urung hasil laporan ini menjadi salah satu isu penting dalam peringatan setahun penanganan tsunami di Srilanka. Karena bagaimanapun para tsunamis atau korban tsunami tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari orang-orang yang masuk golongan "orang-orang bermasalah" yang biasanya menjadi social stigma bagi para pecandu alkohol, preman, penjahat kecil, orang yang suka membuat keributan di komunitasnya, anak-anak remaja nakal, pecandu narkoba dan lain-lain, yang biasanya memang menimbulkan beban sosial bagi masyarakat komunitasnya. Sehingga dihindari dan dapat perlakuan diskriminasi dari orang-orang dalam pergaulan sosial yang luas.

Yang lebih tepat, para tsunamis adalah 'korban', karena penderitaan yang mereka alamai sekarang bukan karena sikap perilaku individualnya sendiri yang negatif. tetapi mereka adalah korban dari bencana, sehingga perlu penanganan dan menjadi kewajiban setiap orang untuk berusaha membantu kehidupannya. Sikap-sikap deskriminatif itu diberikan orang terhadap para tsunamis memang baru lebih banyak lewat olokan-olokan dalam pembicaraan, tetapi dikawatirkan dapat mempengeruhi sikap diskriminasi terhadap para korban tsunami yang lebih luas.

Laporan ini juga ditujukan untuk memberikan masukan kepada otoritas penanganan bencana tsunami dan NGO yang bekerja untuk tsunami agar mempercepat program-programnya. Karena faktor utama timbulnya masalah sosial pasca tsunami , salah satunya akibat penanganan bantuan terhadap para tsunamis yang tidak segera terselesaikan, terutama terhadap masalah pemenuhan kebutuhan pokok pengungsi dan perumahan.

Sebuah survey yang dilakukan terhadap sekitar 230 anak-anak korban tsunami di tujuh sekolah di Galle, Hambantota, Ampara, dan Jaffna, juga menunjukkan adanya sikap malas belajar dan kurang konsentrasi dalam mengikuti pelajaran sekolah. Survey itu menunjukkan faktor tempat tinggal sebagai sebab yang paling berpengaruh terhadap semangat belajar anak-anak itu. "Mereka yang pemalas kebanyakan masih tinggal di temporary shelter house (rumah pengungsi sementara) yang tidak memberikan ruang belajar yang nyaman dan tersedianya perlengkapan meja kursi belajar dalam kegiatan belajar mereka," ujar laporan survey tersebut. Tersedianya rumah tinggal permanen akan amat membantu mereka untuk mengembalikan kenyamanan dalam belajar. "Kami telah memberikan bantuan ke beberapa pelajar berupa seperangkat komputer dan meja belajar, tetapi bantuan itu akhirnya hanya disimpan dalam kardus, karena untuk toilet saja mereka belum punya karena masih di pemukiman pengungsi sementara," ujar seorang pendamping anak-anak korban tsunami di Galle, Srilanka Selatan.

Data dari badan otoritas penanganan bencana tsunami Srilanka (TAFREN), bencana tsunami telah menciptakan sekitar 40.000 orang kehilangan pasangannya, menjadi janda atau duda, yang kemudian harus menanggung beban hidup sendiri dan keluarganya yang masih tertinggal. Mereka dilaporkan amat rentan terhadap stress dan akibata-akibat sosial lain akibat bencana, selain orang tua dan anak.

M.H Susila (46) yang tinggal di Peraliya, Telwatta , Srilanka Selatan, misalnya, amat stree ketika ditemui penulis dirumahnya. Semasa belum terjadi tsunami ia memiliki sebuah toko souvernis di pinggri pantai, yang modalnya ia kumpulkan setelah 3 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. "Saya punya banyak teman Inonesia yang dulu sama-sama bekerja di Arab," ujar Susila sambil menunjukkan kemampuannyaa menyanyikan sebait lagu Rhoma Irama yang ia hapal dari teman-temannya semasa di Arab. Namun, sekarang ia amat strees, ia tinggal bersama 2 orang anaknya, dan 3 orang dari keluarga adikknya, di sebuah rumah kayu sederhana ukuran 3 x 3 meter. Suaminya telah menceraikan Susila karena tidak kuat melihat kenyataan bahwa seluruh usahanya hancur terkena tunami, 3 bulan pasca tsunami ia pun menceraikan Susila, dan kemudian pergi Colombo untuk mencari pekerjaan baru.

Karena ditinggal suami dan kehidupan pasca tsunami yang terasa masih amat memprehatinkan, Susila setiap hari sering berjalan-jalan di sekitar reruntuhan rumahnya yang terkena tsunami, sambil membawa foto album yang berisi foto-foto masa lalunya dan foto-foto lain tentang bencana tsunami. "Please sir, buy my photos of tsunamis. I need money for milk my children," she said. Tetang-tetangga Susila sudah tahu kalau Susila menerima penderitaan yang berat akibat tsunami. Sehingga mereka maklum kalau tiba-tiba Susila berperilaku yang agak aneh.***


Jurnalis tsunami fellow Asia Media Forum, www.asiamediaforum.org