Sabtu, 05 Mei 2012 | 04:47 WIB | TEMPO.CO , Biak:
Papua tidak hanya memiliki Raja Ampat dan Teluk Cendrawasih, Nabire,
untuk wisata menyelam yang sensasional. Tetapi juga Kepulauan Padaido,
Biak.
Kalau Raja Ampat menyajikan keanekaragaman kehidupan bawah lautnya yang kaya; Nabire menyajikan sensasi menyelam dengan hiu paus (whale shark); Padaido menawarkan sensasi penyelaman gua bawah laut (cave diving) dan penelusuran sisa-sisa bangkai Perang Dunia II (wreck diving). Cocok bagi penyelam pemula hingga mahir.
Saya mencobanya bulan lalu. Ini pengalaman pertama. Biasa main ke gua air tawar, baru kali ini menyelam gua bawah laut. Ngeri-ngeri sedap membayangkannya.
Dari Jakarta saya naik Garuda Airline ke Bandara Manuel Kasiepo, Biak. Sembilan jam perjalanan malam, transit di Makassar, pagi-pagi sekali sampailah kami di Biak. Sehari semalam istirahat. Besoknya, acara menyelam bersama Biak Diving dimulai. Pagi-pagi sekali kami menyewa speedboat dari pelabuhan Tiptop, Biak, menuju Pulau Wundi, yang berada di tengah gugusan Kepulauan Padaido. Sekitar tiga jam perjalanan.
Dengan pemandangan menakjubkan; sekitar delapan lumba-lumba timbul tenggelam berenang mengikuti perjalanan kami. Cuaca cerah. Langit membiru, sebiru warna laut. Perahu-perahu tradisional nelayan setempat tampak sibuk melempar jaring ikan. Tak ada kapal modern besar yang kami temukan sepanjang perjalanan, hanya perahu-perahu kayu.
Padaido ini adalah nama gugusan sekitar 36 pulau-pulau besar kecil yang berada di tenggara Pulau Biak, Kebupaten Biak Numfor, Papua. Gugusan pulau-pulau yang indah. Dengan atol-atol luas mengelilingi setiap pulau.
Keseluruhan pulau dihubungkan dalam sebuah atol besar membentuk sebuah kawasan kepulauan dengan laut dangkal seluas 23 kilometer. Pastikan ritme pasang surut air ketika berkunjung ke kawasan ini, kadang air cepat surut. Nakhoda kapal mesti yang berpengalaman karena banyak coral yang menyembul di kedalaman. Sepintas lautan tampak datar-datar saja, namun banyak karang terbenam yang bisa menjungkalkan kapal.
Masing-masing pulau dikelilingi dengan pantai pasir putih yang menawan. Dari kota Biak, pemandangan kawasan Kepulauan Padaido ini bisa dilihat dengan samar-samar. Kebanyakan pulau hanya dihuni 7 – 10 keluarga saja. Sehingga bekal makanan harus cukup jika tidak ingin kelaparan selama berkunjung. Hanya ada sebuah penginapan sederhana di Pulau Wundi, Wundi Guesthouse, yang bisa dipesan jauh hari. Penginapan para peneliti laut ini juga disewakan bagi wisatawan.
Sedangkan lanskap di kedalaman berupa dinding-dinding karang melandai hingga laut dalam. Arus laut cukup kuat di beberapa bagian, terutama di sekitar Pulau Meoswarek. Jarak pandang di kedalaman hingga 25 meter lebih, seperti tengah berenang di dalam sebuah akuarium raksasa.
Sejauh mata memandang di dalam laut, keindahan hamparan acropora memenuhi lanskapnya pada kedalaman 10 – 20 meter. “Cocok untuk wall dive dan menikmati sensasi arus,” ujar Erick Farwas, divemaster yang menemani saya dari Biak Diving, satu-satunya dive center di Biak.
Menyelam di kawasan acropora yang luas seperti Padaido membuat saya agak bimbang. Jadi menyelam atau tidak? Kalau menyelam dan terjatuh di atasnya, pasti akan menanggalkan cabang-cabangnya, yang berarti merusaknya. Tapi kalau tak menyelam, sungguh rugi tak menikmati keindahannya. Satu-satunya cara, harus hati-hati ketika menyelam, daya apung (bauyoncy) harus bagus.
Sekitar jam 9 siang, kami sampai lokasi yang dituju, gua bawah laut Wundi. Erick Farwas rupanya mengajak saya langsung pada spot unggulan Padaido pada penyelaman pertama. Wow. Lautnya bening, hamparan acropora, ikan-ikan warna-warni berseliweran. Sesungguhnya dengan snorkeling sudah cukup untuk menikmati semua keindahan ini, juga lebih aman dari resiko merusak keindahan karangnya. Tapi kami ingin menikmati Gua Wundi, dan itu mesti menyelam.
Dengan teknik backroll kami pun turun dari kapal dengan scuba di punggung. Erick Farwas mewanti-wanti saya agar selalu berjalan beriringan karena arus sering kali tiba-tiba muncul merepotkan. Setelah berjalan sekitar 12 meter dari kami turun, akhirnya kami menemukan lubang Gua Wundi pada kedalaman 15 meter.
Pintu gua berdiameter sekitar 2 meter, sangat kecil untuk memasuki gua bawah laut dengan scuba di punggung dengan fins di kaki. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya berhasil masuk, diikuti Farwas. Di dalam gua cukup terang dari pantulan cahaya matahari yang terik di siang itu. Kami menyelam tanpa membawa lampu.
Begitu masuk gua. Wow. Sebuah penyu selebar setengah meter melayang pindah tempat dari dekat pintu gua karena terganggu kedatangan kami. Penyu yang dari sorot matanya, tampaknya sudah hidup puluhan tahun. Makin ke dalam, ruang gua semakin gelap. Hanya ikan-ikan kedalaman, nudibranch, dan karang-karang daun. Pikiran mulai membayang, bagaimana kalau saya terjebak di dalamnya, atau selang-selang selam tersangkut, atau diserang binatang buas.
Seekor Napoleon sekitar setengah meter kami temukan sembunyi kedalaman 18 meter. Yang unik dari Gua Wundi dan yang membuatnya cocok untuk wisata cave diving, gua ini berupa lorong sepanjang sekitar 20 meter. Terdapat tiga pintu. Di kanan kiri lorong masih terdapat gua-gua kecil yang cocok buat penyelam mahir. Penyelam pemula bisa menikmatinya cukup dengan melewati lorong utama.
Kedalaman bagian-bagian dalam gua juga beragam, dari 12 meter hingga yang paling dalam hanya berupa lorong gelap gulita. Sekitar 30 menit hilir mudik di seluruh ruang gua menikmati misterinya, kami memutuskan kembali keluar melalui pintu kedua, jaraknya sekitar 20 meter dari pintu masuk.
Penyelaman kedua kami turun di Baracuda Point di dekat pulau Meoswerek. Lokasi ini berupa dinding karang landai dengan arus kuat. Ribuan baraccuda mendiami lokasi ini. Sungguh menggetarkan. Malamnya kami menginap di Wundi.
Penyelaman esoknya kami menikmati spot penyelaman di Pulau Owi dan Ruras. Untuk sehari menyelam, harganya cukup mahal, Rp 2 juta per hari. “Semua mahal di sini. Bensin saja Rp 25 ribu seliter,” ujar Erik Farwas.
Padaido tidak hanya menyajikan spot penyelaman Gua Wundi, Baraccuda Point, Owi, Ruras, tetapi juga masih banyak spot penyelaman lain. “Ada 29 titik penyelaman yang bisa dinikmati,” ujar Erick Farwas. Di antaranya, spot-spot penyelaman bangkai Perang Dunia II, seperti bangkai bekas kapal perang yang karam, landasan pesawat Jepang, bangkai pesawat udara, dan peralatan perang lain.
Untuk merasakan sensasi penyelaman pada spot-spot ini kami pasti akan kembali lagi ke Padaido.
WAHYUANA
Kalau Raja Ampat menyajikan keanekaragaman kehidupan bawah lautnya yang kaya; Nabire menyajikan sensasi menyelam dengan hiu paus (whale shark); Padaido menawarkan sensasi penyelaman gua bawah laut (cave diving) dan penelusuran sisa-sisa bangkai Perang Dunia II (wreck diving). Cocok bagi penyelam pemula hingga mahir.
Saya mencobanya bulan lalu. Ini pengalaman pertama. Biasa main ke gua air tawar, baru kali ini menyelam gua bawah laut. Ngeri-ngeri sedap membayangkannya.
Dari Jakarta saya naik Garuda Airline ke Bandara Manuel Kasiepo, Biak. Sembilan jam perjalanan malam, transit di Makassar, pagi-pagi sekali sampailah kami di Biak. Sehari semalam istirahat. Besoknya, acara menyelam bersama Biak Diving dimulai. Pagi-pagi sekali kami menyewa speedboat dari pelabuhan Tiptop, Biak, menuju Pulau Wundi, yang berada di tengah gugusan Kepulauan Padaido. Sekitar tiga jam perjalanan.
Dengan pemandangan menakjubkan; sekitar delapan lumba-lumba timbul tenggelam berenang mengikuti perjalanan kami. Cuaca cerah. Langit membiru, sebiru warna laut. Perahu-perahu tradisional nelayan setempat tampak sibuk melempar jaring ikan. Tak ada kapal modern besar yang kami temukan sepanjang perjalanan, hanya perahu-perahu kayu.
Padaido ini adalah nama gugusan sekitar 36 pulau-pulau besar kecil yang berada di tenggara Pulau Biak, Kebupaten Biak Numfor, Papua. Gugusan pulau-pulau yang indah. Dengan atol-atol luas mengelilingi setiap pulau.
Keseluruhan pulau dihubungkan dalam sebuah atol besar membentuk sebuah kawasan kepulauan dengan laut dangkal seluas 23 kilometer. Pastikan ritme pasang surut air ketika berkunjung ke kawasan ini, kadang air cepat surut. Nakhoda kapal mesti yang berpengalaman karena banyak coral yang menyembul di kedalaman. Sepintas lautan tampak datar-datar saja, namun banyak karang terbenam yang bisa menjungkalkan kapal.
Masing-masing pulau dikelilingi dengan pantai pasir putih yang menawan. Dari kota Biak, pemandangan kawasan Kepulauan Padaido ini bisa dilihat dengan samar-samar. Kebanyakan pulau hanya dihuni 7 – 10 keluarga saja. Sehingga bekal makanan harus cukup jika tidak ingin kelaparan selama berkunjung. Hanya ada sebuah penginapan sederhana di Pulau Wundi, Wundi Guesthouse, yang bisa dipesan jauh hari. Penginapan para peneliti laut ini juga disewakan bagi wisatawan.
Sedangkan lanskap di kedalaman berupa dinding-dinding karang melandai hingga laut dalam. Arus laut cukup kuat di beberapa bagian, terutama di sekitar Pulau Meoswarek. Jarak pandang di kedalaman hingga 25 meter lebih, seperti tengah berenang di dalam sebuah akuarium raksasa.
Sejauh mata memandang di dalam laut, keindahan hamparan acropora memenuhi lanskapnya pada kedalaman 10 – 20 meter. “Cocok untuk wall dive dan menikmati sensasi arus,” ujar Erick Farwas, divemaster yang menemani saya dari Biak Diving, satu-satunya dive center di Biak.
Menyelam di kawasan acropora yang luas seperti Padaido membuat saya agak bimbang. Jadi menyelam atau tidak? Kalau menyelam dan terjatuh di atasnya, pasti akan menanggalkan cabang-cabangnya, yang berarti merusaknya. Tapi kalau tak menyelam, sungguh rugi tak menikmati keindahannya. Satu-satunya cara, harus hati-hati ketika menyelam, daya apung (bauyoncy) harus bagus.
Sekitar jam 9 siang, kami sampai lokasi yang dituju, gua bawah laut Wundi. Erick Farwas rupanya mengajak saya langsung pada spot unggulan Padaido pada penyelaman pertama. Wow. Lautnya bening, hamparan acropora, ikan-ikan warna-warni berseliweran. Sesungguhnya dengan snorkeling sudah cukup untuk menikmati semua keindahan ini, juga lebih aman dari resiko merusak keindahan karangnya. Tapi kami ingin menikmati Gua Wundi, dan itu mesti menyelam.
Dengan teknik backroll kami pun turun dari kapal dengan scuba di punggung. Erick Farwas mewanti-wanti saya agar selalu berjalan beriringan karena arus sering kali tiba-tiba muncul merepotkan. Setelah berjalan sekitar 12 meter dari kami turun, akhirnya kami menemukan lubang Gua Wundi pada kedalaman 15 meter.
Pintu gua berdiameter sekitar 2 meter, sangat kecil untuk memasuki gua bawah laut dengan scuba di punggung dengan fins di kaki. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya berhasil masuk, diikuti Farwas. Di dalam gua cukup terang dari pantulan cahaya matahari yang terik di siang itu. Kami menyelam tanpa membawa lampu.
Begitu masuk gua. Wow. Sebuah penyu selebar setengah meter melayang pindah tempat dari dekat pintu gua karena terganggu kedatangan kami. Penyu yang dari sorot matanya, tampaknya sudah hidup puluhan tahun. Makin ke dalam, ruang gua semakin gelap. Hanya ikan-ikan kedalaman, nudibranch, dan karang-karang daun. Pikiran mulai membayang, bagaimana kalau saya terjebak di dalamnya, atau selang-selang selam tersangkut, atau diserang binatang buas.
Seekor Napoleon sekitar setengah meter kami temukan sembunyi kedalaman 18 meter. Yang unik dari Gua Wundi dan yang membuatnya cocok untuk wisata cave diving, gua ini berupa lorong sepanjang sekitar 20 meter. Terdapat tiga pintu. Di kanan kiri lorong masih terdapat gua-gua kecil yang cocok buat penyelam mahir. Penyelam pemula bisa menikmatinya cukup dengan melewati lorong utama.
Kedalaman bagian-bagian dalam gua juga beragam, dari 12 meter hingga yang paling dalam hanya berupa lorong gelap gulita. Sekitar 30 menit hilir mudik di seluruh ruang gua menikmati misterinya, kami memutuskan kembali keluar melalui pintu kedua, jaraknya sekitar 20 meter dari pintu masuk.
Penyelaman kedua kami turun di Baracuda Point di dekat pulau Meoswerek. Lokasi ini berupa dinding karang landai dengan arus kuat. Ribuan baraccuda mendiami lokasi ini. Sungguh menggetarkan. Malamnya kami menginap di Wundi.
Penyelaman esoknya kami menikmati spot penyelaman di Pulau Owi dan Ruras. Untuk sehari menyelam, harganya cukup mahal, Rp 2 juta per hari. “Semua mahal di sini. Bensin saja Rp 25 ribu seliter,” ujar Erik Farwas.
Padaido tidak hanya menyajikan spot penyelaman Gua Wundi, Baraccuda Point, Owi, Ruras, tetapi juga masih banyak spot penyelaman lain. “Ada 29 titik penyelaman yang bisa dinikmati,” ujar Erick Farwas. Di antaranya, spot-spot penyelaman bangkai Perang Dunia II, seperti bangkai bekas kapal perang yang karam, landasan pesawat Jepang, bangkai pesawat udara, dan peralatan perang lain.
Untuk merasakan sensasi penyelaman pada spot-spot ini kami pasti akan kembali lagi ke Padaido.
WAHYUANA