Oleh : *Wahyuana
Di kota Ambon, Maluku, masih sering terjadi aksi-aksi teror. Dalam 1 bulan ini, tidak kurang dari 20 kali ledakan bom dan tembakan senapan sniper kembali lagi terjadi. Setelah sebelumnya, selama 2 tahun terakhir, Ambon dalam keadaan tenang, damai, dan mulai terjadi rekonsiliasi secara normal dalam kehidupan sehari-hari.
Teror bahkan sudah sampai pada taraf membuat masyarakat di Ambon dalam kondisi traumatik, paranoid dan penuh ketakutan. Polisi penjinak bom, dalam 3 hari terakhir ini, berkali-kali menerima laporan kepanikan dari masyarakat karena menemukan benda yang dicurigai sebagai bom rakitan di sekitar rumahnya, di pasar-pasar, atau di tempat umum. Setelah diperiksa polisi, benda ternyata bukan bom. Masyarakat ketakutan setiap kali menemukan benda-benda seperti tas plastik warna hitam, kotak kardus, kaleng biskuit, atau pipa paralon, yang selama ini sering digunakan sebagai alat pembungkus bom rakitan. Biasanya bom ditaruh di sembarang tempat.
Selain teror bom, seringkali juga ada teror telepon gelap berupa ancaman akan terjadi ledakan bom di tempat-tempat umum. Dalam sehari, polisi bisa menerima 6 – 10 aduan ditemukan bom. Seperti kejadian pada senin, tanggal 31 Mei 2004, seorang pemilik toko, Ny. Ince, menerima titipan tas plastik berukuran besar dari seorang pembeli. Setelah ditunggu lama, penitip tidak muncul, yang kemudian mendatangkan kecurigaan Ny. Ince, kalau tas yang dititipkan itu berisi bom. Ny. Ince langsung panik dan kemudian menelpon polisi. Kepanikan terjadi di seluruh kampungnya. Ketika polisi datang memeriksa, ternyata tas bukan berisi bom, tapi berisi buku-buku. Ketika si penitip tas kembali ke toko Ny. Ince, penitip itu hampir dipukuli ramai-ramai oleh seluruh warga kampung.
Ketakutan akut yang massal ini, terjadi setelah sebelumnya terjadi banyak bom meledak di seluruh kota Ambon. Seperti bom yang meledak di pasar tradisional Batumeja, Sirimau, 25 Mei 2004, yang menewaskan 1 orang dan 6 orang luka-luka. Sehari sebelumnya terjadi ledakan bom di perbatasan Latta-Hative, yang menewaskan 2 orang dan 12 orang luka-luka. Peristiwa di Latta, terjadi sehari sesudah Presiden Megawati berkunjung selama 3 jam di Ambon.
Selain teror bom, masyarakat juga sering mendapat teror berupa tembakan dari sniper di gedung-gedung bertingkat. Juga tembakan gelap dari arah laut di malam hari, yang diarahkan ke kampung-kampung penduduk di pinggir laut.
Kekacauan ini sudah berlangsung selama 1 bulan. Setelah sebelumnya terjadi peristiwa 3 hari kerusuhan pada tanggal 25-27 April yang menelan korban 34 orang tewas, 225 luka-luka, puluhan rumah, gedung dan hotel terbakar, dan mengakibatkan sekitar 10.600 orang mengungsi.
Insiden kekacauan tanggal 25 April 2004 itu, berawal ketika sekitar seratusan orang yang menamakan diri FKM (Front Kedaulatan Maluku), mengadakan acara peringatan ulang tahun RMS (Republik Maluku Selatan). Organisasi separatis yang sudah sejak lama tidak eksis dan tidak mendapat dukungan di Maluku. Yang dilarang oleh aparat keamanan. Sekelompok kecil pendukung RMS itu, kemudian ditangkap oleh aparat keamanan dan dibawa ke kantor Polda Maluku. Di tengah perjalanan ke kantor polisi, mereka bertemu dengan massa pengecam anti RMS di jalan. Pertemuan ini memancing aksi saling kecam, adu mulut, dan saling umpat antara massa pendukung RMS dan anti RMS di perempatan Tugu Trikora, Ambon.
Anehnya, dalam waktu bersamaan, terjadi demonstrasi massa di jalan-jalan di hampir seluruh Ambon. Yang kemudian mendorong aksi kekerasan berupa pembakaran gedung-gedung perkantoran, pasar dan rumah penduduk. Disertai dengan tembakan senapan sniper dari atap gedung-gedung dan ledakan bom di beberapa wilayah. Sehingga terjadi suasana kerusuhan dan kekacauan di seluruh kota. Sekitar 34 orang tewas dalam kerusuhan 3 hari itu. Sebagian besar akibat tembakan sniper.
Kelanjutan dari peristiwa kekerasan 3 hari itu, teror-teror ledakan bom dan tembakan gelap kembali terjadi di Ambon. Sampai saat ini diperkirakan sudah sekitar 50 orang tewas, ratusan luka-luka, dan ribuan orang kembali menjadi pengungsi. Suasana Ambon kembali menjadi seperti suasana 4 tahun yang lalu, ketika Ambon, dilanda konflik komunal antar warga pemeluk agama Islam dan agama Kristen, yang berlangsung selama lebih dari 3 tahun. Menelan korban sekitar 8.000 orang tewas (BakuBae Maluku, 2002), dan sekitar 350.000 orang menjadi pengungsi. Sekitar 3.000 korban yang tewas, terjadi di Maluku Utara.
Sejak insiden peristiwa 25-28 Mei 2004 itu, barikade-barikade jalan kembali dibangun di Ambon. Yang memisahkan jalan-jalan dan kampung-kampung di Ambon menjadi zonasi berdasarkan kelompok agama. Menjadi daerah muslim, atau menjadi daerah kristen. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena rawan akan terjadi lagi keributan atau bentrokan antar massa Islam-Kristen dalam jumlah massa yang besar. Selain itu, kondisi ini juga memundurkan upaya-upaya perdamaian dan rekonsiliasi yang selama ini sudah terjadi di masyarakat.
Dilihat dari bentuk-bentuk teror dan modus yang dilakukan, teror bom yang terjadi sekarang, sepertinya diarahkan untuk memancing masyarakat di Ambon agar terlibat lagi di dalam konflik komunal antar agama seperti yang dulu pernah terjadi. Teror dilakukan di daerah-daerah Kristen atau Islam, dan biasanya disertai oleh munculnya isu, bom dipasang oleh pihak lain yang berlainan agama. Modus ini seperti mengulang pola-pola konflik dan kerusuhan yang terjadi di Maluku, terutama di kota Ambon, 3 tahun yang lalu.
Tiga tahun yang lalu
Tiga tahun lalu, banyak orang pesimis terhadap resolusi konflik di Maluku, khususnya untuk menghentikan tingginya intensitas konflik kekerasan di Kota Ambon. Konflik yang berawal dari kerusuhan sosial tanggal 19 janurai 1999, telah berkembang menjadi konflik kekerasan antara komunitas Islam-kristen yang demikian keras, eksesif, dan menelan banyak korban. Berulang kali upaya perdamaian dan penghentian konflik dilakukan, namun seringkali segera berakhir dengan timbulnya konflik kekerasan yang baru. Lamanya konflik, banyaknya korban, dan seringnya upaya-upaya penghentian konflik berakhir dengan kegagalan, membuat frustasi banyak orang. Para pengamat sampai pada kesimpulan pesimistis yang memperkirakan bahwa masyarakat muslim dan masyarakat kristen di Maluku, terutama di Kota Ambon, tidak akan bisa berbaur lagi seperti masa sebelum peristiwa 19 Januari 1999. Dimana Maluku pada masa sebelum konflik itu, ditandai dengan kehidupan masyarakatnya yang pluralistik, toleran dan damai. Tidak ada masalah perbedaan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Namun prediksi pesimis itu tidak sepenuhnya terbukti di lapangan. Sesudah 40 perwakilan masyarakat muslim dan 40 masyarakat kristen mau menandatangani perjanjian damai dan penghentian konflik di Malino, Sulawesi Selatan, pada bulan Februari 2002. sejak itu kondisi masyarakat di Ambon kembali berubah total.
Sehari setelah perjanjian Malino ditanda tangani, sambutan perdamaian antar komunitas masyarakat Islam-Kristen di Maluku seperti tidak bisa dibendung lagi. Siapapun orang yang berada di Ambon pada masa beberapa hari sesudah penanda tanganan deklarasi Malino, tentu akan mengenang peristiwa rekonsiliasi sosial itu dengan baik, karena beruntung turut merasakan dan turut serta dalam pesta-pesta kegembiraan suka cita berakhirnya perang. Masyarakat islam-kristen saling berkunjung, bertemu dan berpelukan di jalan-jalan, saling berjabat tangan, dan berbagi makanan. Suasananya seperti hari raya. Anak-anak muda saling bertemu dengan teman-teman sebaya yang dulu pernah sama-sama terlibat konflik, mereka bersama-sama merayakan pertemuan berakhirnya konflik 3 tahun itu dengan lomba adu balap motor, atau atraksi speedboat di teluk Ambon. Sarana-sarana sosial pun kembali buka dan menjadi ajang interaksi antar kedua komunitas. Meskipun ribuan pengungsi masih mendiami kamp-kamp darurat, tetapi interaksi antar komunitas kedua pemeluk agama itu pelan-pelan kembali terjalin. Pelan-pelan Ambon kembali seperti masa-masa sebelum konflik. Hubungan sosial kembali terjalin seperti pada masa-masa ‘Ambon Manise,’ yaitu masa sebelum terjadi 3 tahun konflik kekerasan antara 1999-2002.
Realitas perdamaian ini mematahkan prediksi atas keterpecahan masyarakat di Ambon akibat perang saudara. Sekaligus mematahkan pendapat bahwa konflik di Maluku adalah konflik agama. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kedua komunitas masyarakat Islam-Kristen saling membutuhkan dan dapat hidup saling berdampingan. Kondisi ini membawa optimisme bahwa perdamaian di Ambon dan Maluku secara keseluruhan bisa kembali seperti sedia kala.
*Wahyuana, Penggagas dan Pendiri Maluku Media Center (MMC) di Ambon, Maluku. Media center for Peace Jounalism and Conflict Resolution.
Date : Mei 2004
No comments:
Post a Comment