Wednesday, December 10, 2008

Gaia, Kosmologi Konservasi Hutan Dan Lingkungan


Konsep etik apakah sehingga kita mempunyai kewajiban untuk selalu memelihara dan melindungi lingkungan dan hutan kita ?

Apakah sekedar demi untuk menghindari bencana-bencana yang kerap kali hadir akibat lingkungan hidup dan hutan di sekitar kita yang rusak, seperti datangnya bencana banjir, gempa, tanah longsor, badai, kekeringan atau tsunami. Ataukah kita wajib melindungi dan mengkonservasi potensi alam dan keanekaragaman hayati hutan hujan tropis kita, karena setiap spesies dan organisme yang kita konservasi itu, menyimpan potensi di masa depan bagi kemakmuran dan kesejahteraan manusia anak cucu kita nanti (baca: demi kepentingan komersial). Ataukah ada kepentingan lain yang lebih mulia, sehingga hukumnya ‘wajib’ bagi setiap individu di dunia ini untuk menjaga, melindungi, dan merawat hutan, tanah, laut, dan udara di bumi ini beserta segala isinya.

Penjelasan kosmologis atas berbagai pertanyaan ini dapat ditemukan dalam teori Gaia. Teori mutakhir yang memandang adanya berbagai kaitan dan ketergantungan diantara unsur-unsur penyusun dan penghuni bumi ini dengan pandangan yang lebih holistik. Teori ini sekarang telah populer, namun masih sering disalahmengerti dan disalahgunakan, karena ketika pertama dipublikasikan, sempat mengundang banyak kontroversi. Namun bukti-bukti ilmiah mutahir telah memberikan koreksi atas kesalahan-kesalahan awal itu.

Teori Gaia pertama kali dikemukan oleh ilmuwan James Lovelock tahun 1979 melalui buku pertamanya Gaia : A New Look at Life on Earth. Dalam teori Gaia, bumi dipandang sebagai sebuah organisme besar dimana seluruh sistem dan komponen-komponen yang terkandung di dalamnya, baik biotik maupun abiotik, di udara, laut, tanah, dan di angkasa, merupakan organ-organ tubuh bumi yang saling berkaitan dan memiliki fungsi-fungsi sendiri yang saling melengkapi dan bekerjasama dalam saling ketergantungan. Dalam sistem organisme besar itu, bumi memiliki keseimbangan sistem yang bersifat homeostasis, sehingga jika salah satu bagian dari organ bumi itu sakit atau luka, maka juga akan mempengaruhi seluruh sistem bumi yang ada. Ini seperti dapat kita analogikan dengan sistem di dalam tubuh kita; sistem tubuh kita akan terganggu jika kita kehilangan salah satu organ tubuh, atau kalau salah satu organ tubuh kita sakit maka seluruh tubuh kita akan terasa sakit, tidak normal, lumpuh atau bahkan mati.

Sebagai sebuah sistem organisme tunggal, maka menjadi kewajiban bagi seluruh organ dan seluruh penghuni di bumi ini untuk saling menjaga harmoni dan stabilitas sistem, dengan saling memperhatikan, memberikan respon-respon, bekerjasama dan melindungi setiap komponen-komponen bumi yang lain. Dalam sistem itu, seluruh komponen dan unsur-unsur bumi mempunyai kedudukan yang sama, setara dan seimbang dalam kontribusinya menjaga kondisi bumi untuk tetap layak ditinggali. Manusia memang menjadi unsur penting kehidupan di bumi, karena kemampuan akal dan budinya, tetapi meskipun begitu, manusia sendiri juga dapat terlempar dari kehidupan di bumi ini, jika ia tidak dapat menjaga dan berperan dalam menjaga harmoni bumi, seperti juga peran yang dilakukan oleh unsur-unsur komponen bumi yang lain. Bukti perjalanan sejarah kehidupan di bumi telah berulangkali membuktikan, bahwa tidak ada jaminan bagi makhluk-makhluk dominan dan berkuasa di bumi, seperti dulu Dinosaurus, untuk tetap eksis dan bisa bertahan dari sistem homeostasis bumi, jika ia dianggap tidak produktif bagi bumi. Sehingga meskipun manusia saat ini menjadi makhluk paling penting di muka bumi, kalau tidak hati-hati dalam menjalankan kehidupannya, ia juga bisa bernasib sama dengan Dinosaurus.

Teori organisme tunggal bumi ini pada awalnya sempat menjadi kontroversial, karena sebagai organisme, Lovelock mengemukakan, bahwa bumi juga mempunyai sistem kekebalannya dan kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari ‘luka-luka’ yang mungkin menyerangnya, sebagai bagian dari mekanisme bertahan dari sifat homeostasis bumi. Lovelock mengemukakan adanya sejumlah bukti-bukti penelitian bahwa berbagai fenomena kerusakan lingkungan global seperti meningkatnya zat-zat rumah kaca yang mengakibatkan meningkatnya pemanasan global, ternyata secara korelasional juga diikuti dengan meningkatnya populasi algae dan fitoplankton-fitoplankton di samudara Atlantik dan Pasifik yang semakin produktif menghasilkan zat Dimetilsulfida, yang setelah terlepas ke udara, kemudian akan bereaksi mengurai zat-zat efek rumah kaca di atmosfer. Mekanisme ini akan mengurangi kandungan zat-zat rumah kasa yang menyebabkan pemanasan global dan kerusakan ozon di atmosfer.

Temuan sistem respon ‘umpan balik’ akibat kerusakan lingkungan di bumi ini, sempat menimbulkan kesimpulan yang kontroversial karena dengan demikian berbagai problem kerusakan lingkungan hidup di dunia saat ini, dapat dianggap sesungguhnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan, karena bumi ternyata menyediakan sistem dan mekanismenya sendiri untuk melakukan netralisasi dan melakukan penyembuhan-penyembuhan atas problem ancaman kerusakan yang sedang dihadapinya. Problem pemanasan global dan polusi udara saat ini tak perlu terlalu dikhawatirkan karena mekanisme internal metabolisme bumi akan menyediakan sistem-sistem yang akan menetralisirnya.

Premis ini tentu saja kontroversial bagi kalangan aktivis lingkungan hidup. Meskipun konsep dasar Gaia yang memandang bumi sebagai sebuah sistem holistik global yang seluruh komponen penghuninya mempunyai kaitan dan berada dalam saling ketergantungan, tetap dianggap sebagai gagasan yang prospektif di dalam memahami kaitan sistem kerja bumi. Tetapi pada bagian kesimpulan yang menganggap bahwa ancaman kerusakan lingkungan hidup sebagai bukan anacaman yang serius, tetap ditolak oleh kalangan environmentalis.

Sebaliknya pada bagian inilah yang sering ‘dibajak’ oleh kalangan industrialis dan para perusak lingkungan, melalui iklan-iklan mereka, yang mengatakan bahwa di dalam mekanisme Gaia residu industri sesungguhnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan karena akan tereduksi sendiri oleh mekanisme metabolisme bumi.

Lovelock kemudian merevisi beberapa kesimpulan-kesimpulan di buku pertamanya ini, melalui 4 buku yang ia terbitkan selanjutnya ; The Ages of Gaia (1988), The Practical Science of Planetary Medicine (1991), Homage to Gaia (2000), dan The Revenge of Gaia (2006). Di dalam penelitiab mutakhir yang tertuang di dalam buku-buku terbarunya, Lovelock menemukan bahwa memang benar bahwa bumi mempunyai sistem kekebalannya sendiri, dan didalam sistem metabolisme bumi itu terdapat sistem respon umpan balik yang siap mereduksi dan menyembuhkan luka atau penderitaannya sendiri. Namun Lovelock menemukan ‘red light’ atau alarm peringatan di dalam sistem itu, bahwa sistem kekebalan dan respon umpan balik yang dimiliki bumi itu mempunyai batas limit kemampuannya. Bahkan saat ini, Lovelock mensinyalir, bahwa sistem bumi sudah sampai pada tahap yang tidak mampu lagi merespon dan menetralisir residu-residu akibat aktivitas manusia yang dapat mengancam keseimbangan bumi. Artinya jumlah residu akibat berbagai aktivitas manusia saat ini ternyata sudah tidak equivalen lagi dengan kapasitas bumi untuk mereduksinya.

Ini salah satunya dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa fenomena pemanasan global akibat tingginya kandungan CO2 dan zat-zat efek rumah kaca di atmosfer ternyata tidak mampu secara cepat direduksi oleh seluruh tumbuh-tumbuhan dan fitoplanton-fitoplankton yang berada dimuka bumi saat ini. Konsentrasi CO2 di atmosfer sudah meningkat sekitar 35% sejak era revolusi industri 400 tahun lalu, tetapi berdasarkan riset-riset terbaru, kemampuan semua komponen bumi untuk mereduksinya hanya meningkat 2% lebih cepat. Sehingga bumi sekarang berada dalam ancaman pemanasan global yang benar-benar nyata.

Bumi mungkin masih akan tetap eksis meskipun terjadi peningkatan suhu di dalam tubuhnya, karena didalamnya akan terjadi proses-proses membentuk keseimbangan-keseimbangan baru sebagai hasil interaksi dan negosiasi antar komponen pembentuknya. Tetapi menurut Lovelock, sama sekali tidak ada jaminan bahwa manusia akan bisa tetap eksis didalam sistem keseimbangan baru itu. Karena dalam sejarah bumi sendiri terdapat bukti bahwa telah berulangkali terjadi adanya pemusnahan massal atas unsur-unsur penghuninya yang dominan dan berkuasa, namun ternyata tak mampu menyesuaikan diri didalam sistem homeostasis yang baru. Sehingga menjadi peringatan bagi manusia kalau ia tidak bisa mengendalikan perilakunya untuk tidak merusak lingkungan, maka ia bisa terancam terlikuidasi dari bumi.

Konsep penting lain dari teori Gaia didalam memandang kehidupan di bumi adalah bahwa biosfer (lingkungan kehidupan) sangat bergantung, berinteraksi dan berkorelasi erat dengan komponen-komponen bumi yang lain, dan bahwa setiap komponen-komponen di dalam biosfer sendiri, masing-masing mempunyai fungsi, nilai, peran dan kegunaan sendiri untuk saling melengkapi, berinteraksi dan bergantung satu sama lain untuk saling menolong dan mendukung agar tetap bisa eksis di muka bumi. Seperti misalnya hutan hujan tropis dan lahan basah yang masing-masing mempunyai fungsi dan peran tersendiri dalam memelihara kestabilan biosfer untuk mendukung sistem homeostasis bumi.

Salah satu keprihatinan mendalam Gaia saat ini adalah cepatnya laju penurunan keanekaragaman hayati di muka bumi. Keanekaragaman hayati merupakan salah satu bagian penting dari sistem Gaia, karena di dalam Gaia semua unsur isi bumi mempunyai peran dan fungsi yang sama namun spesifik sesuai dengan karakternya, sehingga hilangnya salah satu unsur komponen kehidupan akan berpeluang mempengaruhi kestabilan sistem di dalam Gaia. Baik itu unsur biotik maupun abiotik. Baik itu unsur biotik kelas rendah seperti bakteri, sampai unsur biotik kelas tinggi seperti manusia. Telah menjadi bukti bahwa respon atas meningkatnya zat-zat rumah kaca di atas atmosfer tidak hanya dilakukan oleh jenis-jenis tumbuhan tingkat tinggi, tetapi juga oleh alga dan fitoplankton-fitoplankton di samudera. Organisme yang sebelumnya diabaikan dan dianggap tidak penting di dalam rantai fotosintesis bumi. Ini membuktikan bahwa bahkan unsur-unsur penyokong biosfer pada tingkat microbiologi dan makluk hidup yang belum teridentifikasi pun mempunyai peran penting di dalam sistem metabolisme organisme bumi.

Besarnya kandungan keanekaragaman hayati yang berada didalam hutan hujan tropis yang dimiliki Indonesia, mempunyai peran yang sangat penting di dalam eksistensi sistem Gaia. Hutan-hutan tropis merupakan pusat keanekaragaman hayati yang paling tinggi di bumi. Masing-masing species yang terkandung di dalamnya mempunyai peran yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan, karena menjadi penyeimbang dan penyokong bagi unsur kehidupan yang lain. Sehingga kecenderungan untuk memanfaatkan lahan hutan kita menjadi hutan-hutan industri monokultur, sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan kosmologi Gaia. Didalam Gaia, produktifitas ekosistem yang tinggi akan lebih banyak ditemukan didalam ekosistem-ekosistem yang multikultur.

Sehingga konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan hal yang sangat penting, tidak saja bagi sistem kehidupan di wilayah Indonesia, tetapi juga untuk seluruh sistem global bumi.

Etika Gaia

Sebagai sebuah teori sains, Gaia telah melahirkan sebuah implikasi etik tersendiri di dalam memandang kehidupan di bumi dan bagaimana selayaknya interaksi manusia dengan berbagai komponen bumi yang lain dibangun. Etik Gaia tampaknya cenderung berlawanan dengan teori evolusi Darwinian yang selama ini mendominasi persepsi publik di dalam memandang eksistensi kehidupan di bumi.

Teori evolusi Darwinian mendasarkan pandangannya bahwa eksistensi kehidupan makhluk hidup di bumi didasarkan pada konsep ‘survival of the fittest’ atau seleksi alam. Di dalam konteks kajian sains biologi, teori-teori Darwin memang tetap penting untuk menjelaskan fenomena-fenomena di dalam kajian populasi dan ekosistem. Namun di dalam kajian-kajian dalam skala biosfer, teori Gaia akan lebih mampu menyediakan perangkat-perangkat analisis dan perspektif yang lebih menarik dan komprehensif.

Dalam teori Darwin (1809-1882), kehidupan di bumi dipandang sebagai proses yang penuh persaingan dan terjadi seleksi alam, siapa yang menang dan kuat dialah yang bisa eksis di bumi. Organisme yang satu berjuang dan berhadapan dengan organisme yang lain untuk saling membunuh dan menguasai, gambaran seperti ini dapat kita lihat dalam trend film-film sains biologi saat ini, yang suka sekali mengeksploitasi cerita tentang rantai predator sesama organisme di bumi. Kehidupan di bumi dipandang oleh manusia sebagai obyek yang perlu dikuasai dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Kapitalisme dan eksploitasi alam merupakan fenomena yang menggejala dalam perspektif Darwinian.

Di dalam teori Gaia, yang memandang bahwa kehidupan di bumi ini sebagai sebuah sistem organisme tunggal dimana seluruh komponen-komponen pembentuknya saling berinteraksi, bekerjasama dan adanya konsep saling ketergantungan satu sama lain dalam sebuah sistem yang homeostasis, maka manusia bukan satu-satunya makhluk hidup yang paling sentral dan berkuasa dalam yang mengatur kehidupan di bumi. Manusia bukanlah makhluk yang paling istimewa, tetapi ia setara dan mempunyai kontribusi dan kesempatan yang sama dengan unsur-unsur bumi yang lain untuk mengelola dan menghidupi bumi. Sehingga manusia harus mempunyai rasa rendah hati dan menghormati setiap unsur dan komponen bumi yang lain, terhadap alam disekitarnya, dan terhadap makhluk hidup sesamanya. Hukum ‘wajib’ bagi setiap manusia untuk memelihara lingkungan dan hutan disekitarnya, karena ia mempunyai tanggung jawab yang sma dengan penghuni bumi yang lain untuk saling menjaga kehidupan.

Etik Gaia adalah suatu etika yang melandaskan pikiran dan tingkah laku yang bukan hanya memanfaatkan alam demi keuntungan diri sendiri (manusia) semata, melainkan tingkah laku yang mempunyai tanggung jawab untuk terus memelihara keseimbangan alam dan melestarikan keutuhan, kebersatuan, keberlangsungan dan keserasian ekosistem, biosfer, dan seluruh komponen pendukung sistem global bumi, karena bumi merupakan suatu sistem organisme kosmik yang terdiri dari komponen-komponen yang saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan, sehingga kehidupan di bumi harus saling menopang dan berjalan terus menerus secara konstan. Dalam gambaran Lovelock, bumi ini ibarat sebuah koperasi raksasa, dimana seluruh anggotanya saling berkerjasama, berinteraksi dan berbagi. Ingatlah selalu, jika kamu memotong sebatang pohon di hutan, maka tak hanya alam sekitar yang disakiti dan beresiko terkena kutukan dampak negatifnya, tetapi seluruh sistem global, dan masyarakt di ujung dunia lain, juga akan menerima efek negatifnya. Pada sebatang pohon, bersandar pula beribu kehidupan yang lain.

Di dalam etik Gaia, manusia sebagai makhluk hidup dari unsur biosfer memang bukan merupakan sentral dari seluruh sistem kehidupan, tetapi ia tetap merukan makhluk yang penting, karena kemampuan akal dan budinya. Manusia hanyalah salah satu elemen dalam seluruh eksistensi sistem global bumi, namun karena kemampuan akal budinya, manusia harus selalu rendah hati, tidak sewenang-wenang, dan selalu mempertimbangkan bahwa setiap tindakannya akan mempunyai implikasi terhadap keberadaan unsur-unsur komponen pendukung bumi yang lain.

Sehingga manusia dalam sistem etik Gaia, tidak bisa lagi berpikir dan bertindak egois dan individualis. Kalau kita membuang sampah, harus menjadi kesadaran kita bahwa sampah itu akan mempengaruhi sistem tanah, udara, dan alam sekitarnya, sehingga kita harus memilih cara yang tepat, bagaimana agar sampah yang kita buang itu tidak mengganggu dan merusak komponen-komponen bumi yang lain.

Kita wajib memiliki kasadaran untuk memelihara, menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan hidup di sekitar kita, bukan semata-mata demi kepentingan manusia, agar tidak banjir, longsor atau bencana yang lain, tetapi itu merupakan bagian dari tanggung jawab sistem kosmik kehidupan global bumi. Setiap organisme atau species yang kita sentuh atau temui, harus selalu menjadi kesadaran kita, bahwa itu juga merupakan makhluk yang mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup dan mempunyai nilai yang sama berharganya dalam memjaga sistem kehidupan bumi. Semua tindakan-tindakan kita dalam menjaga hutan dan lingkungan merupakan bagian dari upaya menjaga kehidupan dan kemaslahatan bersama seluruh penghuni bumi.

Manusia harus menghormati unsur pendukung bumi yang lain, tanah, udara, air, lautan, dan semua penghuninya baik yang hidup maupun tidak. Bumi, kelestarian dan kesinambungan eksistensinya merupakan pusat dari orientasi kehidupan manusia.

Gaia dalam kearifan masyarakat lokal kita

Gaia yang diambil dari kata Ge atau dewi bumi dalam bahasa Yunani, sesungguhnya juga sebuah konsep penghormatan terhadap lingkungan hidup yang sudah kita kenal di dalam tradisi-tradisi masyarakat lokal di Indonesia. Di Jawa kita kenal dengan nama Dewi Sri sebagai dewa kesuburan tanah. Demikian juga di dalam masyarakat-masyarakat lokal di berbagai daerah di Indonesia, mereka selalu mempunyai orientasi pujaan spiritual terhadap dewa bumi atau dewa kelestarian lingkungan hidupnya, tetapi dengan ama-nama sebutan yang berlainan. Di dalam konteks nasional, Ge dapat pula kita artikan sebagai Ibu Pertiwi, yang selalu mendapat penghormatan di dalam setiap literatur kita. Bahkan lagu Ibu Pertiwi merupakan salah satu lagu yang populer dan dikenal oleh setiap orang di Indonesia yang merupakan penghormatan terhadap tanah air kita, tempat kita hidup, bergantung dan berakhir.

Penghormatan terhadap bumi beserta seluruh isinya sesungguhnya juga telah menjadi orientasi di dalam sistem-sistem tradisional masyarakat kita. Melalui upacara-upacara tradisional sebelum masa tanam atau sesudah panen di daerah-daerah pertanian, sebagai bentuk ungkapan penghormatan dan upaya untuk selalu mengingatkan perlunya kita menjaga dan melestarikan seluruh sistem kehidupan di bumi ini. Memang seluruh sistem kepercayaan di dalam upacara-upacara tradisional itu hanya berkaitan terhadap sistem kepercayaan lokal, namun sesungguhnya tradisi-tradisi itu mempunyai dimensi pengaruh terhadap kehidupan global.

Gaia sebenarnya telah kita kenal dalam sistem-sistem tradisional masyarakat kita, namun revitalisasi perlu dilakukan lagi saat ini, dalam konteks pemahaman yang lebih kontemporer.***

Daftar Pustaka :
1. Lovelock, James, Bumi yang Hidup, Yayasan Obor, Jakarta (1988).
2. Kuswata Kartawinata dan Anthony J. Whitten, Krisi Biologi : Hilangnya Keanekaragaman Hayati, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta (1991).

*Pemerhati sains hayati dan pengurus Yayasan Rindang Indonesia, tinggal di Jakarta.



No comments: