Oleh : Wahyuana
Pemerintah mengumumkan akan segera mencabut status darurat sipil di Maluku. Jika benar serius, keputusan ini akan membawa pengaruh yang positif bagi proses rehabilitasi kehidupan masyarakat Maluku. Akan membuka proses isolasi yang selama 4 tahun ini diterapkan di Maluku akibat kerusuhan dan konflik berkepanjangan. Membuat investor berani membawa modal kembali berbisnis di Maluku. Dan wisatawan kembali berkunjung.
Ekonomi Maluku selama terjadi konflik telah hancur lebur. Dengan pertumbuhan ekonomi - 26,90 di tahun 1999 dan –10 di tahun 2001 sampai tahun 2002, tentu tak ada kesempatan sama sekali bagi masyarakat Maluku untuk tumbuh membangun. Para investor melarikan diri. Pasar-pasar, pusat bisnis dan perdagangan hancur. Banyak desa yang hancur ditinggalkan penghuninya mengungsi, akhirnya desa-desa tak berpenghuni itu ditumbuhi tumbuhan liar, kembali seperti hutan. Ribuan pengungsi di Kota Ambon yang menganggur dan hidup dalam kualitas hidup dibawah kebutuhan minimal, masih mendiami kamp-kamp pengungsi di Poso, Waihaong, dan dibawah reruntuhan bangunan di sepanjang Batumerah, Mardika, sampai Talake. Mereka tidak bisa lama-lama dibiarkan hidup dalam status pengungsi tanpa penanganan yang pasti, sementara mereka juga tidak bisa berkesempatan mencari sumber penghidupan yang lebih baik akibat kondisi status darurat sipil yang mempunyai banyak peraturan pembatasan aktivitas.
Kondisi keamanan di Maluku memang sudah baik dan normal. Masyarakat telah berani keluar masuk ke daerah-daerah yang selama ini rawan terjadi konflik kekerasan. Barikade-barikade telah dibersihkan. Gubernur yang juga selaku Penguasa Darurat Sipil (PDS) Maluku pun telah mencabut pemberlakuan jam malam. Pos-pos penjagaan keamanan, yang dulu didirikan tiap jarak 100 meter, telah ditutup semua, dan pengawasan keamanan dan ketertiban masyarakat telah kembali dilakukan sepenuhnya oleh polisi. Anak-anak tidak lagi harus menempuh jalan yang berbahaya, dengan harus naik speedboat atau perahu kecil yang selalu penuh sesak penumpang, untuk pergi ke sekolahnya. Karena jalan darat sudah tidak lagi berbahaya.
Keputusan ini akan melengkapi keputusan serupa tentang pencabutan status darurat sipil di Maluku Utara, yang sebelumnya telah dicabut lewat dikeluarkannya Keppres No. 27/2003 tanggal 17 Mei 2003. Berarti kedua daerah ini akan kembali menikmati kehidupan yang normal dalam status tertib sipil.
Namun, meskipun status darurat sipil akan segera dicabut di Maluku, dan sudah dicabut di Maluku Utara, juga perlu dimengerti bahwa bukan berarti proses penyelesaian konflik di Maluku dan Maluku Utara telah tuntas selesai. Masih banyak agenda proses penyelesaian yang harus dikerjakan untuk menuju tahapan rekonsiliasi dan penciptaan kondisi damai sejati. Dendam dan trauma konflik selama 4 tahun itu, tak mudah diselesaikan hanya lewat keputusan-keputusan politik. Dibutuhkan proses penyembuhan yang lama.
Pencabutan status darurat sipil ini baru menandai satu tahapan klasik dalam proses resolusi konflik, tahapan penciptaan kondisi damai tanpa kekerasan. Yaitu damai dalam arti tercapainya kondisi masyarakat di Maluku tanpa ada lagi konflik kekerasan. Namun belum menyentuh fase modern dalam proses resolusi konflik, yaitu fase pengungkapan kebenaran dan keadilan, sebagai salah satu hak dasar dalam pemenuhan perlindungan hak asasi manusia. Termasuk didalamnya, pertanggungjawaban negara yang resmi, tentang kenapa konflik bisa terjadi, akar masalah, sampai pertanggungjawaban proses penyelesaian konflik, pertanggungjawaban selama penerapan status darurat sipil, dan kenapa konflik ini sampai berlarut-larut. Termasuk didalamnya jaminan akan diadakannya peradilan HAM untuk pengungkapan kebenaran dan keadilan. Sebelum selanjutnya memasuki fase permaafan untuk menuju rekonsiliasi dan perdamaian sejati.
Dalam pertemuan Malino II, Pebruari 2002, untuk penyelesaian konflik di Maluku. Sebenarnya juga telah dicapai kemajuan yang sangat berarti dalam proses penyelesaian konflik di Maluku. Pihak-pihak wakil dari dua komunitas yang terlibat konflik hadir dalam pertemuan ini. Juga wakil-wakil dari pemerintah pusat dan daerah, mereka sama-sama hadir dan menandatangani kesepakatan bersama perdamaian, dan sepertinya semuanya hadir dalam rasa sesal yang mendalam, dan kemudian berjanji bersama untuk menandai dimulainya era baru dalam proses resolusi konflik di Maluku. Tidak hanya 11 butir kesepakatan perdamaian yang selama ini telah banyak disosialisasikan yang dicapai dalam pertemuan ini. Tapi juga sekitar 40-an butir-butir kesepakatan implementasi pertemuan Malino. Yang dibagi dalam 2 sub bidang yaitu rehabilitasi sosial dan penegakan hukum.
Dalam bidang penegakan hukum misalnya, tertuang kesepakatan untuk membentuk tim investigasi guna mencari tahu akar masalah dan penyebab konflik dari awal konflik sampai sekarang, juga kesepakatan untuk membentuk peradilan HAM, peradilan militer, perbaikan peradilan sipil, dan pembentukan komisi rekonsiliasi.
Namun, tampaknya kesepakatan ini mandul, tidak banyak terdengar implementasi kelanjutannya. Tim investigasi sampai sekarang belum pernah sekalipun mempresentasikan hasil penyelidikannya, yang tampaknya akan bernasib sama seperti tim-tim ad hoc serupa yang sejak awal konflik telah berulangkali dibentuk oleh pemerintah. Bahkan, Komnas HAM juga pernah membentuk tim serupa yang sampai kini tidak terdengar kelanjutannya.
Proses penegakan hukum dalam konflik di Maluku dan Maluku Utara, masih kalah jauh dibandingkan dengan proses hukum dalam penyelesaian konflik di Poso. Puluhan orang dari kedua belah pihak yang bertikai di Poso telah diadili. Penjara di Palu dipenuhi orang-orang yang terlibat dalam konflik kekerasan ini. Namun di Maluku, peristiwa konflik kekerasan yang menelan korban tak kurang dari 7.000 jiwa itu masih seperti kabut. Apalagi proses hukum untuk penyelesaian konflik di Maluku Utara, nyaris tak terdengar. Padahal proses penegakan hukum ini sangat diperlukan untuk menjawab, benarkah konflik di Maluku dan Maluku Utara merupakan konflik berdasar agama. Banyak hal yang meragukan terhadap asumsi ini, meskipun juga diakui adanya sentimen antar kehidupan agama yang tinggi di Maluku.
Multi Track
Pencabutan status darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara yang dilakukan pemerintah, sebenarnya hanyalah salah satu track (jalur) dalam proses resolusi konflik di Maluku. Intervensi konflik resolusi yang disponsori lewat pemerintah, efektif memberikan pengaruh yang besar dalam proses damai di Maluku. Karena otoritasnya mengendalikan institusi pemerintahan dan aparat keamanan. Namun yang lebih penting dan efektif dalam merangsang aksi perdamaian dan konflik resolusi, justru yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, atau organisasi non pemerintah, sebagai bentuk strategi resolusi konflik dari jalur masyarakat.
Di Maluku, saat ini ada sekitar 400 LSM kemanusiaan dan perdamaian yang bergerak dalam berbagai bidang. Mulai dari supporting kebutuhan primer pengungsi sampai trauma konselling anak-anak. Semuanya bekerja dalam jaringan aksi perdamaian dan konflik resolusi. Kontribusi kelompok-kelompok LSM ini sangat besar dalam proses penyelesaian konflik di Maluku. Seperti kelompok yang mencoba mensponsori aktivitas rekonsiliasi dan perdamaian, Bakubae Maluku, yang mempunyai kontribusi dalam menurunkan potensi kekerasan pada kedua komunitas berkonflik.
Berbeda dengan track strategi konflik resolusi yang dilakukan pemerintah, yang biasanya berupa aktivitas intervensi politik. Resolusi konflik di track masyarakat menggunakan aktivitas sehari-hari di dalam masyarakat untuk aktivitas perdamaian. Sehingga aktivitas yang kebanyakan dilakukan LSM ini, lebih kaya ragam aktivitas, lebih menarik, dekat dengan kurban, dan mampu menarik minat dan partisipasi masyarakat yang luas.
Sesudah pencabutan status darurat sipil, sudah waktunya jaringan dalam track masyarakat untuk lebih aktif dan bersikap kritis dalam proses penyelesaian konflik di Maluku. Tidak hanya sibuk dalam bidang spesialis garapannya. Jaringan LSM harus lebih aktif dalam membicarakan dan menuntut penyelesaian konflik yang berkaitan dengan HAM dan pengungkapan peristiwa-peristiwa kekerasan yang telah terjadi.
Media
Mengadopsi metode penjelasan sosial tentang segitiga kepercayaan (Triangle Trust), yang membahas relasi simbiosis media, masyarakat dan negara. Media di Maluku memiliki posisi yang sangat penting. Ditengah konflik kekerasan antar kelompok dalam masyarakat yang parah dan terpecah dalam permusuhan bersenjata, sedangkan negara, terutama pemerintah daerah, dalam kondisi tidak berdaya untuk melakukan penyelesaian dan pengelolaan konflik, media menjadi satu-satunya instrumen penting dalam masyarakat yang harus bisa berpikir jernih, dan mampu memberikan perspektif yang positif dalam menolong masyarakat komunitasnya sendiri, tempat dia tumbuh dan berusaha.
Sepanjang tahun 1999 – 2001, masyarakat di Maluku ditandai dengan keterpecahan kelompok Islam dan Kristen. Media mendapat teror yang luar biasa dari masyarakat untuk ikut terlibat dalam konflik dengan memihak salah satu komunitas yang sedang berkonflik. Masyarakat juga mulai tidak percaya terhadap pemerintah yang dianggap tidak segera mampu menangani konflik. Karena frustasi, public menjadi merasa lebih berkuasa daripada pemerintah, terutama pemerintah daerah. Mereka bebas melakukan apa saja. Karena penegakan hukum tidak berjalan dengan baik. Pemerintah sendiri mengalami kesulitan melakukan koordinasi dengan institusi-insitusi organisasi perangkatnya. Karena banyak institusi yang kemudian ikut terpecah sesuai kondisi masyarakat. Aparat keamanan, dalam beberapa kasus ikut terjebak dalam sentimen konflik. Alhasil Maluku menjadi seperti negeri tak bertuan.
Dalam kondisi semacam ini, media menjadi instrumen masyarakat yang punya potensi bisa menolong. Tentu dengan keterbatasannya. Karena media, sebenarnya hanyalah institusi sederhana yang mengandalkan eksistensinya pada sumberdaya informasi. Bukan senjata, traktor atau ideologi. Intervensi yang bisa dilakukan media, minimal media tidak ikut terlibat pembelaan dan sentimen dalam konflik, tidak ikut terpecah-pecah. Harus tetap terjalin adanya koordinasi dan perasaan solidaritas antar pekerja media. Kemudian mencoba beraksi bersama untuk tidak mau terjebak dan terlibat dalam konflik yang tengah terjadi di masyarakat, sekaligus memberikan porsi bantuan yang cukup untuk membuat pemerintah mempunyai kepercayaan diri kembali berkoordinasi dengan perangkat institusi dan kembali mengatur masyarakatnya.
Strategi intervensi media untuk turut dalam penyelesaian konflik di Maluku ini, dilakukan sampai kondisi Maluku berjalan normal. Yang ditandai dengan berkurangnya konflik kekerasan, adanya persetujuan penghentian konflik, sampai mulai normalnya kembali koordinasi institusi pemerintahan. Strategi ini ditempuh media di Maluku sampai beberapa bulan pasca perjanjian damai Malino II.
Pasca pencabutan darurat sipil, media harus lebih cerdas dalam mengelola informasi di Maluku. Pada satu sisi, media harus mampu mengelola informasi agar kondisi masyarakat di Maluku yang baru lepas dari konflik, tidak terjebak kembali dalam sentimen antar komunitas yang potensial konflik. Dendam dan trauma, masih banyak bertebar di sekitar kita.
Sedangkan pada sisi yang lain, media harus mulai kembali menjalankan fungsi-fungsi utamanya, seperti melakukan investigasi atas konflik kekerasan selama 4 tahun yang telah terjadi, yang berkecenderungan akan adanya pengaburan penyelesaiannya. Media juga mendorong kembali pengungkapan peristiwa yang terjadi, dan mendorong pertanggungjawaban negara atas penyelesaian konflik di Maluku yang berlarur-larut dan berkecenderungan akan terjadi pengaburan, seperti umumnya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang selama ini sering terjadi.
Media lokal di Maluku harus sadar dan mengerti bahwa pencabutan status darurat sipil memang akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Maluku, karena akan berarti membuka isolasi daerah, yang berkaitan dengan distribusi, komunikasi dan transportasi ekonomi. Kebijakan ini akan amat menolong masyarakat Maluku dari kondisi keterpurukan. Memberikan jaminan kondisi keamanan terhadap keleluasaan aktivitas-aktivitas bisnis, rehabilitasi sosial dan perbaikan ekonomi Maluku. Namun pencabutan status darurat sipil ini, masih menyisakan banyak problem untuk penyelesaian konflik di Maluku secara menyeluruh. ***selesai.
Date : Juli 2003
No comments:
Post a Comment