Oleh : Wahyuana
Di hadapan anggota KPU, tanggal 6 Pebruari 2004 pekan lalu, 24 partai politik peserta Pemilu 2004, telah menanda tangani Kesepakatan Bersama Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2004. Yang berisi 9 butir kesepakatan. Isi dari kesepakatan itu diantaranya mengatur prinsip-prinsip pokok untuk saling menghormati dan menghargai kebebasan masing-masing partai politik. Prinsip kesetaraan antar partai politik, dan tidak melakukan klaim teritory. Menghargai kebebasan pers dan berkomitmen untuk tidak menggunakan kekerasan jika terjadi permasalahan dengan pers. Kesepakatan untuk tidak menggunakan dana publik dan fasilitas publik. Tidak mentolerir praktek jual beli suara, para pemilih, dan penyuapan panitia pemilihan. Mentaati dan menghormati seluruh peraturan pemilu dan keputusan KPU. Dan yang paling penting, semua partai politik juga sepakat untuk menghindari segala bentuk kekerasan untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah.
Di butir terpenting tentang komitmen bersama untuk menghindari kekerasan ini, dibagi lagi menjadi dua ayat yaitu, pertama, kesepakatan untuk tidak memperkenankan satuan tugas keamanan menggunakan peralatan dan bertindak sebagaimana kewenangan polisi dan aparat keamanan negara. Dan ayat kedua, komitmen untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan hukum, atau dengan melalui jalur musyawarah.
Kesepakatan ini melengkapi kesepakatan Pemilu damai yang diadakan di tingkat-tingkat KPU daerah, dan juga kesepakatan untuk menciptakan Pemilu damai yang ditandatangai semua kontestan partai politik di depan aparat kepolisian.
Kesepakatan-kesepakatan ini tentu perlu disambut dengan baik. Dengan banyak kesepakatan-kesepakatan serupa yang dibuat antar parpol, baik di tingkat pusat atau daerah, maupun yang difasilitasi oleh berbagai kalangan lain, akan mengeliminir potensial konflik yang terjadi. Mematahkan prediksi ‘para dukun’ akan terjadinya kekerasan dan kekacauan dalam Pemilu mendatang.
Sebaiknya, kesepakatan-kesepakatan serupa juga dilengkapi lagi dengan kesepakatan antara partai-partai besar. Misalnya, antara dua partai besar PDIP dan Golkar. Atau PDIP dengan PPP. Atau PPP dengan PKB. Di daerah-daerah yang menampakkan peluang konflik antar beberapa partai tertentu. Misalnya, di Yogyakarta, perlunya kesepakatan damai antara PDIP dengan PPP, karena massa satgas dari kedua parpol ini sering terlibat dalam tawuran yang membahayakan keamanan kota. Juga di Bali, massa pendukung PDIP daerah ini sering terlibat bentrok dengan massa pendukung Partai Golkar. Sedangkan di daerah-daerah sepanjang pesisir utara Jawa Tengah seringkali terjadi bentrok antara massa pendukung PKB dan PPP.
Pemilu sendiri memang diadakan sebagai mekanisme konflik yang dibuat secara resmi oleh negara dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Sebagai puncak penyelesaian konflik dari seluruh kepentingan politik. Sehingga tentu juga tidak diinginkan Pemilu akan berlangsung secara dingin-dingin saja. Tetapi seperti layaknya negara yang modern, Pemilu yang baik, tak harus ditandai dengan kekerasan. Apalagi yang sampai menimbulkan korban jiwa.
Pemilu di Indonesia, populer disebut sebagai ‘pesta demokrasi.’ Pengertian pesta, membuat masyarakat memahami pemilu sebagai event untuk bisa bebas melakukan apa saja. Yang tadinya tidak bisa konvoi, jadi bisa konvoi arak-arakan bermotor keliling kota. Yang tadinya tidak bisa corat-coret, jadi bebas corat-coret. Bebas berteriak dan mengumpat kelompok lain yang tidak disenangi. Banyaknya kekecewaan pada politik dan kesulitan ekonomi, membuat kampanye pemilu tidak hanya dipahami sebagai media komunikasi politik antara partai dengan pemilih. Tetapi dalam forum kampanye biasanya juga ditandai dengan luapan tuntutan keadilan sosial ekonomi, keinginan pembaruan politik dan ekspresi protes sosial.
Tak ayal, pemilu di Indonesia sering menyimpan potensi konflik kekerasan. Sebuah pesta demokrasi yang ditunggu-tunggu dengan perasaan was-was. Data (lihat tabel. I ) selama berkali-kali diadakan Pemilu, ketika era orde baru maupun era reformasi, selalu meninggalkan korban sia-sia yang jumlahnya puluhan orang. Belum lagi korban luka-luka, kerusakan materiil seperti pembakaran mobil, motor, tempat umum atau rumah, tak pernah terhitung secara pasti dan masuk dalam statistik resmi. Biasanya juga tidak ada penyelesaian hukum dalam berbagai peristiwa kekerasan sepanjang pemilu.
Tabel I. Jumlah Korban Akibat Kekerasan Pemilu
No. Pemilu Jumlah korban tewas Korban luka
1 1992 27 orang -
2 1997 248 orang -
3 1999 19 orang 421 orang
Dari berbagai sumber (data 1999, tidak termasuk di daerah-daerah konflik)
Padahal Pemilu tahun 2004 ini jauh lebih kompleks. Banyak harapan yang dibebankan. Dalam Pemilu 2004, ada 2 tahapan Pemilu, pertama Pemilu untuk memilih legislatif, yaitu DPR, DPD, dan DPRD. Kedua, Pemilu untuk memilih eksekutif, yaitu jabatan Presiden dan wakil presiden. Dalam pemilihan tahap I, dilaksanakan tanggal 5 April 2004, pemilih harus mencoblos tokoh dan gambar parpol, pada kertas suara seukuran koran, karena banyaknya partai peserta pemilu.
Sedangkan Pemilu eksekutif dibagi lagi dalam 2 tahap, tahap I dilaksanakan tanggal 5 Juli 2004 untuk pemilihan langsung penjaringan calon Presiden dan wakil Presiden. Periode antara Pemilu legislatif dan Pemilu eksekutif tahap I ini sangat rawan terjadinya konflik kekerasan. Sesudah itu, 3 bulan kemudian, pada tanggal 20 September 2004, akan diadakan Pemilu eksekutif tahap II untuk pemilihan presiden dan wakil presiden. Masa-masa ini rawan atas peristiwa kekerasan, karena biasanya ditandai dengan aksi massa, unjuk rasa kekuatan, dan segala luapan massal dukungan politik.
Dengan terciptanya komitmen bersama Parpol pada Pemilu tanpa kekerasan. Akan mengurangi peluang timbulnya konflik kekerasan. Yang perlu dikritisi, sejumlah kesepakatan-kesepakatan bersama itu, belum mengatur sanksi jika terjadi pelanggaran komitmen. Atau ada parpol yang melakukan pelanggaran kekerasan dalam Pemilu. Sehingga lebih baik kalau dalam kesepakatan itu tertuang juga pengaturan sanksi jika ada kontestan parpol dan organisasi underbouw Parpol melakukan pelanggaran. Menilik bentuk-bentuk pelanggaran (lihat tabel II ) dan kekerasan yang selama ini sering terjadi, seringkali kekerasan yang terjadi dilimpahkan tanggung jawabnya pada pelaku individu. Padahal sebagian besar kekerasan politik pada waktu Pemilu timbul secara terorganisir oleh organisasi underbouw partai politi. Terutama satgas parpol.
Jenis Pelanggaran Pemilu 1999 Potensial Penyebab Konflik Kekerasan
No. Modus Jumlah Kasus
1 Arak-arakan 954
2 Menghina berdasarkan SARA waktu kampanye 649
3 Mengganggu ketertiban umum 589
4 Pengerahan massa dari satu daerah ke daerah lain 460
5 Manipulasi dan pencurian start kampanye 320
6 Kampanye terselubung 306
7 Pengerahan massa dibawah umur 241
8 Penggunaan fasilitas negara 161
9 Intimidasi 112
10 Membawa senjata tajam 47
11 Tawuran/bentrokan 41
Sumber : kepolisian
Dalam UU Pemilu memang tidak ada pasal khusus yang mengatur tindak kekerasan ini. Secara lebih umum hanya diatur dalam Pasal 142 Bab XVII, yang terdiri dari 11 ayat. Ayat (1) menyebutkan,” Barangsiapa dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Pemilu yang diselenggarakan menurut Undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.” Sementara ayat (2) menyebutkan,” Barangsiapa pada waktu diselenggarakannya Pemilu menurut Undang-undang ini, dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih dengan bebas dan tidak terganggu jalannya kegiatan Pemilu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.” Dari kedua ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak kekerasan yang terjadi ditimpakan pada individu–individu oknum pelaku. Tidak ada tanggung jawab partai politik beserta organisasi underbouwnya. Organisasi satgas partai politik yang sering melakukan kekerasan secara terorganisir tidak tersentuh. Di dalam UU Partai Politik juga tidak ada pasal yang mengatur tentang keberadaan organisasi berwajah paramiliter ini.
Minimnya pengaturan dan perlindungan melalui undang-undang di dalam mengantisipasi timbulnya kekerasan dalam Pemilu, sementara Pemilu tinggal sekitar 100 hari lagi, sehingga sangat perlu dibentuk mekanisme alternatif resolusi pencegahan konflik, melalui aksi damai. Dengan membuat kesepakatan-kesepakatan komitmen bersama Pemilu tanpa kekerasan, membuat komitmen antar parpol untuk saling menjaga, melindungi, dan bertanggung jawab. Kesepakatan-kesepakatan ini perlu sebanyak-banyaknya di buat. Baik di tingkat pusat, daerah, bahkan sampai lingkungan terkecil yang dipandang punya peluang timbulnya konflik kekerasan. Bahkan kalau perlu juga antar partai politik tertentu. Atau antar pendukung personal calon anggota legislatif, DPD dan juga pendukung calon presiden dan wakil presiden. ***selesai.
Date by : Pebruari 2004
No comments:
Post a Comment