Monday, December 12, 2005

Pasar Elektronik Telepon Seluler Masih Terbuka Lebar

Oleh : Wahyuana

Berbeda dengan negara lain, dimana trend teknologi telepon seluler atau mobile phone menjadi peralatan tambahan dari penggunaan telepon rumah tangga yang lebih dominan. Di Indonesia, karena rendahnya kapasitas terpasang telepon rumah tangga, kehadiran telepon seluler betul-betul menjadi bom bagi pemenuhan pasar komunikasi telepon. Mulai dari tukang ojek sampai pejabat sekarang semua mempunyai handphone. Diperkirakan tingkat pertumbuhannya sampai 65,5% per tahun. Sampai akhir tahun 2005 ini sekitar 40 juta – 45 juta orang Indonesia akan memakai handphone (lihat tabel 1). Dan sampai tahun 2008 diperkirakan jumlah pemakai akan sampai sekitar 60 juta pemakai.

Hal lain yang mendorong pesatnya perumbuhan penggunaan handphone di Indonesia adalah upaya para operator seluler dalam berkompetisi untuk menarik pelanggan, baik dalam persaingan harga yang lebih murah maupun penyediaan fitur-fitur tambahan dalam fasilitas handphone.

Dalam hal harga, operator seluler Indonesia berlomba menyediakan paket murah yang diperuntukkan bagi kelompok menengah kebawah, seperti penjualan kartu perdana dengan harga sangat murah disertai bonus pulsa. Sedang berbagai fitur-fitur tambahan seperti SMS (Short Messagge Service), MMS (Multi Media Service), instant internet, turbo internet, GPRS/EDGE, WAP, Radio, web, camera, MP3, sampai photografi. Perkembangan pasar seluler menjadi betul-betul dinamis.

Pasar telepon seluler di Indonesia didominasi oleh tiga operator seluler GSM yaitu Telkomsel, Indosat, dan Excelkomindo. Ketika operator ini menguasai hampir 90% pasar seluler, sedangkan sisanya dikuasai oleh operator lain seperti CDMA dan PSN (Operator telepon satelit)... (continued...)

More article in Japanese with tables and figure was published at JIEF Magazine

Peluang Pasar Elektronik di Indonesia

Oleh : Wahyuana


Faktor populasi jumlah penduduk menjadi magnet utama bagi perusahaan elektronik global melirik pasar Indonesia. Dengan jumlah penduduk 210 juta orang, konsumsi pasar elektronik mencapai omset sekitar Rp. 30 trilyun per tahun, dari perkiraan ceruk potensial pasar sebesar Rp. 50 trilyun per tahun. Suatu peluang bisnis yang menggiurkan.

Sebagian besar konsumsi pasar juga masih belum beranjak dari produk-produk elektronik dengan teknologi menengah yang mencakup audio-video, produk alat-alat rumah tangga (home appliances) dan home automation. Yang pasarnya diperkirakan tumbuh antara 15-20 persen per tahun.

Produk audio-video yang menguasai pasar seperti Televisi, VCD (Video Compact Disk), DVD (Digital Video Disk), VCR (Video Cassette Recorder), Mini Compo, elektronik games, radio kaset, peralatan communications, dan audio-video assesoris mobil. Sedangkan produk home appliances dan home automation seperti kulkas, mesin cuci, rice cooker, blender, mixer, micro oven, AC, bohlam, organ elektrik, kipas angin, baterai, pompa air, sampai heater.

Konsumsi lokal di Indonesia memang masih dikuasai oleh konsumen produk dengan standar harga ekonomis. Daya beli untuk kategori produk ini masih sangat tinggi dibanding produk luxury dengan teknologi tinggi.

Dari sekitar 54 juta jumlah rumah tangga di Indonesia, sampai saat ini jumlah rumah tangga yang memiliki televisi diperkirakan baru sekitar 56 persen, kulkas sekitar 16,8 persen, refrigeran (AC) 1,7 persen, mesin cuci 2,9 persen, seterika 21,3 persen, kipas angin 32 persen, dan pompa air baru sekitar 22,3 persen. Sehingga peluang ini membuka lebar pintu investasi industri elektronik teknologi menengah yang di beberapa negara lain sudah tidak diproduksi lagi... (continued...)

More article in Japanese with figure and tables was published at JIEF Magazine

Saturday, November 05, 2005

Seri Industri Personal Computer : Dominasi Tiga Merk di Pasar Printer

Oleh : Wahyuana

Pasar printer di Indonesia dikuasai 2 merk raksasa printer dari Jepang, Epson dan Canon, dan sebagian ceruk pasar dikuasai merk Hawlett Packard dari Amerika Serikat. Ketiga merek ini menguasai sekitar 93,8% pasar printer di Indonesia, dari total penjualan yang diperkirakan tahun ini akan mencapai angka penjualan sekitar 1 juta unit printer per tahun.

Ketiga merek ini berbagi pasar. Canon menguasai pasar Inkjet, tahun 2005 ini diperkirakan akan mampu terjual sekitar 500 unit printer inkjet. Sedangkan Epson menguasai semua jenis printer dari dot matrix, inkjet, laser sampai produk-produk inovasi mutakhirnya di pasar printer multifungsi. Sedangkan Hewlett-Packard tak bisa tergoyahkan dari dominasinya di jenis printer laser.

Sejumlah merk lain seperti Samsung, Xerox, Apollo, Lexmark, Panasonic, dan Okidata tampaknya masih belum mampu menyodok ke dominasi 3 besar. Hanya printer merk Samsung dari Korea yang diperkirakan mulai menguasai sekitar 5% pasar printer laser.

Printer Inkjet masih mendominasi 71% pangsa pasar printer, atau sekitar 700.000 unit penjualan per tahun. Disini 2 merk bersaing, Canon dengan produk-produknya jenis Canon xxx BJC dan Epson dengan produk Epson Stylus Color yang mencakup berbagai variasi produk.

Pasar low-end yang murah memang menjadi arena persaingan perebutan pasar printer. Ini sesuai dengan riset pemasaran yang mengatakan, alasan orang beli printer, pertama lebih ke faktor pertimbangan harga. Baru kemudian soal kualitas cetak, harga tinta, dan garansi. Ketiga merk itu mengandalkan penjualannya di kelas ini. Kalau HP punya Laser Jet dan Buble Jet untuk kelas low-end printer laser, Canon dan Epson mengandalkan dua produk diatas dengan harga pasar dibawah US $ 150 –100 di kelas printer Inkjet.

Dominasi Epson di segmen dot matrix masih kuat, meskipun pasar kian mengecil, karena printer dot-matrix sudah mulai ditinggalkan konsumen.

Epson pantas mendominasi pasar printer di Indonesia. Seiko-Epson Corp. perusahaan produsen printer Epson mengkonsentrasikan investasinya selain di Amerika Latin, juga di Indonesia. Saat ini Epson memiliki pabrik produksi di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, dengan nama perusahaan PT. Indonesia Epson Industry (IEI) yang dijadikan salah satu sentra produksi printer Epson yang selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri Indonesia, juga ekspor.
Di Indonesia, Epson didistribusikan melalui dua distributor yaitu PT Epsindo Prima sinergi dan PT. Metrodata Electronics tbk. Yang berhasil melakukan penetrasi ke pasar semua jenis printer. Hanya printer laser dari produk Epson yang masih kalah dari merk Hewlett Packard, meski printer laser Epson menguasai pasar di Taiwan dan Jepang.

Selain kualitas printer Epson yang bagus, di Indonesia, fasilitas service, garansi, dan layanan purna jual dari distributor Epson yang memuaskan konsumen, membuat Epson amat populer bagi pengguna printer. Epson di Indonesia juga sudah mulai mengembangkan produknya tidak hanya ke printer monokrome dan color inkjet, tetapi juga mulai mengembangkan ke jenis layanan printer untuk percetakan. Yaitu printer multifungsi yang tidak hanya sekedar untuk mengeprint dokumen dari komputer, tetapi juga bisa sebagai faksimili, telepon, scanner, dan mesin cetak foto. Trend printer multifungsi ini saat ini mulai menjadi sasaran penetrasi produk-produk Epson.

Baru-baru ini, Vice President PT Epson Indonesia, Iiichi Abe, mengatakan ke kalangan media, tentang rencananya untuk melakukan alih teknologi pembuatan printer Epson kelas low-end ke para pemasok komponen printer dalam negeri Indonesia. “Kami akan lebih konsentrasi ke printer printer inovasi terbaru dengan teknologi terbaru,” kata Iiichi seperti dikutip oleh Antara. Printer itu nanti akan tetap bermerk Epson dan dari segi kualitas, produktivitas, maupun engineeringnya masih diawasi Epson, sehingga meskipun produksinya diserahkan ke pemasok Indonesia, kualitasnya tetap sama.

Direncanakan, proses alih teknologi tersebut akan berlangsung secara bertahap dalam 3 tahun, dengan tahap pertama membuat engineering development (pengembangan rekayasa mesin) di Indonesia. Selama proses alih teknologi itu, juga akan mendidik pemasok di Indonesia agar mengusai masalah perencanaan bisnis, desain industri, dan analisis untuk engineering
Menurut Aiichi, saat ini Epson satu-satunya produsen printer penguasa pasar printer Indonesia, yang menginvestasikan pabrikasinya di Indonesia. Bahkan menjadikannya sebagai basis produksi untuk mencukupi keseluruhan pasar Epson di seluruh dunia.

Menurut Iiichi, pesaing investasi printer di Indonesia adalah Cina, yang mempunyai biaya buruh sama dengan industri penunjang yang lebih kuat, serta potensi pasar yang lebih besar. Iiichi mengeluh tentang tingginya tingkat pemalsuan tinta Inkjet produksi dari Epson yang beredar di pasaran di Indonesia. Untuk mencapai program itu. PT. Indonesia Epson Industri pada tahun 2005 ini merencanakan menambah investasi sekitar 3 miliar yen atau sekitar Rp. 264 miliar di Indonesia. Investasi itu untuk meningkatkan target produksi sampai 1.050.000 printer per bulan. Dimana sekitar 3% dari produk itu untuk memenuhi kebutuhan domestik Indonesia, sisanya diekspor. PT. Indonesia Epson Industri merupakan salah satu profil contoh investasi Jepang dalam industri printer di Indonesia. Berdiri sejak Juli 1994, selama ini Epson telah bekerja sama dengan lebih dari 130 industri pendukung komponen, baik untuk material, komponen, subperakitan, logistik, delivery dan lain-lain.
"Ada 12 perusahaan industri komponen Jepang lain yang telah kami ajak ke Indonesia untuk memperkuat produksi Epson sini," kata manajemen Epson ke media.

Data sampai tahun 2003, total investasi Epson di Indonesia telah mencapai 247,2 juta dollar AS, dengan jumlah tenaga kerja sekitar 6.990 orang. Jumlah itu belum termasuk industri penunjang lainnya yang mencapai 31 industri yang mempekerjakan sekitar 29.000 orang. Epson satu-satunya dari tiga penguasa pasar printer di Indonesia, yang betul-betul serius menggarap pasar dan berinvestasi di Indonesia.***

In Japanese was Published at JIEF Megazine

Seri Industri Personal Computer : Peluang Pasar PC di Indonesia

Oleh : Wahyuana

Peluang pasar PC di Indonesia masih terbuka lebar. Sampai saat ini, rasio PC dibanding jumlah penduduk masih dibawah 10 % atau sekitar 25 juta unit PC dari sekitar 220 juta penduduk. Sangat tertinggal dibanding negara-negara tetangganya seperti Malaysia yang sudah mencapai rasio 40% dan Thailand 35%. Indonesia hanya lebih baik dibanding India, Myanmar dan Vietnam.


Namun, melihat tingkat pertumbuhan pasar yang diperkirakan sekitar 20% per tahun, lembaga riset market IT (Information Teknologi)- Forester, meramalkan Indonesia di masa depan akan menjadi pasar paling potensial untuk industri PC, dari hanya 2,6 juta kepemilikan PC di tahun 2003, diperkirakan akan tumbuh menjadi 40 juta di tahun 2010.

Tingginya ekspektasi ini, karena memang masih banyak potensial pasar PC yang belum digarap. Terutama di sektor usaha bisnis kecil menengah. Dari sekitar 3,73 juta unit usaha kecil menengah (UKM), yang menguasai sekitar 70% roda ekonomi Indonesia, baru 18% yang telah menggunakan PC dalam menjalankan bisnisnya. Sehingga pasar ini merupakan peluang potensial baik untuk kebutuhan hardware maupun software.
Di tahun 2005 ini pasar PC (meliputi dekstop, notebook, dan server) diperkirakan akan mampu menembus penjualan sekitar 1.300 unit, senilai sekitar US $ 1,2 miliar. Atau tumbuh sekitar 20%.

Pola konsumsi pasar diharapkan juga akan berubah, meningkatkan pasokan sampai 71% untuk mencukupi konsumen sektor bisnis, sedang konsumsi sektor pemerintahan 17%, retail 9%, dan sekitar 3% untuk konsumsi sektor pendidikan.

Sejak tahun 2002 pola konsumsi PC di Indonesia memang telah berubah, sektor swasta mulai menjadi konsumen terbesar, setelah pada tahun-tahun sebelumnya pasar PC lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan sektor pemerintahan. Konsumsi sektor pemerintahaan saat ini sedang turun. “Konsumsi pemerintahan turun sejak pemerintah menggiatkan mekanisme pengawasan korupsi. Banyak yang takut dipersalahkan dalam mekanisme tender, sehingga banyak institusi yang menunda penyediaan kebutuhan komputernya. Dua bank pemerintah yang menyerap kebutuhan komputer terbanyak, Bank Mandiri dan Bank BNI, tahun ini malah membatalkan tendernya,” ujar Gunadi Setiadi, Sekjen APKOMINDO (Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia) yang juga Direktur PT. Multicom Persada International yang memproduksi komputer rakitan lokal merk Mugen. Untuk kelas dekstop, PC produk-produk rakitan lokal masih mendominasi pasar sampai sekitar 66 %. Sedangkan PC branded, baik yang diimpor built up atau rakitan lokal, menguasai sekitar 44% pasar (lihat tabel 1).

Merk-merk komputer yang mendominasi pasar (lihat tabel 2 dan 3) yaitu HP/ Compaq, Acer, IBM, Dell, Toshiba, Zyrex, Mugen. HP/Compaq menguasai sekitar 33% pasar dekstop dan juga sekitar 90% pasar kebutuhan server.
PC branded dari Amerika Serikat seperti Hawlett-Packard/Compac, Dell, dan IBM dikenal sebagai supplyer utama kebutuhan PC bagi lembaga-lembaga internasional di Indonesia, dan perusahaan transnasional, seperti perusahaan minyak dan gas, bank, dan perusahaan bisnis keuangan.

Dominasi produk-produk komputer branded dari Amerika ini mendapat saingan ketat dari produk Jepang terutama di pasar Notebook. Dua merek notebook Jepang, Toshiba dan Fujitsu, menguasai pasar pasar notebook. Bahkan Toshiba diperkirakan mendominasi pasar notebook sampai 35%. Sedangkan notebook Fujitsu populer bagi konsumen Indonesia karena kecanggihan teknologi wireless-nya dan ketahanan modelnya.
Pasar produk impor untuk PC dekstop dikuasai produk-produk dari Amerika Serikat, sedangkan notebook dikuasai merk-merk produk Jepang.

Diantara merk-merk dari Jepang dan Amerika ini, terselip Acer dari Taiwan, yang menguasai sekitar 10 % pasar dekstop, server maupun notebook. Beberapa tahun lalu, Acer terkenal sebagai komputer yang murah, dan menjadi merk paling populer di pasar kelas menengah ke bawah.

Produk dari Jepang yang saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan penetrasi pasar dengan melakukan berbagai promosi adalah NEC. Seperti produk Jepang yang lain, NEC tampaknya lebih mengkonsentrasikan produknya pada notebook.

Merk Samsung dari Korea saat ini juga mulai mendapat tempat di pasaran. Terutama setelah mendapat brand dari media IT sebagai PC murah dengan kualitas bagus. Samsung mempunyai pabrik di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, untuk memproduksi monitor PC. Tidak hanya untuk memenuhi pasokan pasar domestik Indonesia tetapi juga ekspor.
Merk-merk ini bersaing ketat dengan produk lokal yang lebih murah. Produk branded biasanya menawarkan kualitas, service dan jaminan garansi. Sedangkan kompuetr produk lokal terkenal dengan harganya yang murah. Beberapa merk lokal bahkan bisa ditemui di pasar Glodok dan Mangga Dua, Jakarta Pusat, --dua puast utama perdagangan komputer di Indonesia—dijual dengan harga dibawah harga US $ 300 untuk spesifikasi komputer keluaran terbaru dengan prosessor intel pentium IV.

Diantara merek-merk PC rakitan lokal adalah Zyrex, Mugen, Relion, Wearness, Extron, IncoPC, GTC, Ion, dan ratusan merk lokal yang beredar dalam skala kecil di tiap daerah. Pasar komputer rakitan ini terutama untuk sektor usaha bisnis menengah kebawah, warnet (warung internet), lembaga pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga serta individul. Harganya yang murah, dengan kualitas yang sebanding dengan komputer branded, mereka tampaknya akan tetap menguasai pasar domestik Indonesia yang berdaya beli rendah. Apalagi setelah pemerintah mengeluarkan peraturan Surat Keputusan Menperindag No. 756/MPP/ Kep/12/ 2003 yang melarang impor komputer bekas. Kebijakan ini amat menolong perkembangan bisnis komputer produksi lokal.

“Produksi kami sekitar 15.000 unit PC setiap tahun. Belum termasuk produk lain seperti server dan peripheral,” ujar Gunadi Setiono. Mugen yang mempunyai pabrik perakitan di Green Garden, Jakarta Barat, mempunyai sekitar 400 karyawan, merupakan salah satu industri perakitan komputer terbesar di Indonesia. Seluruh produknya masih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dengan sekitar 25 pusat layanan service di seluruh Indonesia.

Kualitas produk-produk PC rakitan lokal ini memang tak kalah dengan komputer branded. Mereka memegang lisensi sebagai OEM (Original Equipment Manufacturer) dari Intel dan Microsoft, sehingga produk-produk mereka pun selalu up to date dengan produk keluaran terbaru dari industri PC branded. Jika intel mengeluarkan prosessor terbaru, industri PC lokal pun akan segera mendapatkannya juga, sehingga segera akan mengeluarkan produk PC dengan spesifikasi yang sama dengan PC branded.
Produk-produk prosessor dan server dari Intel masih mendominasi pasar di Indonesia, dibanding saingan utamanya merk processor merk AMD. Budi Wahyu Jati, Country Manager PT. Intel Indonesia Corporation, mengatakan ke JIEF Magazine di sela-sela IndoComtech 2005 (Indonesia Computer Technology Expo), “sekitar 95% PC menggunakan prosessor merk Intel.”

Industri PC rakitan lokal 90% sangat tergantung pada import komponen. Seperti processor, memory, casing, monitor, motherboards, hard disk dan acessories lain. Sampai saat ini pemasok utama impor komponen berasal dari Jepang, Korea, Cina, Taiwan, Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat. Namun sulit untuk menentukan besar impor per komponen yang masuk ke Indonesia.

“Komponen komputer sudah dianggap sebagai komoditi, seperti layaknya komoditi lain yang masuk dengan jumlah besar dan dikur per volume import. Barangnya juga diimpor sesuai dengan harga pasar, mana yang paling murah. Jadi susah diketahui jumlahnya,” ujar Gunadi Setiono, direktur Mugen.

Seperti processor diimpor dari Malaysia, dimana Intel dan AMD mempunyai industri pabrikasinya di Penang, Malaysia. Komponen komputer dari Taiwan, Cina dan Korea, dikenal dengan harga yang murah. “Dari Jepang, saya impor barang-barang seperti disk drive, DVD/CD room, dan audio accessories terutama yang produk Sony,” ujar Gunadi Setiono.

Ketergantungan pada impor komponen, membuat harga PC rakitan sangat dipengaruhi fluktuasi dollar, karena semua komoditi impor komponen dihargai dalam kurs US dollar.

Henkyarto Tjondroadhiguna, ketua umum Apkomindo, mengatakan ke JIEF Magazine,” untuk itulah kita berharap pemerintah dapat mempertanhakn fluktuasi dollar terhadap rupiah yang stabil. Fluktuasi yang berubah, membuat harga PC pun segera berubah di pasar, dan konsumen sering tidak mau mengerti. Padahal margin keuntungan dalam bisnis PC ini kecil. Jadi kalau nilai rupiah sering berubah, pasar PC yang paling akan kena dampaknya,” ujarnya.

Melihat peluang pasar PC di Indonesia yang menggiurkan, bagaimana dengan investasi di industri PC di Indonesia. Budi Wahyu Jati, country manager Intel, mengatakan, “ meski menguasai 95% pasar processor di Indonesia, tetapi belum ada rencana untuk mendirikan pabrik di Indonesia. Selama ini produk Intel di konsentrasikan produksinya di pabriknya di Penang, Malaysia. Nilainya masih terlalu kecil untuk investasi. Tetapi tetap tidak menutup kemungkinan untuk melakukan relokasi di masa mendatang,” ujarnya.

Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Rudy Rusdiah, direktur PT. Micronics Internusa, distributor dan Representative dari Dell, mengatakan ke JIEF Magazine, bahwa perusahaannya belum ingin melakukan investasi langsung berupa mendikan pabrikasi disini. “Kami memakai sistem direct selling, konsumen memesan langsung ke perusahaan dan kemudian kami layani. Makanya kami tidak banyak beredar bebas di pasar retail. Tetapi ternyata sistem ini malah membuat kepercayaan konsumen dan kami tetap memimpin pasar. Sehingga cukup pabrikasi di Amerika,” ujarnya.

Data di BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) menunjukkan ada sekitar 3 indutri dari Korea dan 4 dari Jepang yang melakukan investasi di bidang sektor industri komputer dan eletronika di tahun 2004. Sejumlah industri di sektor produksi printer, seperti merk Epson, dan produksi monitor, merk LG dan Samsung, dikabarkan akan menambah investasi, bahkan mengkonsentrasikan produknya di Indonesia.
Richard Mengko, staff ahli Menteri Riset dan Teknologi, mengatakan ke JIEF Magazine, investasi di sektor industri komputer tetap diupayakan. Bahkan pemerintah siap memberikan insentif-insentif bagi investasi bagi industri di bidang IT ini. “Microsoft mau mendirikan research center disini. Saya kira itu bentuk investasi yang strategis,” ujarnya. Richard juga menjelaskan kemungkinan mengekspor produk Indonesia di bidang industri komputer dan IT,” terutama di bidang software. Banyak tenaga kreatif kita yang potensial di bidang ini. Memang di bidang hardware kita ketinggalan, tapi tidak untuk industri software,” ujarnya.***


In Japanese was Published at JIEF Magazine

Friday, October 07, 2005

Media untuk Tranformasi Konflik : Pengalaman Maluku Media Centre (MMC)


Oleh : *Wahyuana

Media dan jurnalisme telah turut menjadi korban dalam kerusuhan yang kemudian berubah menjadi konflik di Maluku (1999-2002). Mereka tak bisa mengelak dari konflik yang demikian eksesif dan memporak-porandakan seluruh sendi dan organisasi masyarakat di Maluku, khususnya Ambon, yang terpecah dalam sentimen komunitas Islam-Kristen.Dan jurnalisme sering menghasilkan informasi yang bias dan kontroversi. Tetapi akal sehat para pekerja media juga yang telah merubah media, menjadi instrumen yang mempunyai kontribusi utama dalam mendorong dan memfasilitasi perdamaian, rekonsiliasi dan transformasi konflik di Maluku

Sampai saat ini tidak ada data yang pasti, berapa jumlah korban meninggal dalam kerusuhan yang kemudian berubah menjadi konflik yang melibatkan komunitas Islam dan Kristen di Maluku (1999-2002). Catatan LSM Gerakan Bakubae memperkirakan sekitar 11.000 orang telah tewas, media memperkirakan sekitar 8.000 orang tewas, sedangkan data pemerintah memperkirakan 1.400 orang tewas. Sampai sekarang ribuan pengungsi masih mendiami tempat-tempat darurat. Peristiwa itu telah betul-betul menjadi bencana yang menambah deret panjang bencana kemanusiaan di Indonesia, yang sampai sekarang masih sulit dipahami akal sehat, kok sampai bisa terjadi ?

Sepintas Konflik Maluku

Konflik di Maluku dipicu oleh persoalan sepele dari perkelahian dua pemuda, sopir angkot dan penarik sewa angkot, di terminal Batumerah. Bagi para pemuda di Maluku, berkelahi memang sudah bukan hal asing. Tetapi peristiwa tanggal 19 Januari 1999 yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri itu menjadi lain, karena dalam hitungan detik perkelahian merembet menjadi penyerbuan dan perkelahian antar kampung di Ambon. Awalnya, isu yang berkembang adalah pengusiran terhadap para warga pendatang Bugis-Buton-Makasar, karena kebetulan salah satu pemuda yang berkelahi berasal dari Buton.

Tetapi kemudian berkembang menjadi isu perkelahian antar agama. Dan dalam waktu beberapa hari saja, konflik telah meluas ke seluruh pelosok kota dan Pulau Lease. Kemudian merembet ke kampung-kampung di pulau-pulau di seluruh propinsi Maluku. Sebelas bulan kemudian, 27 Desember 1999, kerusuhan telah merembet sampai ke Maluku Utara yang juga menelan ribuan korban.

Versi resmi kepolisian melihat kerusuhan merupakan akibat dari kepulangan preman-preman asal Ambon dari Jakarta, paska kerusuhan Ketapang, Nopember 1999. Preman-preman inilah yang kemudian bertindak memprovokasi kerusuhan menjadi konflik berlatar belakang agama.

Menambah banyak kerusuhan sepanjang hari-hari akhir pemerintahan Presiden Soeharto yang sampai sekarang tidak ada yang terungkap tuntas. Pemerintahan baru pimpinan B.J Habibie sampai Gus Dur tidak mampu berbuat banyak menyelesaikan konflik Maluku. TNI dan Polri juga tidak mampu segera menangani, malah dalam beberapa kasus, oknum-oknumnya turut terprovokasi terlibat dalam peristiwa kekerasan. Sekitar 25.000 prajurit TNI pernah dikirim ke Ambon dalam waktu bersamaan untuk menangani konflik ini, suatu jumlah sangat besar untuk satu wilayah yang tak berapa luas, namun tak membawa hasil.

Kerasnya konflik telah mempengaruhi semua sektor kehidupan. Tidak ada satu lembaga dan organisasi di Ambon yang tidak terpengaruh konflik, semua pecah dalam segmentasi Islam atau Kristen. Bahkan lembaga-lembaga dan organisasi milik pemerintahpun juga terpisah dalam kantor Islam-Kristen, termasuk institusi kepolisian. Penduduk yang beragama Islam pindah ke wilayah Islam, demikian juga penduduk Kristen. Pejabat pemerintah dan semua tokoh masyarakat tersegmentasi dalam wilayah kelompok agamanya masing. Runtuhnya semua organisasi dan institusi masyarakat ini menyebabkan Maluku, terutama Ambon sebagai pusat konflik, seperti sebuah masyarakat tak bertuan. Penanganan konflik tak jelas. Masyarakat bawah menjadi frustasi yang kemudian mendorong pada tindakan-tindakan dan aksi yang makin anarkhis dan tidak bertanggung jawab

Media Ditengah Konflik Maluku

Dalam kondisi yang serba tak menentu, keruntuhan organisasi dan institusi-institusi masyarakat, media menjadi andalan informasi setiap orang untuk mengetahui perkembangan yang tengah terjadi. Namun tidak banyak media beredar di Ambon, di tingkat lokal hanya ada satu koran Suara Maluku, dua radio swasta, dan tiga media milik pemerintah, Antara, TVRI dan RRI.

Konflik yang keras telah membawa pada segregasi wilayah Islam-Kristen, yang kemudian juga menyeret profesi wartawan. Para wartawan yang beragama Islam tidak bisa pergi ke kantor media-media tempat mereka bekerja yang berada di wilayah Kristen. Demikian sebaliknya. Wartawan muslim hanya bisa bekerja di wilayah Islam, demikian juga para wartawan Kristen. Mula-mula masih ada upaya untuk tetap terjadi koordinasi dan mempertahankan kekompakan tim. Misalnya, para wartawan Islam tidak perlu pergi ke kantor redaksi tapi berkirim berita lewat faksimili. Namun seiring dengan kondisi konflik di lapangan yang kian keras, perpecahan tak bisa dihindari.

Media-media milik pemerintah yang diharapkan dapat memerankan fungsi yang lebih seimbang dan mampu menyuarakan informasi dari kedua belah pihak, ternyata justru termasuk yang pertama-tama ikut terpecah dan terpengaruh segregasi masyarakat. Akhirnya ketiga media pemerintah terpisah dalam dua kantor, TVRI wilayah Kristen dan TVRI wilayah Islam, demikian juga dengan RRI dan Antara.

Koran Suara Maluku yang sebagian besar sahamnya dimiliki Jawa Pos Group akhirnya juga tak bisa mengelak, ketika pada bulan ketiga konflik, sejumlah wartawannya yang beragama Islam memutuskan untuk berdiri sendiri dengan membentuk Koran Ambon Ekspress yang saham dan percetakannya juga disediakan oleh Jawa Pos Group. Tentang kisah pemisahan media ini, Dahlan Iskan, bos Jawa Pos, dalam Pertemuan Jurnalis dan Pemimpin Media Maluku dan Maluku Utara di Bogor, Pebruari 2001, mengatakan semata –mata karena problem pragmatisme lapangan, “ karena wartawan Islam tidak bisa ngantor di kantor Suara Maluku yang terletak di pemukiman kristen, maka agar mereka tetap bekerja, ya kemudian dipisah, dibuatkan Ambon Ekspress,” ujarnya.

Keterpecahan media ini berimplikasi banyak. Media-media baru yang kemudian muncul di Ambon ikut terjebak dalam segregasi masyarakat. Menjadi media-media yang seluruh kru redaksi dan divisi usahanya diisi orang-orang berdasarkan peramaan satu agama. Sampai tahun 2001, tercatat ada media Siwalima, Bela Reformasi, Dara Pos, Masnait, Suara Maluku, Tragedi Maluku, Tual Pos, Seram Pos yang seluruh kru redaksinya beragama Kristen dan media Ambon Ekspres dan Suissma yang di kelola oleh wartawan Islam.

Disamping itu radio juga terpecah, di wilayah Kristen ada radio FM Bhara, DMS, Gelora Merpati Ambon, Manusela, RRI, Sangkakala, Yournex dan radio di wilayah Islam, Kabaresi dan Naviri. Disamping masih ada satu radio SPMM (Suara Pembela Masyarakat Muslim) yang orientasi sejak awal on-air untuk kepentingan pembelaan kelompok muslim di daerah konflik dan menjadi media mengobar semangat jihad perang.

Implikasi lain dari keterpecahan pengelolan media ini, secara simbolis turut menjadi ‘penanda’ dan memperkuat legitimasi anggapan adanya konflik agama di dalam masyarakat Ambon.

Ditengah konflik horisontal di Maluku yang keras dan brutal, wartawan lokal turut menjadi korban konflik. Wartawan Suara Maluku Max Apono rumahnya terbakar habis di Pohon Puleh, wartawan Suara Maluku Poly Yoris pernah tekatung-katung selama beberapa jam di atas speedboat yang seluruh penumpangnya tewas akibat tembakan sniper, dan hanya dia yang selamat. Wartawan Antara Dien Kellilauw rumahnya habis terbakar, demikian juga rumah Wartawan Ambon Ekspress Ahmad Ibrahim di Nania. Lebih dari 50-an wartawan turut menjadi korban konflik, rumah mereka terbakar, menjadi pengungsi atau saudara mereka terluka atau tewas.

Akibat segregasi wilayah, jurnalis yang beragama Islam kesulitan melakukan liputan dan menerapkan mekanisme cross chek informasi terhadap wilayah konflik yang penduduknya mayoritas beragama Kristen. Demikian juga jurnalis yang beragama Kristen kesulitan mendapatkan akses informasi dari pihak yang beragama Islam. Kelayakan berita pun kemudian menjadi terabaikan, mendorong terbentuknya jurnalisme yang cenderung mengabarkan peristiwa-peristiwa konflik dari perspektif salah satu pihak.

Beberapa kecenderungan media di daerah konflik :

  1. Wawancara subyektif terhadap para tokoh, elit, dan tokoh ekstrim menjadi pola yang umum dalam pemberitaan.
  2. Berita bukan hasil liputan lapangan. Akibat ketakutan dan segregasi wilayah. Wartawan meliput di lapangan biasanya menumpang dengan rombongan pejabat, atau kadang wartawan menulis berita cukup dari mendengarkan informasi dari HT (Handy Talkie).
  3. Tidak cover both side. Dalam menggambarkan sebuah peristiwa kekerasan yang kontroversial, seringkali hanya berdasar penuturan 1-3 narasumber.
  4. Seringnya narasumber anonim dan tidak kredibel.
  5. Berita-berita damai kurang diberi porsi. Selama perang dan kekerasan berlangsung terjadi sebenarnya juga banyak peristiwa kemanusiaan antar masyarakat Islam-Kristen, tetapi kurang mendapat tempat dalam liputan..
  6. Pemakaian kata-kata kasar, umpatan, makian dan pemakaian judul-judul berita yang sensasional.

Kecenderungan ini terjadi baik di media cetak, radio maupun pemberitaan TVRI lokal. Contoh misalnya berita Ambon Ekspres edisi 11 Desember 2001 tentang kematian dua orang akibat penembakan gelap di Desa Kulur, Maluku Tengah, yang mayoritas beragama Islam. Berita mengarahkan pada dugaan kuat penembakan dilakukan oleh orang Kristen, tanpa ada konfirmasi dan wawancara dengan pihak-pihak Kristen seperti dari gereja atau tokoh masyarakat sekitar, ataupun bahkan konfirmasi ke pihak otoritas aparat keamanan. Berita lainnya, misalnya, Suara Maluku edisi 10 Januari 2000 dengan judul “Ratusan Orang Kristen Dibantai di Mess PT. WWI.” Berita ini mengisahkan tentang pembunuhan ratusan keluarga Kristen di PT. Wainibe Wood Industri oleh komunitas Islam. Namun berita hanya ditulis berdasarkan wawancara 3 orang karyawan PT WWI Kristen yang selamat. Wartawan tampak tidak turun langsung ke lapangan. Juga untuk peristiwa kekerasan yang sedemikian banyak, tidak ada konfirmasi dari aparat otoritas keamanan setempat.

Berita di koran Siwalima edisi 19 Agustus 1999 bisa menjadi contoh betapa sensitifnya informasi pemberitaan media dalam mempengaruhi masyarakat di daerah konflik. Dalam berita berjudul “Kesakrakalan Cakalele Ternoda, Aboru Bergejolak” yang memberitakan Andre Saiya, warga Desa Aboru yang mayoritas Kristen, Kecamatan Saparua, Maluku Tengah, tewas akibat diserang warga Desa Pelau yang muslim. Membaca berita ini, kontan sekitar 50 pemuda Aboru di Ambon ramai-ramai pulang kampung hendak membalas dendam. Namun setelah sampai di kampung halaman, ternyata warga tidak terpengaruh sama sekali, karena Andre ternyata meninggal akibat jeratan babi hutan ketika sedang berburu. Untung saja konflik tak segera meletus. Masih banyak contoh lain tentang bagaimana jurnalisme telah turut memperpanjang ketegangan di daerah konflik di Ambon.

Berulang kali upaya perdamaian dan penyelesaian konflik telah diadakan di Maluku sejak awal konflik, baik yang diusahakan oleh masyarakat setempat maupun oleh elite politik Jakarta, namun tidak pernah bisa menghasilkan dan memayungi proses resolusi konflik yang kuat. Salah satunya media yang biasanya cenderung bersikap pesimis dan sering bersikap saling curiga antar media terhadap upaya-upaya resolusi konflik.

Transformasi Media untuk Perdamaian

Asumsi. Dengan menggunakan penjelasan sosial tentang relasi simbiosis mutualisma media, masyarakat dan negara. Media di Maluku memiliki posisi yang sangat penting. Ditengah konflik kekerasan antar kelompok dalam masyarakat dalam permusuhan bersenjata, sedangkan negara, terutama pemerintah daerah, dalam kondisi tidak berdaya sepenuhnya untuk melakukan penyelesaian dan pengelolaan konflik, sedangkan organisasi-organisasi dan lembaga masyarakat lain juga ambruk akibat sentiman konflik. Media massa bisa menjadi salah satu instrumen yang punya peluang memainkan peran menolong masyarakat sendiri. Untuk itu diperlukan transformasi media agar siap menerima, memahami dan mengambil peran dalam usaha perdamaian dan resolusi konflik. Dan peluang itu bukan mustahil, karena dari sebuah polling yang diadakan oleh LSM Gerakan Bakubae pada akhir tahun 2000 terhadap sekitar 1.327 penduduk muslim dan 1.241 penduduk kristen di seluruh Maluku, menunjukan 95% menginginkan konflik harus segera dihentikan.

Kerangka Teory. Telah banyak contoh-contoh tentang pemberdayaan media di dalam turut membangun perdamaian dan resolusi konflik. Ross Howard dari Impacs (Institute for Media, Policy and Civil Society) membagi dalam lima type pemberdayaan media untuk membangun perdamaian dan demokrasi. Maluku Media Center (MMC) menjalankan tipologi 1, 2, 3, 5 dengan penyesuaian-penyesuaian sesuai karakteristik lapangan. Seperti MMC tidak melakukan peran sebagai lembaga ‘counter informasi,’ sebagai salah satu bentuk aktivitas dalam tipologi ke-4 dari studi Ross Howard. MMC juga tidak berada dalam satu kedudukan struktural dengan lembaga-lembaga lain dalam penanganan konflik. Namun berada dalam satu jaringan solidaritas kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan perdamaian dan penghentian kekerasan, dengan mengambil pilihan bentuk kegiatan sebagai fasilitator, promosi, penyadaran, dan mendorong upaya damai dengan menjadi bagian dari peace networker. Strategi pemberdayaan media untuk turut mendorong penyelesaian konflik di Maluku ini, dilakukan sampai kondisi Maluku berjalan normal kembali, yang akan ditandai dengan berkurangnya konflik kekerasan antar kedua kelompok agama, adanya kesepakatan penghentian konflik, dan pulihnya kembali kepercayaan diri dan koordinasi institusi-institusi pemerintahan. Sedangkan sebagai materi untuk pemberdayaan media, MMC mengadopsi konsep-konsep reporting di daerah konflik untuk perdamaian dari prinsip-prinsip Peace Journalisme yang dipopulerkan Johan Gantung dan Jack and Annabel. Juga prinsip-prinsip dari konsep Peace Reporting dalam peliputan konflik.

Metode. Yang terutama dilakukan, berupa mengadakan kegiatan training, diskusi, pelatihan, seminar, latihan liputan bersama di lapangan, dan fasilitasi pertemuan dan kegiatan bersama antar jurnalis baik di tempat konflik maupun diluar, yang melibatkan semua jurnalis, baik dari cetak mupun elektronik. Pertama, berupa aktivitas-aktivitas pemberdayaan media di tingkat dasar seperti pelatihan jurnalistik materi tingkat dasar dengan angle berupa akurasi berita, obyektifitas, teknik peliputan, produksi berita, konsep cover both side, dll. Kedua, pemberian bantuan sarana untuk menunjang kerja jurnalistik di tempat konflik agar lebih baik, berupa pendirian rumah bersama Maluku Media Center di tempat netral, yang dapat diakses oleh kedua kelompok wartawan berlainan agama. Disediakan perlengkapan yang dapat diakses semua wartawan, dan juga sebuah perpustakaan. Media center sekaligus menjadi tempat interaksi antar wartawan yang sebelumnya kesulitan mencari tempat pertemuan akibat segregasi konflik, dengan demikian diharapkan ada pertukaran informasi, klarifikasi berita, dan saling membantu dalam peliputan. Ketiga, berupa pelatihan dan praktek jurnalistik di lapangan dengan materi tentang jurnalisme damai, memahami konflik, pemetaan konflik, konflik resolusi, transformasi konflik, perdamaian dan lain-lain. Dalam kegiatannya MMC menjalin kerjasama dengan semua pihak yang berada di tempat konflik, tidak hanya media, tetapi juga NGO, pemerintahan, kelompok-kelompok dalam konflik, aparat dan tokoh-tokoh lokal.

Jurnalisme Damai

Jurnalisme damai dipopulerkan oleh Profesor Johan Galtung dari Transcend Peace and Development Network dan dikembangkan secara lebih intensif oleh wartawan Annabel Mc Goldrick dan Jake Lynch. Di Indonesia, jurnalisme damai ini diperkenalkan secara luas melalui berbagai training dan penerbitan dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Secara garis besar, jurnalisme damai adalah jurnalisme yang tidak meliput konflik dari perspektif perang dan peristiwa kekerasan sebagai berita yang disukai dalam media konvensional, tetapi yang meliput konflik dengan perspektif resolusi konflik dan kemanusiaan. Secara garis besar ada 4 nilai utama yang membedakan jurnalisme damai dengan jurnalisme perang/kekerasan :

Jurnalisme Damai/Konflik

Jurnalisme Perang/Kekerasan

Orientasi pada perdamaian/konflik

Orientasi pada perang/kekerasan

Orientasi pada kebenaran

Orientasi pada propaganda

Orientasi pada masyarakat dan korban

Orientasi pada elite dan pelaku kekerasan

Orientasi pada penyelesaian dan penghentian kekerasan

Orientasi pada kemenangan

Sedangkan secara praktis, reportase perdamaian merekomendasikan kepada para wartawan agar dalam meliput konflik :

  1. Cover both side, atau multi side dalam peliputan konflik horisontal
  2. Akses langsung meliput ke tempat konflik, orang yang terlibat, dan topik sesuai fakta.
  3. Jangan mengangkat elite sebagai narasumber utama.
  4. Hindari pemujaan dan penonjolan liputan terhadap teknologi dan taktik perang.
  5. Cerita deskripsi kekerasan diangkat untuk menjukkan betapa sia-sia nya perang dan kekerasan.
  6. Tonjolkan liputan atau laporan kehidupan orang-orang biasa dan korban.
  7. Lengkapi laporan dengan informasi yang lebih lengkap tentang tinjauan latar belakang perang.
  8. Selalu sadar akan adanya orang-orang yang selalu berusaha memanipulasi informasi.
  9. Mengkomunikasikan dan mendukung inisiatif-inisiatif perdamaian.
  10. Laporkan juga tentang bagaimana kesulitan dan pengalaman wartawan dan media dalam meliput konflik itu.

Bacaan lebih lanjut tentang jurnalisme damai dan reportase damai bisa didapat di banyak pustaka.

Kegiatan Maluku Media Center

Maluku Media Center secara organisasi di fasilitasi dan didirikan melalui organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Ada banyak sekali kegiatan yang sudah dilakukan sejak berdiri Oktober 2001, namun secara garis besar ada 3 hal utama kegiatan :

  1. Sebagai tempat interaksi antar jurnalis

Media center sejak semula diarahkan sebagai sarana ruang netral dan independen yang bisa digunakan sebagai tempat interaksi antara wartawan Islam – Kristen di daerah konflik. Agar mereka bisa melakukan saling cross chek informasi, klarifikasi berita, kerjasama peliputan dan mempermudah produksi berita. Untuk itu MMC dipilih berada di tempat netral dan daerah perbatasan yang bisa diakses oleh kedua wartawan. Berada di perbatasan kampung Mardika-Batumerah yang merupakan titik awal meletusnya kerusuhan Maluku.

Di MMC disediakan berbagai perlengkapan kerja wartawan seperti komputer, mesin faksimili, telepon, televisi, perpustakaan, ruang rapat, yang bisa diakses mula-mula hanya 4 jam sehari hanya ketika siang, karena berada pada wilayah berbahaya, sampai kemudian setahun kemudian bisa diakses selama 24 jam. Semua sarana disediakan gratis. Mula-mula selama 1 bulan pertama hanya dihadiri sekitar 4 orang, karena posisi yang di perbatasan dianggap masih rawan. Melalui MMC berbagai kegiatan diadakan untuk membangun interaksi, seperti diskusi bulanan, mingguan, acara-acara informal, dan training-training. Juga diadakan acara liputan bersama, misalnya mengajak wartawan Kristen meliput ke daerah Muslim dengan ditemani para wartawan muslim. Demikian juga para wartawan muslim pergi ke wilayah Kristen dengan bersama pengawalan teman-temannya yang Kristen. Kegiatan peliputan bersama ini selama 2,5 tahun masa konflik sejak 1999 tidak pernah terjadi, karena wartawan betul-betul takut untuk berada di wilayah lain. Kesulitan-kesulitan pencarian narasumber juga mulai teratasi, dengan penyediaan basis data narasumber di kedua belah pihak.

Minimnya sarana rekonsiliasi dan pertemuan antar Islam-Kristen akibat konflik, membuat MMC kemudian tidak hanya diperuntukkan buat kalangan wartawan. Berbagai LSM kemudian juga memanfaatkan sarana ruang rapat di MMC sebagai tempat pertemuan meraka. Banyak pasangan-pasangan keluarga Islam-Kristen yang pisah akibat konflik, kemudian juga memanfaatkan MMC sebagai tempat pertemuan keluarga. Demikian juga beberapa lembaga pemerintah yang terpecah, biasanya menggunakan halaman MMC sebagai tempat pembayaran gaji pada awal bulan, bagi para pegawai muslim, yang terpaksa harus terpisah dari kantornya yang berada di wilayah Kristen. Fungsi MMC sebagai ruang rekonsiliasi ini amat efektif turut berperan meramaikan dan mengembalikan komunikasi antar komunitas Islam-Kristen di perbatasan Mardika-Batumerah, dimana di daerah itu kemudian juga didirikan pasar rekonsiliasi ‘Bakubae.’

Tujuan utama pendirian media center untuk rekonsiliasi di daerah konflik ini, cukup efektif membantu mengembalikan komunikasi dan interaksi antar wartawan.

  1. Tempat pengembangan jurnalisme damai, peningkatan profesionalisme media, dan advokasi wartawan di tengah konflik.

MMC mengadakan pelatihan-pelatihan dan training di bidang jurnalisme, jurnalisme damai dan resolusi konflik, dan turut memberikan fasilitas produksi berita-berita jurnalisme damai itu dengan membuat situs situs internet, yang diisi oleh wartawan-wartawan Maluku sendiri, setelah mereka memproduksi berita untuk medianya, berita kemudian juga dipublikasikan di situs internet dan juga buletin MMC.

Pelatihan-pelatihan tidak hanya untuk media cetak, tetapi juga untuk radio, dan bantuan bagi televisi lokal. Berbagai lembaga dan organisasi media nasional dan internasional ternyata turut antusias terlibat dan memberikan kontribusinya dalam berbagai bentuk kegiatan dalam program ini. Juga dengan pemberian bantuan perlengkapan.

Wartawan di Ambon, pada awalnya menolak jurnalisme damai ini, dalam Pertemuan Jurnalis dan Media Maluku dan Maluku Utara di Bogor-Jakarta tanggal 25 Pebruari – 3 Maret 2001, yang difasilitasi AJI, Dewan Pers dan British Council, kebanyakan wartawan menolak konsep jurnalisme damai yang dimengerti sebagai menjadi pelaku perdamaian di konflik yang tengah berkecamuk, “kalau kami berdamai, nanti kami pulang akan dibunuh,” kata beberapa wartawan peserta. Sehingga kemudian diganti nama menjadi ‘Jurnalisme Kemanusiaan.’

Dalam acara pelatihan wartawan di Palu-Poso pada awal bulan Juli 2001, yang diikuti sekitar 45 peserta, wartawan dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari Islam-Kristen dan mereka harus meliput bersama, dan masuk ke daerah-daerah Islam-Kristen dan harus saling mengatasi masalah bersama. Pengalaman ini ternyata amat menarik, untuk memecah rasa sentimen konflik antar teman dan membangun solidaritas. Tercatat ada sekitar 6 wartawan yang menolak metode ini, dan merasa takut harus masuk ke wilayah yang berlainan agama dengan dirinya. Dalam acara ini juga sempat diadakan pertemuan ‘antar tokoh-tokoh pendeta dan ulama dari Poso-Palu yang waktu itu juga tengah berkonflik dan dikabarkan dalam kedaan bermusuhan, ternyata anggapan itu ‘patah’ dalam pertemuan meja bundar makan malam. Sehingga anggapan tidak mungkinnya ada pertemuan damai antar-antar pihak bertikai adalah anggapan kosong. Peluang perdamaian dan penghentian konflik selalu tersedia, asal dimulai dengan serius dan dengan niat tulus. Setelah melalui berbagai pengalaman perlahan konsep jurnalisme damai pun diterima.

Selain MMC juga melakukan monitoring media dengan metode content analysis secara periodik pada berita-berita media di Ambon, terutama 4 media cetak utama yaitu Suara Maluku, Ambon Ekspres, Siwalima, dan Koran Info. Juga ada program advokasi terhadap jurnalist.

  1. Mendorong dan memfasilitasi konflik resolusi, penghentian kekerasan dan transformasi konflik.

MMC sejak semula juga aktif dan memposisikan lembaga sebagai bagian dari kelompok-kelompok masyarakat yang bekerja untuk perdamaian dan mempromosikan segera adanya penghentian kekerasan dan resolusi konflik di Maluku, namun tidak berada dalam satu jaringan struktural yang terikat dengan organisasi atau insitusi lain, namun sebagai bagian dari solidaritas. Aktivitasnya dengan mengadakan diskusi – diskusi aktual tentang permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi di daerah konflik. Kemudian juga aktif mengikuti pertemuan-pertemuan yang digagas oleh berbagai pihak dalam mendorong perdamaian dan resolusi konflik. Baik yang diadakan oleh pemerintah, NGO, maupun kelompok-kelompok masyarakat lokal. Seperti turut bergabung dan menghadiri aktivitas-aktivitas dari Gerakan Bakubae Maluku. Turut menghandiri pertemuan-pertemuan persiapan resolusi Malino. MMC juga aktif memberikan wawancara di radio dan TVRI lokal yang mendorong resolusi konflik dan penghentian kekerasan di Maluku. Dan dalam setiap pertemuan dengan para elite politik di Jakarta maupun di Ambon, meloby dan mempromosikan resolusi konflik di Maluku.

Lobby dan promosi perdamaian dilakukan ke semua pihak yang punya potensi dalam upaya penghentian kekerasan konflik dan resolusi konflik seperti ke pejabat pemerintah pusat, pemerintah lokal, parlemen pusat maupun daerah, TNI, Polri, LSM-LSM, tokoh masyarakat, tokoh agaman, lembaga-lembaga agama, kelompok-kelompok garis keras, pelaku kekerasan, masyarakat lokal, dan pihak-pihak lain.

Evaluasi

MMC mengembangkan media yang tidak mengobarkan konflik dan membangun solidaritas, komunikasi, dan rekonsiliasi diantara wartawan-wartawan lokal Maluku, yang selama konflik telah terpecah ke dalam sentimen-sentimen agama. MMC percaya jika media telah berubah menjadi lebih profesional, obyektif, netral dan tidak terjebak lagi dalam sentimen-sentimen konflik, maka jalan menuju penyelesaian konflik di Maluku dengan cara damai akan lebih lapang. Kontribusi media center adalah menyiapkan, merubah, dan membangun solidaritas media di Maluku untuk lebih mendukung terhadap adanya proses-proses penyelesaian konflik dengan cara damai.

Dalam proses itu MMC telah berhasil memberikan kontribusinya dalam tranformasi konflik di Maluku. Di bidang media dan jurnalisme telah ada perubahan-perubahan signifikan dalam pemberitaan, kinerja, dan interaksi antar wartawan di Maluku. Sejak awal tahun 2003, media-media yang sebelumnya terpecah seperti RRI, TVRI dan Antara, kembali lagi bekerja dalam satu kantor. Media Ambon Ekspres tidak lagi menjadi media yang hanya diisi wartawan muslim, tetapi juga memperkerjakan wartawan-wartawan beragama Kristen. Demikian juga media Suara Maluku, Siwalima mempunyai program pluralisme dalam komposisi pengelola redaksi dan kualitas pemberitaannya. Malah telah berdiri Koran Info yang sepenuhnya dikelola bersama oleh wartawan-wartawan Islam dan kristen dan secara sadar mengambil jargon ‘mengembangkan jurnalisme damai.’

Karya jurnalisme pun juga mengalami perkembangan signifikan, seperti misalnya :

Pada pertengahan Januari 2003, terjadi insiden di kawasan Batu Merah. Sebuah angkot dilempari bom yang menyebabkan jatuh korban tewas Solifan Martin. Ketika kejadian berlangsung mobil keuskupan Amboina yang tengah melintas di daerah tersebut ikut dibakar massa. Insiden ini dituliskan dengan netral oleh Siwalima dengan judul berita “Jalan bawah rawan, mobil warga diserang” yang kemudian ditambahkan dengan taiching dengan jenis huruf yang lebih kecil “Bias Ledakan, Mobil Pastor Dibakar”. Melalui judul dan taiching ini, Siwalima, yang di masa konflik dengan terang-terangan selalu membela kelompok Kristen itu, seakan ingin mengingatkan kepada para pembacanya bahwa terbakarnya mobil keuskupan bukan karena kesengajaan, melainkan sebuah kecelakaan. Dalam tulisan dijelaskan bahwa setelah bom meledak, massa yang berkerumun melempari mobil-mobil yang lewat, dan saat itulah kebetulan mobil pastor juga lewat sehingga menjadi sasaran amuk massa.

Peristiwa lain, soal bentrokan antara kelompok masyarakat Waai-Passo dan Hualoy-Latu adalah dua di antara bentrokan antar warga yang intensitasnya cukup tinggi dalam rentang waktu 3-4 bulan di tahun 2003. Media di Maluku berusaha menurunkan berita ini dan melokalisir persoalan hanya sebatas wilayah tersebut saja dan tidak menarik-narik isyunya ke arah lain. Nara sumber yang dipilih meliputi pejabat setempat, pihak TNI dan Polri sebagai penanggungjawab keamanan, serta sumber dari kedua belah pihak yang bertikai. Pada bulan Mei pihak yang bertikai di Hualoy-Latu sepakat untuk berdamai, demikian pula kelompok warga di Passo-Waai.

Sosialisasi resolusi Malino selalu mendapat perhatian dari media lokal. Misalnya soal pengungsi, sepanjang periode Januari-Juni 2003 saja, terdapat artikel di Siwalima sebanyak 32 berita, Suara Maluku 30 berita, Ambon Ekspres 22 berita dan Koran Info 1 berita.

Soal rekonsiliasi masyarakat Islam-Kristen selalu mendapat perhatian, misalnya Siwalima menurunkan berita : Titik temu Islam dan Kristen adalah Cinta Kasih (22 Januari), Tak ada Islam lawan Kristen (11 Februari), Sinode dan MUI sikapi Laskar Mujahidin (7 Februari). Sedang Ambon Ekspres menurunkan berita antara lain, Tokoh agama Maluku serukan perdamaian (6 Februari), Seruan Tokoh agama membawa angin segar (7 Februari), Jangan rekayasa perdamaian (5 Mei). dan Suara Maluku menurunkan berita seperti: Konflik agama pengaburan informasi (14 Februari), Konflik Maluku bukan konflik agama (20 Maret) dll.

Dalam konteks yang lebih besar, MMC telah turut mendukung dan mendorong resolusi konflika Maluku melalui pertemuan Malino, yang dipandang sebagai payung politis yang mapan dalam meenyelesaikan konflik di Maluku.

Beberapa peristiwa teror dan kekerasan masih sering terjadi di Ambon, seperti peristiwa terbesar insiden 21-25 April 2004 yang menewaskan sekitar 50-an orang akibat demo puluhan pendukung RMS (Republik Maluku Selatan) yang kemudian berakhir dengan kerusuhan melawan yang pro Dili. Dari konflik-konflik terakhir itu, terlihat sudah bukan lagi konflik antar agama.

Dalam insiden April 2004 ini, entah mengapa kantor lama MMC di Jl. Mardika tiba-tiba jadi korban dibakar habis oleh orang-orang tak dikenal. Sementara bangunan lain di sekitar tidak.

MMC sampai saat ini masih tetap melanjutkan program-programnya di bidang penanganan media pasca konflik, rehabilitasi, dan rekontruksi. Seperti kegiatan terakhir pada bulan Mei 2005 kemarin, MMC mengadakan program Training Peliputan Korupsi yang diikuti oleh 14 peserta dari berbagai latar belakang di Ambon.

Kesepakatan Malino dan Transformasi Konflik di Maluku

Resolusi konflik Maluku lewat perjanjian Malino II sebenarnya sudah cukup lengkap untuk menyelesaikan banyak persoalan dan memayungi upaya-upaya perdamaian dan transformasi konflik di Maluku. Diikuti oleh 40 delegasi islam, 40 delegasi kristen, dan para peninjau. Selain berisi 11 butir perjanjian pokok, dalam resolusi ini juga tertuang 40-an butir-butir kesepakatan implementasi pertemuan Malino. Selain di tanda tangani oleh para peserta pertemuan dari perwakilan islam – kristen, juga oleh para pejabat pemerintah dan para pimpinan TNI/Polri. Butir-butir implementasi Malino, dibagi dalam 2 bidang utama yaitu rehabilitasi sosial dan penegakan hukum. Dalam bidang penegakan hukum, tertuang kesepakatan untuk membentuk tim investigasi guna mencari tahu akar masalah dan penyebab konflik Maluku dari 1999-2002. Untuk melengkapi resolusi Perjanjian Malino II ini, pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 38 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku (TPIN), yang diharapkan akan bisa memerankan fungsi sebagai komisi kebenaran dan keadilan, sebelum memasuki komisi rekonsiliasi. Semua kalangan mendukung dan menyambutnya. Termasuk NGO-NGO yang bekerja di tingkat grass root dalam upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di Maluku.

Konflik dalam skala luas memang sudah tidak terjadi lagi, tetapi segmentasi masyarakat masih terasa terjadi, dan teror-teror masih sering menghantui. Yang patut disyukuri, tingkat kesadaran masyarakat sudah sangat tinggi, untuk tidak mau terjebak lagi dalam konflik sesama saudara.

Pustaka :

  1. Baumann, Melissa & Siebert, Hannes 2001, Journalist as Mediator, in : Paffenholz, Thania & Reycher, (eds) 2001
  2. Brosur Maluku Media Center, Ambon, 2001
  3. Christoph Spurk, Working Paper : Media and Peace Building, Concept, Actors and Callenges, 2002. http://www.swisspeace.org
  4. Hawe Setiawan, Nur Zain Hae, Rusdi Marpaung, Konflik Multikultur: Panduan Meliput bagi Jurnalis, Jakarta, 2000
  5. Ichsan Malik dkk., Mematahkan Kekerasan dengan Semangat Bakubae, Yappika, 2003.
  6. Jack Linch dan Annabel Mc Goldrick, Jurnalisme Damai, LSPP-The British Council, Jakarta, 2001.
  7. Lukas Ispandriarno, Thomas Hanitsch, Martin Loeffelholz, Media-Militer-Politik, Crisis Communication : Perpektif Indonesia dan Internasional, Galang Press, 2002
  8. Lukas Luwarso dan Solahudin, Meliput Pertikaian : Pegangan Buat Wartawan, SEAPA-Jakarta, 2000.
  9. Maluku Media Centre, Laporan Riset dan Media Monitoring : Ambon Ekspres,Koran Info, Suara Maluku dan Siwalima, Jakarta, 2003.
  1. Maluku Media Centre, Laporan-laporan Kegiatan, 2000-2005.
  2. Prosiding I, Pertemuan Jurnalis dan Media Maluku dan Maluku Utara I, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dewan Pers, The British Council, Jakarta 2001
  3. Prosiding II, Pertemuan Jurnalis dan Media Maluku dan Maluku Utara II, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dewan Pers, The British Council, Jakarta 2001
  4. Ross Howard, An Operational Framework for Media and Peace Building, Impacs (Institute for Media, Policy and Civil Society), Vancouver, Canada, 2001. At http://www.impacs.org
  5. Ross Howard, Mediate the Conflict, Impacs (Institute for Media, Policy and Civil Society), Vancouver, Canada, 2002. http://www.impacs.org
  6. Wahyuana, Perkembangan Media dan Media center di Maluku, Laporan Media Assesment untuk Aliansi Jurnalis Independen, The British Council, dan The Asia Foundation, 2001.

Keterangan :

* Wahyuana, penulis adalah wartawan dan Penggagas dan Pendiri Maluku Media Center (MMC). Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada banyak individu dan lembaga yang telah membantu, berkontribusi dan berpartisipasi dalam program ini. Email : wahyuana@gmail.com

Thursday, September 29, 2005

Kawasan Industri di Bekasi Masih Menggiurkan Investor

Wahyuana, Bekasi

Wahyuana, Bekasi

Kalangan pengusaha kawasan industri menyatakan gembira atas keberhasilan pemilu. Johannes Archiadi, wakil ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI), “kestabilan politik dan keamanan merupakan faktor penting bagi pertimbangan investor untuk masuk ke kawasan industri. Kalau pemilu ini berlangsung demokratis dan lancar. Kami mengharapkan arus investasi akan pulih kembali di tahun 2005 mendatang.” Yohannes Archiadi adalah Direktur PT. Besland Pertiwi yang mengelola 2.000 hektare Kawasan Industri Kota Bukit Indah, di Cikampek.

Sedangkan Hendra Lesmana, direktur PT. Bekasi Fajar Industrial Estate yang mengelola 1.200 hektare Kawasan Industri MM 2100 Industrial Town menyatakan, bahwa ia masih optimis dengan prospek investasi ke kawasan industri ke depan. “Selama ini ada beberapa pengusaha dari Korea yang menunda investasi karena melihat dulu kondisi keamanan dan politik. Kalau stabil, mereka berencana masuk pada tahun 2005,” ujar Hendra Lesmana, di sela-sela pemberian beasiswa alat-alat sekolah kepada 1.000 siswa SD/SMP se-kabupaten Bekasi, di kompleks Kawasan Industri Cibitung, Selasa, 27 Juli 2004. Pemberian beasiswa yang diserahkan secara langsung oleh Bupati Bekasi Saleh Manaf itu, dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian pengelola Kawasan Industri MM 2100 untuk membantu dunia pendidikan di Bekasi.

Perkembangan bisnis kawasan industri di daerah Bekasi, meskipun lamban, ternyata masih tumbuh. Meskipun arus investasi ke Indonesia sering dikatakan menurun dibandingkan dengan tahun-tahun 1990-an, namun sejumlah pengelola kawasan industri di Bekasi, Karawang, dan Cikampek mengaku bisnisnya masih mengalami pertumbuhan yang bagus. “Memang tidak sebanding dengan era Golden Days tahun 1995-1996, dimana dalam setahun bisa puluhan industri masuk ke kawasan industri. Tetapi sekarang kondisinya masih tetap tumbuh baik, meskipun lamban” ujar Johannes.

Sampai pertengahan tahun ini, Kawasan Industri Kota Bukit Indah, mencatat ada 2 investor baru yang masuk membuka pabrik, yaitu PT. Honda dan PT. Hino, dari Jepang. Kedua perusahaan bergerak dalam bidang industri otomotif. Mengambil lahan seluas 20 hektare, dengan nilai investasi sampai sekitar Rp. 300 miliar. Dengan penambahan 2 industri baru ini, berarti sekarang ada 70 pabrik yang mendiami Kota Bukit Indah, dengan menyerap tenaga kerja sampai 13.000 tenaga kerja.

Sedangkan menurut Hendra Lesmana, MM 2100 Industrial Town, sampai pertengahan tahun ini mencatat ada 6 industri baru yang masuk dan beberapa perusahaan melakukan perluasan pabrik. “Lahan yang digunakan sekitar 11 hektare, dengan harga sewa US $ 55 per meter,” ujar Hendra Lesmana. Sejumlah industri juga tengah menanti ijin usaha dari BKPM (badan Koordinasi Penanaman Modal) untuk masuk ke MM2100.

Tjetjep Prasetya, Direktur PT. East Jakarta Industrial Park yang mengelola kawasan industri East Jakarta Industrial Park (EJIP), mengatakan bahwa kawasan industri yang dia kelola sudah stabil. “Sejak tahun 1995, kawasan industri kami sudah penuh, dengan diisi sekitar 86 industri,” ujarnya kepada The Jakarta Post via telepon. EJIP selama ini mendiami lahan seluas 320 hektare lahan di Cikarang, Bekasi. Sejumlah perusahaan besar mendiami komplek industri EJIP, seperti Aisin Indonesia, Epson Industry, Hitachi Power System, Toshiba, Mashushita Gobel Industry, dan NEC Semikonduktor Indonesia. “Industri di kompleks kami kebanyakan bergerak di bidang elektronik, sehingga minim terhadap limbah industri,” ujar Tjetjep. Untuk menghidupi perusahaannya, EJIP sekarang tinggal mengelola pemberian layanan seperti penyediaan listrik melalui PT. Cikarang Listrindo, penyediaan air, dan waste treatment, yang selama ini disediakan langsung oleh pengelola kawasan PT. EJIP. Sampai sekarang EJIP menampung tenaga kerja sampai 35.250 orang. Bagi Tjetjep Prasetya, prospek investasi di Indonesia sebenarnya tidak terlalu suram. “Jangan terlalu paranoid. Karena kawasan industri kami sampai sekarang tetap penuh,” ujarnya meyakinkan.

Daerah Bekasi, Karawang, sampai Cikampek, sampai saat ini memang masih merupakan daerah investasi industri yang menarik. Menurut data dari BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah) Jawa Barat, dari nilai investasi yang masuk ke Jawa Barat sebesar Rp. 10,8 triliun tahun 2003, sekitar 48 persen masuk ke kota dan kabupaten Bekasi. Sebagai daerah penyangga ibukota Jakarta, Bekasi, memang menyediakan prasarana yang baik bagi perkembangan industri. Terutama fasilitas jalan tol Jakarta-Cikampek.

Meskipun tumbuh dengan lambat, beberapa kawasan industri melakukan penambahan baru terhadap areal lahannya. Seperti perluasan kawasan industri Bekasi Fajar seluas 100 hektar dan perluasan Delta Technology Center II, milik Lippo Cikarang yang menambah pasokan bangunan industri seluas 2,5 hektar.

Menurut Fahmi Shahab, Direktur Eksekutif HKI, mengatakan bahwa dari data di HKI, sejumlah produk baru telah dikembangkan oleh para pengelola kawasan industri, agar kawasan industri tetap menarik. “Sekarang tidak cuma menjual lahan untuk industri. Tetapi juga menyewakan areal lahan untuk sewa jangka pendek 3 tahun. Juga beberapa menyewakan jasa pergudangan,” ujarnya. Kawasan industri PT. Jababeka, bahkan telah mengembangkan konsep kawasan industri tidak hanya sebagai zona industri, tetapi sudah mencakup pengembangan komunitas. Beberapa fasilitas non industrial, seperti perumahan karyawan murah, sarana olahraga, trade center, hotel, sarana wisata, tempat hiburan, sampai sekolah bertaraf internasional didirikan dia areal seluas 1.570 hektar di Cikarang. ***

Kawasan Industri di Bekasi

Nama Kawasan Industri

Nama Pengembang

Luas Area

( Hektare)

Industri Penghuni

Tenaga Kerja

MM 2100 Industrial Town

PT. Bekasi Fajar Industrial Estate

200

14

2.269

East Jakarta Industrial Park (EJIP)

PT. East Jakarta Industrial Park

320

86

35.350

Kawasan Industri Gobel

PT. Gobel Dharma Nusantara

54

-

-

Bekasi International Industrial City

PT. Hyundai Inti Development

200

111

10.822

Kawasan Industri Jababeka Cikarang

PT. Kawasan Industri Jababeka Tbk.

1.570

1.008

150.000

Lippo Cikarang Industrial Park

PT. Lippo Cikarang Tbk.

1.000

306

13.350

MM 2100 Industrial Town

PT. Megalopolis Manunggal Ind. Dev.

1.000

136

47.250

Patria Manunggal Industrial Estate

PT. Patria Manunggal Jaya

220

-

-

4.564

1.661

259.041

( data wawancara dan riset HKI )

Wednesday, September 28, 2005

Seri Industri Tekstil : Mewarisi ‘Good Image’ Era Kuota

Oleh : Wahyuana

Pencabutan kuota ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat yang berakhir pada 31 Desember 2004 lalu, ternyata tak banyak berpengaruh terhadap nilai ekspor tekstil Indonesia ke pasar internasional.

Ditengah persaingan yang kian ketat, ternyata masih mencatat pertumbuhan yang menggembirakan. Tahun ini diperkirakan akan tumbuh sekitar 10 persen dibanding tahun sebelumnya, setelah pada tahun 2004 lalu mencatat pertumbuhan 10,24 % dibanding tahun 2003 dengan nilai penjualan sekitar US $ 7,65 miliar. Namun angka peningkatan ini masih dibawah dari puncak prestasi ekspor tekstil di tahun 2000 yang mencapai omset sekitar US $ 8,4 miliar.

“Tiap tahun net ekspor kita selalu diatas US $ 5 miliar. Kontribusi devisa dari ekspor tekstil diatas 8% PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia,” ujar Gde Putu Wisesa, Direktur program Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Departemen Perindustrian RI, kepada JIEF Magazine.

Tujuan ekspor tekstil di tahun 2004 sekitar 31% ke Amerika Serikat, 22% ke Uni Eropa, 7% ke Jepang, 4% ke Timur Tengah dan sisanya diekspor ke 120 negara lainnya.

Sedang laporan dari US Textile Intelligence di bulan Mei, sampai kuartal pertama tahun 2005 ini –data sampai bulan April, tercatat pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat naik 11% (catatan dari mayor shippers) dibanding periode yang sama tahun 2004.

Sejumlah perusahaan produsen utama tekstil seperti PT. Ungaran sari Garment, PT. Apac Inti Corpora, PT. Trisulatex dan lain-lain, dilaporkan sampai kerepotan memenuhi permintaan dan pesanan para buyers luar negeri.

Memang ekspor tekstil Indonesia masih kalah jauh dibanding dengan ekspor tekstil Cina, tetapi pertumbuhan ini, menunjukkan industri tekstil Indonesia sama sekali tidak terpengaruh oleh kebijakan penghapusan kuota Amerika Serikat, yang sebelumnya sempat diprediksi akan membuat industri tekstil Indonesia akan ambruk.

Indonesia saat ini masih menjadi pemasok no. 11 ekspor tekstil dunia dengan nilai sekitar US $ 2.92 billion yang berarti menguasai 1,7 % pasar dunia. Sedangkan di pasar industri garment Indonesia menguasai 1,8 persen pasar dunia dengan nilai sekitar US $ 4.11 billion, berada pada urutan no. 9 ekportir garment Internasional.

Memang sekitar 54% dari produk ekspor TPT Indonesia berupa garment atau pakaian jadi. Sedangkan sisanya berupa produk-produk dari industri tekstil hulu seperti fiber, filamen, dan kain.

“Kita mempunyai pelanggan-pelanggan yang selama ini sudah percaya dan puas dengan kualitas produk tekstil Indonesia. Sehingga meski kuota dihapus, kita masih mewarisi ‘good image’ dari konsumen,” ujar Gde Putu Wisesa.

Wisesa memberi contoh seperti industri fashion Amerika Serikat sekelas Georgio Armani mengandalkan pasokan kebutuhan kainnya yang berkualitas tinggi dari PT. Benangsari Indahtexindo, sebuah perusahaan testil di Purwakarta, Jawa Barat.

Demikian juga ekspor ke Jepang yang masih tetap bertahan tinggi, karena kebutuhan konsumen Jepang atas produk-produk berkualitas tinggi sekelas produk Mark & Spencer ternyata suply bahan dasarnya dari industri tekstil Indonesia.

“Good Image’ produk testil Indonesia di pasar internasional masih baik. Tinggal bagaimana mengefektifkan pemasaran dan mengefisienkan biaya produksi. Juga peningkatan aspek pelayanan seperti ketepatan delivery order,” ujar Gde Putu Wisesa.

Pendapat serupa dibenarkan oleh Ernovian Gysmi, eksekutif secretary API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) kepada JIEF Magazine. ” Cina dan India memang melakukan penetrasi ke pasar internasional secara besar-besaran, dengan tawaran harga yang murah. Indonesia tidak lagi menjual kompetitif ekspor dengan tawaran harga murah, tapi lebih ke kualitas,” ujar Ernovian.

Murahnya harga barang-barang garment dari Cina dan India dengan mudah dapat kita ditemui di pasar-pasar tekstil seperti Tanah Abang, Jakarta Pusat. Agil Thohir Baagil, seorang trader garment dan pemilik industri tekstil PT. Bahagil Dwi Tunggal di Bandung, Jawa Barat, mengatakan pada JIEF Magazine, “serbuan barang dari Cina tak bisa dihindari, karena memang murah. Padahal dalam beberapa komoditi bahan baku seperti polyester, Cina masih tergantung pada impor dari Indonesia. Seperti Cina masih impor PTA (purified terephthalic acid) dari Indonesia seharga US $ 820 / matric ton, setahunnya sekitar 60.000 ton. Tetapi setelah sampai di Cina dan melalui berbagai proses produksi bisa menghasilkan produk akhir garment yang jauh lebih murah. Di Indonesia dengan proses yang sama, produk akhirnya berupa garment dengan nilai wajar di pasar seharga sekitar 6 US $ / kg. Namun Cina berani menjual produk-produk tersebut cuma seharga 2 US $/kg. Jadi pasti saja produk Cina diserbu konsumen dan membanjiri pasar, akibatnya tidak hanya mengambil ceruk pasar ekspor yang selama ini dikuasai Indonesia, tetapi juga pasar domestik Indonesia sendiri direbut Cina.”

Praktek dumping ini tak pelak telah memukul industri tekstil Indonesia, terutama pada segmen produk garment di kelas menengah ke bawah, yang ceruk nilai pasarnya sangat besar. Persaingan tak hanya melawan Cina, tapi juga India, Korea, Vietnam, Meksiko dan Pakistan. Cina saat ini diperkirakan menguasai sekitar 50% pasar tekstil sedang India sekitar 13%.

Nasir Mansyur, Ketua Umum Asosiai Pengusaha Garment Indonesia (APGI), mengatakan ke JIEF Magazine, mengatakan, “untuk menyelamatkan pasar tekstil dalam negeri Indonesia dari serbuan barang murah dari Cina dan India, pemerintah seharusnya menerapkan ‘safe guard system’ seperti di Amerika Serikat terhadap produk tekstil dari Cina. Bahkan saya curiga, Indonesia telah menjadi sarana perdagangan transhipment produk-produk Cina untuk mencapai tujuan pasar ekspor.”

Transhipment ditengarai telah terjadi di Indonesia dari produk-produk garment Cina. Yaitu produk-produk tekstil Cina yang murah masuk ke pasar Indonesia, kemudian barang-barang itu diekpor lagi ke pasar internasional dengan memanfaatkan kuota dan ‘brand image’ sebagai produk Indonesia. Siasat ini ditempuh karena ekspor tekstil Cina secara langsung sudah mendapat pembatasan kuota dengan ‘safeguard system’ di beberapa negara seperti Amerika dan Uni Eropa.

Selisih harga pasar ekspor selama ini memang cukup memungkinkan dan menggiurkan bagi pola bisnis transhipment garment. Garment Cina masuk Indonesia dengan harga cuma sekitar US $ 2 / kg. Sementara harga ekspor garment Indonesia ke pasar luar sekitar US $ 4 / kg. Sehingga masih ada keuntungan selisih harga sekitar US $ 2/kg. Harga-harga ini masih dibawah harga wajar sebesar US $ 6/kg, sehingga barang-barang itu amat laku di pasar.

Transhipment ini menjadi bisnis yang amat menguntungkan, dan ditengarai telah menggiurkan beberapa perusahaan garment kelas menengah dan bawah di Indonesia untuk ‘banting stir’ dari produsen garment menjadi sekedar trader transhipment dengan memanfaatkan brand image perusahaannya sebagai produsen. Padahal sebenarnya hanyalah ‘kedok’ dagang.

Akibat transhipment tak hanya merugikan pasar ekpor, tetapi juga mengoyak pasar industri tekstil domestik. Pemerintah memang merencanakan akan mengefetifkan pengawasan di pelabuhan untuk mengurangi pola perdagangan transhipment, dengan melakukan pengawasan ketat setiap order barang yang masuk pelabuhan. Tapi pola ini diperkirakan pasti masih akan tetap berlangsung.

Persaingan pasar TPT yang ketat membuat para pengusaha Indonesia tak bisa berpangku tangan. Pasca kuota, mereka harus lebih aktif membuka dan mencari peluang pasar-pasar baru bagi tekstil Indonesia.

”Saat ini agak sulit menemui pengusaha tekstil Indonesia, mereka sedang giat menyebar ke mana-mana untuk memasarkan produk TPT secara langsung ke berbagai negara. Tidak hanya berkonsentrasi ke pasar tradisional tekstil Indonesia seperti ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, tetapi juga melebarkan pemasaran dan promosi ke Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin,” ujar Ernovian.

Ditengah perkembangan menggembirakan itu, saat ini, pesimisme menghantui banyak kalangan pengusaha garment di Indonesia di sektor usaha kelas menengah ke bawah ini. Akibat menaiknya beban biaya produksi tekstil akibat kenaikan harga minyak dunia, melemahnya nilai rupiah terhadap dollar dan kenaikan suku bunga bank, telah merontokkan sejumlah pengusaha sektor industri garment skala usaha menengah ke bawah.

Apalagi, sampai saat ini, bank-bank masih memasukkan industri tekstil ke dalam ‘black list’ invesment mereka, semenjak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia di tahun 1998, yang membuat banyak industri tekstil bangkrut dan ‘ngemplang’ utang ke bank. Blak list ini membuat saat ini pengusaha-pengusaha tekstil kesulitan mendapatkan dana segar untuk melakukan restrukturisasi perusahaan atau permesinan mereka.

“Di Jawa Barat saja sudah ada sekitar 302 perusahaan konveksi yang terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menahan beban biaya produksi yangtinggi,” ujar Lili Asjudiredja, Direktur PT. Tri Manunggal yang juga anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Jawa Barat kepada JIEF Magazine. Sedangkan di Bali, data API, memperkirakan sekitar 77 industri garment kelas menengah bawah juga tutup.

Menurut Benny Soetrisno, Ketua Umum API (Asoasi Pertekstilan Indonesia) yang juga Direktur PT. Apac Inti Corpora dan , tutupnya sejumlah perusahaan garment skala menengah-bawah ini sebenarnya sangat disayangkan bisa sampai terjadi, karena banyak potensi pasar TPT domestik yang belum terpenuhi. (lihat tabel 11).

Pasar domestik TPT Indonesia sendiri, sampai saat ini merupakan ceruk pasar potensial yang masih belum banyak diisi oleh produsen lokal. Dari tingkat konsumsi tekstil per kapita sebesar 4,4 kg/th/orang diperkirakan baru hanya mampu dipenuhi oleh industri tekstil nasional sebesar 2 kg/th/orang, sehingga masih ada peluang pasar sekitar 2/kg/th/orang.

Pasar domestik saat ini dipenuhi oleh tekstil murah dari Cina dan India. “Hampir 40 persen diisi oleh barang selundupan dari Cina dan India,” ujar Natsir Mansyur dari APGI.

Para pengusaha tekstil selama ini memang lebih banyak berkonsentrasi ke pasar ekspor, mereka terlalu termanjakan dengan adanya fasilitas kuota. Pasar domestik praktis tidak banyak yang serius menggapar, hanya disuply oleh ribuan industri konveksi rumahan kelas menengah ke bawah. Akhirnya ditengah laju pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia yang selalu dibangga-banggakan, pasar domestik justru jadi ceruk potensial yang diisi barang-barang tekstil impor, yang celakanya 40% barang impor illegal, 20% diisi impor pakaian bekas, dan hanya 40 % diisi produk lokal. Padahal nilai bisnis pasar domestik sendiri diperkirakan sekitar US $ 21 trilliun. Sebuah potensi bisnis yang menggiurkan.

“Untuk merangsang industri garment ‘rumahan’ lokal agar tidak colapse dan meningkatkan bisnisnya, seharusnya pemerintah menerapkan ‘safeguard system’ untuk membatasi produk-produk impor illegal yang selama ini membanjiri pasa domestik,” ujar Natsir Masyur dari APGI.




Hubungan Industri Tekstil Indonesia-Jepang

Indonesia menguasai sekitar 2% pasar tekstil dan garment di Jepang, berada pada urutan ke-6 setelah China, Uni Eropa, Amerika, Korea (Lihat grafik) dengan nilai omset ekspor tahun 2004 sebesar sekitar US $ 472 juta, angka ini menurun dibanding ekspor tahun 2003 yang nilainya mencapai sebesar US $ 483 juta.

Menurut Ernovian Gysmy, ekskutif secretary API, typical pasar kebutuhan TPT Jepang lain dengan Amerika, Uni Eropa, atau negara-negara lain. Jepang menginginkan produk-produk kelas atas dengan kualitas tinggi. “Ini yang sering menjadi kendala TPT Indonesia dalam bersaing dengan produk Amerika dan Eropa dalam memasuki Jepang,” ujar Ernovian. Tetapi selera ‘high quality’ ini pula yang juga telah membuat garment Indonesia tetap mendapat tempat di pasar Jepang, karena kualitas garment Indonesia tetap lebih baik daripada produk Cina, India, Vietnam, atau Thailand.

Jepang sendiri, saat ini merupakan investor utama industri TPT Indonesia, baru disusul Taiwan. Data API tahun 2004, menunjukkan kurang lebih sekitar 58 industri TPT yang dimiliki investasi dari Jepang, baik yang mencakup penguasaan 100% kepemilikan atau share saham.

Penguasaan investasi Jepang terutama di industri tekstil sektor hulu seperti fiber, spinning, weaving dan knitting, yang bersifat padat modal dan full teknologi.

Beberapa industri tekstil Jepang di Indonesia skala besar adalah PT. Teijin Indonesia Fiber Corporation (Tifico) di bidang produksi fiber; PT. Kanebo Tomen Sandang Synthetic Mills (KTSM) yang berproduksi mulai dari fiber, spinning, weaving, finishing, sampai garment; PT. Acrilyc Textile Mills (ACTEM); PT. Toyono Knitting Indonesia; PT. Ohgiya Knitting Indonesia ; PT. Shinko Toyobo Gistex garment; PT. Saimoda Garminda; PT. Nikawa Textile Indonesia; PT. Kurabo Manunggal Textile Industries (Kumatex); PT. Permaid Textile Industry Indonesia (Mertex); PT. Plumbon International Textile (Pintex), PT. Great Iphock International dan lain-lain.

Pada bulan lalu, PT. Tifico mengeluarkan release yang mengatakan mulai bulan ini akan menambah investasinya di Indonesia sebesar US $ 50 milliar untuk perluasan plant industries-nya di Jawa Barat.

Menurut Ernovian Gismy dari API, potensi utama dari investasi Jepang adalah untuk memperluas dan merestrukturisasi industri tekstil di tingkat hulu yang memproduksi bahan-bahan dasar textile dan memerlukan high teknologi.

Peluang investasi bagi investor Jepang dapat berubah restrukturisasi dan memodernisasi mesin-mesin produksi yang banyak sudah kedaluarsa.

Data dari API saat ini, dari kelompok industri spinning (pemintalan) mempunyai 2.155 mesin berusia lebih dari 20 tahun, dari industri weaving (pertenunan) mempunyai 4.617 mesin dan knitting (perajutan) sebanyak 678 mesin. Belum lagi di kelompok industri printing, dyeing, finishing memiliki 1.716 mesin sudah lebih berusia 15 tahun. Sementara industri garmen memiliki mesin berusia lebih dari 10 tahun sekitar 31.997 unit.

“Kita akan sangat membantu bagi upaya investasi untuk memperbaiki mesin-mesin manufaktur ini,” ujar Ernovian Gismy, sekretaris eksekutif API.***