By Wahyuana
Perolehan laba bersih industri perbankan tahun 2005 mencapai Rp. 24,9 triliun atau turun 18,3% dibandingkan laba tahun 2004 yang mencapai Rp. 29,46 triliun. Menurut sejumlah pengamat perbankan yang ditemui mengatakan, penurunan laba 18,3% di tahun 2005 ini lebih merupakan imbas dari kondisi makro ekonomi yang sedang dilanda ‘krisis mini.’ “Kinerja perbankan membaik, tetapi faktor makro ekonomi yang memang sedang sulit,” ujar seorang pengamat perbankan. Sejumlah faktor eksternal seperti kenaikan BBM yang tak terkira (rata-rata mencapai 126,6%), telah mendorong kenaikan laju inflasi nasional sampai 18%. Belum lagi suku bunga BI yang masih tinggi 12,75%. Nilai rupiah belum stabil, masih sering terfluktuasi akibat pengaruh penyesuaian harga minyak dunia yang juga sering terfluktuasi. Faktor-faktor ini menyebabkan harga-harga melambung tinggi, yang akhirnya menyebabkan beban biaya ekonomi produksi tinggi. Akhirnya debitor-debitor menunda pembayaran kredit bank, yang ujung-ujungnya industri perbankan yang paling terkena imbasan negatif.
Dilihat dari NPL (Non Performing Loan) yang meningkat menjadi 8,2% atau naik dari 4,5% dari awal tahun 2005, menunjukkan adanya peningkatan jumlah kredit macet yang dialami industri perbankan, meski jumlah belum mengkhawatirkan seperti ketika terjadi krisis perbankan tahun 1997-1998. Nilai standard ideal NPL sesuai ketetapan BI sebesar 5%. NPL ini mencerminkan buruknya sektor usaha dalam pengembalian kreditnya. Sektor perindustrian yang menyerap 48,25% kredit perbankan, mencatatkan NPL yang paling tinggi yaitu 3,41% (Lihat tabel 2.) Angka ini menunjukkan bahwa sektor industri sedang benar-benar terpukul akubat kenaikan BBM tahun lalu... (more continued...)
In Japanese was published at JIEF Magazine
No comments:
Post a Comment