Saturday, September 05, 2009

Kera Kloning Super, Dua Ibu Satu Ayah



TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekelompok peneliti dari Oregon Health and Science University, Amerika Serikat, berhasil melakukan rekayasa genetika pada sel telur kera, yang memberikan prospek terapi untuk memutus rantai penyakit keturunan yang diwariskan dari sel telur ibu. Keberhasilan ini dipublikasikan di jurnal Nature edisi 26 Agustus 2009, oleh para peneliti yang dipimpin Dr Shoukhrat Mitalipov.

Seperti diketahui di dalam sel telur, yaitu materi reproduksi dari kelamin wanita, terkandung banyak organ-organ sel. Diantaranya adalah DNA atau inti sel yang merupakan pembawa materi genetik utama dan Mitokondria yang berfungsi sebagai pusat metabolisme sel. Di dalam Mitokondria sendiri terdapat materi gen juga yang disebut DNA Mitokondria. DNA dan DNA Mitokondria mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Kalau DNA biasanya membawa informasi genetik dari kedua orangtua yang memproduksinya. DNA Mitokondria biasanya hanya membawa informasi genetika yang diwariskan dari ibu.

Di dalam DNA Mitokondria ini biasanya banyak bersemayan materi-materi yang menyebabkan penyakit keturunan yang diwariskan dari garis ibu. Seperti anemia, hipertensi, kekerdilan, buta-tuli, kelemahan otot atau kelainan-kelainan lain. Satu dari 5.000 populasi manusia, biasanya mengidap penyakit yang diturunkan dari DNA Mitokondria. Sehingga dalam tesis Shoukrat Mitalipov, untuk mendapatkan generasi yang lebih sehat, DNA Mitokondria yang mangandung materi sakit, harus dihilangkan.

Untuk itu, Dr Shoukrat Mitalipov, melakukan proses rekayasa genetika dengan melakukan pemisahan DNA dan DNA Mitokondria pada sel telur sakit. Kemudian ia mentransplantasikan DNA itu ke sel telur dari ibu yang sehat. Sehingga menghasilkan komposisi sel telur baru yang memiliki DNA dan DNA Mitokrondria yang lebih sehat. Sel telur hasil rekayasa genetika inilah yang akan dikawinkan dengan sperma dari pejantan.

Dr Shoukrat Mitalipov, melakukan percobaan di laboratorium dengan hawan percobaan kera jenis makaka, Macacae sp., kera yang juga banyak ditemukan di Indonesia. Ia mengekstrak DNA dari sel telur kera makaka betina yang mempunyai DNA mitokondria yang tidak sehat, atau yang membawa gen penyakit keturunan. Kemudian memasukkan DNA tersebut ke sel telur kera makaka betina lain yang memiliki DNA Mitokondria yang lebih sehat, yang sebelumnya telah dikosongkan DNA-nya. Sel telur hasil kloning inilah yang kemudian dikawinkan dengan sperma dari kera makaka jantan, dalam skala pembuahan di laboratorium.

Embrio hasil perkawinan sel telur dan sperma pada skala laboratorium ini, kemudian ditransplantasikan ke dalam rahim kera makaka perempuan lain, untuk dierami dalam masa kehamilan yang normal, sampai kemudian lahir normal, seperti pada proses bayi tabung.

Dalam percobaannya yang dipublikasikan di Jurnal Nature, Dr Shoukrat Mitalipov, berhasil mendapatkan 15 embrio hasil persilangan, yang kemudian ditransplantasikan ke rahim sembilan kera makaka betina. Pada akhir percobaan, setelah lahir, mereka berhasil mendapatkan dua kera makaka kembar yang diberi nama Mito dan Tracker, dan dua kera kembar lain yang diberi nama Spindler dan Spindy. Kera-kera ini, ternyata lahir lebih sehat dari induknya, dan tidak membawa penyakit keturunan yang dibawa induk betinanya.

Para peneliti berharap, metode ini dapat menjadi jalan terapi untuk mengatasi berbagai penyakit keturunan selama ini, terutama penyakit-penyakit keturunan yang diwariskan dari sel telur.

Biasanya keberhasilan percobaan pada mamalia kera, berarti tinggal selangkah lagi untuk bisa diterapkan juga pada manusia. "Kami percaya teknik ini akan segera dapat diterapkan pada manusia," ujar Shoukhrat Mitalipov.

"Ini penemuan yang luar biasa. Metode ini akan dapat membantu banyak keluarga (yang mempunyai masalah dengan pebnyakit keturunan)," ujar Jan Smeitink, profesor bioteknologi dari Belanda.

Namun debat etik kemudian mengemuka tentang hukum keturunan dari generasi yang dihasilkan. Karena kera-kera yang dihasilkan dari proses ini, berarti tak hanya dilahirkan dari satu ibu dan satu ayah. Tetapi merupakan keturunan dari dua ibu, yang menyumbangkan DNA dan DNA Mitokondria, dalam satu sel telur, yang kemudian dikawinkan dengan sperma dari satu ayah. Belum jelas juga, bagaimana dengan status kera betina yang rahimnya telah digunakan untuk mengerami anak-anak ini, apakah dia juga bisa mengklaim sebagai ibunya.

THE WASHINGTON POST l BBC l WAHYUANA

Saturday, July 18, 2009

Flu Babi Lebih Berbahaya Daripada yang Diduga




TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebuah studi baru menunjukkan bahwa serangan virus H1N1 yang sedang mewabah secara global saat ini, ternyata sangat berbahaya dan bersifat lebih mematikan daripada serangan-serangan virus influenza sebelumnya.

Jumlah penderita flu babi secara global dalam satu pekan kemarin saja, telah meningkat lebih dari 50%, menjadi 40.000 kasus di seluruh dunia. Diperkirakan sekitar 5.000 - 7.000 kasus berakhir dengan kematian. Kini hampir tak ada satu pun kota besar di dunia yang terbebas dari serangan virus ini.

Di Indonesia, rilis dari Departemen Kesehatan kemarin, Senin (15/7), jumlah penderita flu babi telah mencapai 142 kasus. Padahal temuan pertama kasus flu babi di Indonesia, baru ditemukan tiga pekan lalu.

Sementara ini belum ada kasus kematian akibat flu babi di Indonesia, namun menteri kesehatan meminta masyarakat untuk bersikap antisipatif terhadap serangan virus H1N1 ini dengan cara hidup sehat dan bersih. Yakni membiasakan pola mencuci tangan dengan sabun, dan melaksanakan etika batuk dan bersin yang benar. "Apabila ada gejala Influenza gunakan masker dan tidak ke kantor, ke sekolah atau ke tempat-tempat keramaian dan istirahat di rumah selama 5 hari. Apabila flu dalam dua hari tidak sembuh segeralah periksa ke dokter," kata Siti Fadillah Supari, Senin (15/7). Keseriusan antispasi ini perlu, karena penyakit flu merupakan penyakit yang biasa menyerang manusia, sehingga seringkali diabaikan.

Data di Inggris, lebih dari 73 orang per 100.000 penduduk pada tanggal 6 - 12 Juli 2009 dilaporkan terserang flu babi, naik 46% dari pekan sebelumnya. Serangan terbesar terutama terjadi pada anak usia 5 - 14 tahun yang mencapai 159,57 kasus per 100.000 penduduk. Kemudian bayi hingga umur 4 tahun, dengan 114,12 kasus per 100.000 penduduk. Kemudian resiko terbesar diikuti orang berusia 15 - 44 tahun, kemudian 45 - 65 tahun, dan selanjutnya orang berumur 65 tahun keatas.

Lonjakan cepat serangan virus flu babi dalam dua pekan ini, telah membuat seluruh ilmuwan di dunia bekerja keras untuk menguak apa yang sedang terjadi dengan virus ini. Sebuah tim peneliti dari Universitas Madison yang dipimpin oleh Profesor Yoshihiro Kawaoka menemukan bahwa serangan virus H1N1 lebih bersifat pathogenik (lebih beresiko menyebabkan sakit) daripada serangan-serangan virus influenza sebelumnya. Penelitian mereka dipublikasikan dalam jurnal Nature, edisi 13 Juli 2009.

Dari hasil penelitian tim Kawaoka, serangan virus H1N1 ternyata lebih berbahaya dan lebih mematikan daripada serangan virus flu biasa. Virus H1N1 ternyata memiliki kemampuan menyerang kedalam sel-sel terdalam dari paru-paru, sehingga menyebabkan radang paru-paru (pneumonia) pada penderita, dan dalam beberapa kasus, faktor inilah yang kemudian menyebabkan kematian. Sedangkan serangan virus flu biasa, biasanya hanya meng-infeksi jaringan saluran pernapasan atas, tanpa serangan ke organ dalam paru-paru. "Inilah yang belum dimengerti dari virus ini," ujar Kawaoka, profesor patologi dan pakar influenza di Madison School of Veterinary Medicine," orang berpikir serangan virus ini seperti flu biasa. Studi kami menunjukkan serangan ini lebih serius."

Kemampuan serang virus H1N1 kedalam paru-paru ini, dalam catatan Kawaoka, mirip dengan serangan virus flu pada tahun 1918, yang juga menyebabkan wabah global dengan angka kematian mencapai belasan juta korban di seluruh dunia, sebanding dengan jumlah korban dari Perang Dunia I. Kawaoka juga menemukan, bahwa orang-orang yang lahir sebelum tahun 1918, ternyata resisten atau memiliki kekebalan terhadap serangan virus flu babi sekarang ini. Mereka memiliki antibodi terhadap serangan virus ini.

Untuk menguji tingkat bahaya virus H1N1, Kawaoka dan timnya melakukan penelitian, dengan meng-infeksikan virus ini kedalam hewan percobaan tikus, musang, dan monyet --model penelitian yang selama ini sudah umum diterapkan dalam riset-riset tentang influenza-- dengan perbandingan satu kelompok diinfeksi virus H1N1 dan kelompok pembanding diinfeksi dengan virus influenza biasa. Hasilnya, mereka menemukan virus H1N1 ternyata lebih cepat melakukan replikasi (perkembangbiakan) dan sangat cepat menyebar ke seluruh saluran respirasi hingga pada jaringan sel-sel terdalamnya, dan akhirnya menyebabkan kerusakan pada paru-paru. "Ketika kami melakukan percobaan pada musang dan monyet, virus flu biasa tidak mampu melakukan replikasi di paru-paru," ujar Kawaoka," tetapi virus H1N1 secara signifikan cepat melakukan replikasi di paru-paru."

Dalam studi ini, sample virus H1N1 diambil dari pasien flu babi dari California, Wisconsin, Netherlands, dan Jepang.

Laporan Jurnal Nature juga mengemukakan tentang penelitian respon-respon kekebalan terhadap serangan virus H1N1 ini. Dan dari hasil penelitian Kawaoka, ternyata pada orang-orang tua yang lahir sebelum 1918, tahun ketika virus ini juga pernah menyerang secara global, memiliki antibodi yang mampu menetralisir serangan. "Orang yang memiliki antibodi terhadap serangan ini adalah orang-orang tua yang lahir sebelum 1918," ujar Kawaoka.

Pada penelilian uji perlakuan antiviral pada tikus, Kawaoka menemukan bahwa obat-obat antiviral (yaitu obat-obat anti serangan virus) secara efektif mampu mengurangi laju serangan virus ini dan dapat memperlambat penyebarannya. "Obat itu mampu bekerja efektif dalam hewan percobaan, dan itu menunjukkan juga akan bekerja efektif pada organ manusia," ujar Kawaoka.

Untuk saat ini, obat antiviral inilah yang dipandang sebagai strategi pertama untuk menghadapi serangan virus H1N1, sebelum dunia medis mampu menemukan obatnya. Di Indonesia, strategi ini juga yang baru bisa dilakukan dalam menghadapi serangan virus H1N1. Pasien terduga flu babi, biasanya diberikan obat antiviral Tamiflu sambil mendapatkan perawatan kesehatan untuk memperkuat daya kekebalan tubuhnya menahan serangan virus ini.

Yang belum jelas, bagaimana pola penyebaran global dari virus ini. Internasional traffict selama ini disalahkan sebagai medium penyebaran virus ini secara global.


SCIENCEDAILY l TIMESONLINE l BBCl WAHYUANA

Sunday, April 12, 2009

Bo Anjing Kesayangan Keluarga Obama




Senin, 13 April 2009 | 01:45 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta : “Anjing adalah sahabat terbaik yang bisa diandalkan.” Pepatah lama ini tampaknya telah menjadi bagian dari kosakata politik Amerika. Sesuai tradisi, presiden-presiden Amerika selalu memiliki anjing kesayangan yang menemaninya di Gedung Putih. Seperti tuannya, anjing presiden pun biasanya juga mendapat pelayanan kelas satu. Kemana-mana ada pengawal yang selalu mengawasi.

Setelah 3 bulan menghuni gedung putih tanpa anjing, minggu kemarin, keluarga Presiden Barack Hussein Obama akhirnya menemukan anjing kesayangannya sendiri. Anjing beruntung berusia 6 bulan itu diberi nama Bo. Ia kini menjadi penghuni baru gedung putih, yang segala tingkah lakunya juga akan menjadi pusat perhatian media.

Bo ternyata binatang peliharaan pertama keluarga Obama. Selama ini, keluarga Obama tak pernah mempunyai binatang kesayangan. Mereka mendapatkan anjing keturunan Potugal itu dari pemberian Senator Edward M. Kennedy dari Massachuset, yang memberikannya sebagai hadiah buat putri Obama, Sasha, 7, dan Malia, 10.

Sasha dan Malia kemudian menamakan anjing itu seperti nama kucing milik sepupunya yang juga bernama Bo. Nama itu ternyata juga disukai oleh ibu negara Michele Obama, yang mengingatkan Michele pada nama mendiang ayahnya Diddley, dan juga mengasosiasikan pada nama penyanyi jazz kesukaannya Bo Diddley.

“Bo akan duduk jika melihat kedua gadis itu (Sasha dan Malia) duduk. Dia juga akan berdiri jika melihat tuannya berdiri. Bo tak pernah salah masuk toilet. Dia juga tak pernah merusak furniture. Bo anjing yang cerdas, yang telah menyerap semua pelajaran dari pelatih anjing Senator Kennedy. Anjing itu telah dilatih di sebuah tempat rahasia, yang tertutup, di luar Washington,” komentar koran Washington Post.

Presiden-presiden Amerika selalu mempunyai anjing kesayangan yang akan selalu menemani selama menjalani tugas-tugas berat di Gedung Putih. President Lyndon B Jhonson misalnya memiliki Yuki, anjing kesayangan yang semula ia temukan tengah terdampar tak terurus di sebuh pom bensin di Texas.

President Dwight Eisenhower menjalani hari-hari kerjanya di Ruang Oval bersama Heidi, anjing kesayangan keturunan Jerman. Presiden George Walter Bush memiliki anjing Berney, Miss Beazley dan kucing hitam legam yang ia beri nama India. Nama kucing George W Bush ini, bahkan sempat mengundang demonstrasi di New Delhi, mereka memprotes nama India digunakan sebagai nama binatang peliharaan. Ayahnya, Presiden George Bush, juga memiliki dua ekor anjing kesayangan selama menghuni Gedung Putih yaitu Millie dan Ranger.

Jhon F. Kennedy barangkali presiden penggemar berat anjing dibanding presiden-presiden Amerika yang lain. Ia membawa 6 anjing kesukaannya sekaligus ke Gedung Putih, diantaranya Shannon, Charlie, Clipper dan Pushinka yang merupakan hadiah dari Khrushchev.

Dalam publikasi pertamanya yang dilansir Gedung Putih, Senin (13/4), Bo tampak gagah. Ia dipotret dengan memakai tuxedo hitam, dasi putih, cakar putih dan janggut putih. Ia juga dipotret dengan kostum lain seperti layaknya seorang selebriti, dengan memakai slayer bulu warna-warni. Ia akan menempati posisi sama istimewanya dengan Obama di Gedung Putih.

LATIMES l WASHINGTONPOST l WAHYUANA

Sunday, March 22, 2009

Journalism standards matter


Warief Djajanto Basorie , The Jakarta Post, Tue, 02/17/2009

When the media covers a conflict, accusations of bias can land on its doorstep. A case in point is the three-week Israeli offensive into Gaza that ended in mid-January. The BBC received more than 11,000 complaints when, on Jan. 26, it decided not to broadcast a TV appeal by aid agencies for victims, particularly children, of Israel's assault on Gaza. BBC Director-General Mark Thompson denied he had been subject to the lobbying of pro-Israel interests. He maintained the corporation had a duty to cover Gaza in a "balanced, objective way."

Journalists on the ground could be influenced to take sides in witnessing distressed children left homeless and parentless.

To do so, though, might let their impartiality become hostage to the events they are covering. Indeed, every journalist should follow his or her own conscience.

Journalists should, however, exercise in earnest the paramount obligation common to all in their profession: Journalism's first obligation is to the truth. In Elements of Journalism, Bill Kovach and Tom Rosenstiel state that after assembling and verifying the facts, "journalists try to convey a fair and reliable account of their meaning."

Further to this, journalism's first loyalty is to citizens. This means coverage is not slanted and with a commitment that it should present a representative picture of all constituent groups in society.

Observing the first two out of the 10 elements of journalism enumerated by Kovach, journalists should attempt to report on the opposing sides of a conflict situation. In Gaza, a Palestinian grandmother waves a white cloth but an Israeli soldier still shoots his automatic firearm and maims her grandchild. The BBC reports the event citing two independent witnesses. It then seeks a response from the Israeli military and a spokesperson for the Israeli Defense Force replies the matter is under investigation.

It is this approach to reporting, covering all the pertinent sources, that sustains the credibility of the journalist. By providing credible reporting, the journalist has tried to convey a fair and reliable account. The coverage is not slanted and purposefully attempts to provide a representative picture of what happened.

It is not easy to cover conflict or a tragedy, or even a seemingly conventional news conference, and not be affected by it. Journalists can express emotions. An extreme case is Iraqi TV journalist Muntadhar al-Zeidi angrily pitching both his shoes at then US President Bush in Baghdad on Dec. 14, 2008.

However journalists should exert self-control on the job to get the most worth out of the assignment. Covering a conflict should not lead to a conflict in conscience. One-sided coverage of the fighting in Gaza in favor of the Palestinians may be well-meaning to advocate their cause but it could stir resentment from those who perceive the reporting is unbalanced and lead to accusations of media bias. The danger of one-sided reporting is that it could foment an "us and them" mentality.

In Indonesia, such charges of taking sides in relation to the media's reporting of the communal conflict in the Maluku islands, for instance, are one example. More than 8,000 people died from January 1999 to 2001 in the violence that started in Ambon, the provincial capital, and spread to North and Southeast Maluku. The local media in Ambon split along communal lines. It got co-opted to be the trumpet of the contending communal groups and succumbed to carrying provocative news during the escalating conflict. Radio stations also became partisan.

It was only after the February 2002 peace agreement between the conflicting faiths, reached in the South Sulawesi hill town of Malino, that the reporting became less biased. The establishment of the Maluku Media Center by journalists concerned with unbiased and non-provocative reporting helped to restore the peace.

At the national level, "Indonesian journalists are independent in producing accurate, balanced and malice-free news stories." This call is underscored in Article 1 of the Journalistic Code of Ethics (KEJ) that 29 journalists and media organizations drafted in March 2006 and approved by the Press Council. The 11-Article KEJ should be a working guide for the balanced, unbiased reporting of Indonesian journalists.

The writer is a journalism instructor at the Dr. Soetomo Press Institute (Lembaga Pers Dr. Soetomo, LPDS) in Jakarta.