Saturday, October 20, 2007

Biksu di Persimpangan Jalan Burma

Biara Theik Pan Kyaung di kawasan Bahan, Rangoon, tampak sepi ditinggal para biksu penghuninya. Kompleks biara berupa panggung setinggi setengah meter dan bangunan yang semua serba kayu itu tampak kotor dan tak terawat.

Kepala biara, U Pandavamsa, sudah dua pekan ini tidak muncul di biara. Tamu-tamu, yang biasanya antre untuk berbagai keperluan konsultasi, tak tampak lagi. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi sejak dia ikut ambil bagian dalam demonstrasi menentang junta militer Burma pada akhir September lalu.



Sempat ada kabar ia telah menyeberang ke Mae Sot, Thailand. Ada pula kabar yang menyebutkan bahwa ia tengah berada di hutan sebelah utara, menghindari Rangoon. Tak ada kabar yang memastikan posisinya, tapi sebuah pesan telah mengabarkan bahwa ia selamat, tak kurang suatu apa.

"Biara-biara utama di Rangoon kosong. Para biksu telah pergi menghindari amukan junta," ujar Ko Swe, wartawan Beauty Magazine, dari pusat Kota Rangoon pada Senin lalu.



Sejak penyerbuan Batalion 66 ke Biara Shwe Taung Maw dan Ngwe Kyar Yan di tengah Rangoon pada 26 September lalu dan menewaskan biksu U Sendima, semua biara di Rangoon sepi ditinggalkan penghuninya.

Junta militer Burma menyebar mata-mata ke seluruh biara. Kawasan Pagoda Shwedagon, pusat orientasi spiritual Buddha Terravada Burma yang berada di Rangoon, masih ditutup lokasinya. Para peziarah dilarang masuk. Hanya sejumlah kecil samanera (biksu pelajar anak-anak) yang terlihat di pagi hari membawa mangkuk sedekah berkeliling kota.



Selain sebagai kepala biara, U Pandavamsa adalah Sekretaris Jenderal Young Monks Union (Sangha Sammagi) wilayah Rangoon, salah satu eksponen dari lima asosiasi biksu yang tergabung dalam Aliansi Seluruh Biksu Burma, yang menyokong demonstrasi menentang junta tiga pekan lalu.

"Ia telah memainkan perannya dengan gagah berani," ujar Ko Swe, yang melihat langsung biksu berusia 38 tahun itu memimpin unjuk rasa jalanan yang merenggut korban 10 orang tewas tersebut.

Pandavamsa telah kenyang asam-garam perlawanan terhadap junta. Ia pernah menghabiskan delapan setengah tahun hidupnya di penjara junta militer gara-gara pada 1997 ia memimpin aksi menolak sumbangan dari Jenderal Saw Maung, presiden dan ketua komite 15 jenderal dari Dewan Hukum Pemulihan Tatanan Negara (SLORC) di era sebelum kekuasaan Jenderal Than Shwe saat ini.

"Kami sudah tidak mempunyai harapan untuk memperoleh demokrasi di Burma. Kami hidup dalam suasana teror," ujar Pandavamsa ketika saya mengunjunginya setahun lalu di Pagoda Ah Thi Ti, masih di dalam kompleks Biara Shwe Taung Maw.



"Hampir semua aktor kehidupan sosial-politik telah dibuat lemah oleh rezim. Tidak hanya Liga Demokrasi Nasional (NLD, partai pimpinan Aung San Suu Kyi), tapi juga kelompok seperti mahasiswa, pers, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas para biksu," ujar Pandavamsa.

Menurut Pandavamsa, semua aktor kehidupan masyarakat sipil di Burma saat ini telah dibonsai oleh junta militer. Para aktivis politik NLD rontok satu per satu, menyatakan keluar dari partai karena beban teror yang keras dari junta.



Para aktivis mahasiswa dari generasi 1988 juga tercerai-berai. Sebagian besar dari mereka hidup dalam trauma politik yang berkepanjangan. Sebagian lagi menderita sakit jiwa karena menyaksikan 3.000 temannya dibantai di depan mata.

Sementara itu, "Para mahasiswa baru di Universitas Yangoon semakin hari semakin jauh dari politik. Mereka banyak yang mengira Aung San Suu Kyi itu bintang film cantik Burma," ujar Aye Naing, mantan aktivis mahasiswa dari generasi 1988 yang sekarang memilih mengasingkan diri di Chiang Mai, Thailand Utara.



Pers sepenuhnya juga dikuasai junta. Dua stasiun televisi, yakni MTV (Myawaddy Television) dan MRTV (Myanmar Radio and Television), dikuasai junta militer. Dua stasiun radio di Rangoon dikuasai Dewan Pemerintah Kota Rangoon. Tabloid menjadi hak penerbitan kepolisian dan koran New Lights Myanmar diterbitkan pemerintah.

Beragam media swasta biasanya hanya memberitakan peristiwa olahraga atau hiburan internasional, dan tak berani sedikit pun menyentuh masalah politik. Para wartawan kritis di Rangoon, karena frustrasi atas represi yang kuat, memilih menerbitkan majalah tentang kecantikan, yakni Beauty Magazine, agar tetap bisa menyambung hidup.



"Di kantor kami ada seorang letnan kolonel dan seorang kapten yang turut bekerja sebagai kolumnis rubrik kesehatan dan tenaga pemasaran," ujar Myo Zaw, wartawan Beauty Magazine, di Rangoon.

Sementara itu, jaringan Internet sewaktu-waktu putus selama berminggu-minggu di seluruh Burma. Harga sewa Internet di sana sekitar Rp 10 ribu per jam dan terbilang mahal.



Lembaga swadaya masyarakat pun tak diizinkan berkembang di Burma. "Karena di sini memang tak ada birokrasi perizinan. Kalau tidak hati-hati, sewaktu-waktu bisa saja kami langsung digerebek," ujar Alan Shaw, intelektual Kristen Burma yang menyukai buku-buku karya dua tokoh militer Indonesia: Jenderal T.B. Simatupang dan Jenderal A.H. Nasution. Ia aktivis LSM dari Gereja Baptist di Rangoon yang aktif membela isu minoritas suku Karen... more...

Publised at Koran Tempo daily, http://korantempo.com

No comments: