Thursday, December 30, 2004

Media di Konflik Maluku

MEDIA massa di Provinsi Maluku, terutama media lokal di Ambon, merupakan faktor penting dalam melihat eskalasi konflik. Informasi atau pemberitaan yang diakses oleh masyarakat Ambon sebagian besar diambil dari pemberitaan media lokal ini. Berbagai penerbitan media besar skala nasional dari Jakarta, Surabaya, atau Makassar tak banyak
berpengaruh di Ambon. MEDIA nasional ini selain susah didapat dan sering terlambat,juga dianggap tidak terlalu memberi porsi pemberitaan yang cukup tentang Maluku. Berita Daerah TVRI Ambon merupakan saluran informasi paling favorit dan ditunggu-tunggu masyarakat Ambon. Kebanyakan orang Maluku akan menghentikan kegiatannya sebentar untuk menonton pada jam siaran Berita Daerah yang berdurasi sekitar satu jam itu.
Sebelum kerusuhan di Maluku hanya terdapat satu surat kabar lokal yang terbit: Suara Maluku. Koran Pos Maluku yang sebelumnya saingan utama Suara Maluku tutup tahun 1996. Sejarah media di Maluku sendiri sebenarnya sudah cukup panjang. Pers pertama di Maluku terbit tahun 1917 pada masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1940-an banyak media yang terbit di daerah ini. Namun, kemudian banyak yang runtuh pada tahun 1960-an.Yang menarik, rata-rata pers yang muncul di Ambon sejak dulu selalu saling bersaing, bahkan mungkin saling serang lewat opini. Biasanya penerbitan itu selalu didasarkan pada afiliasi kelompok agama.
Meski biasanya mengaku segmentasi pembaca yang dituju untuk umum dan menggarap media dengan prinsip jurnalisme yang profesional, penyiarannya sering kali membela kelompok agama. Di era Orde Baru penerbitan semacam itu ambruk semua. Sekarang yang dianggap sebagai koran tertua adalah Suara Maluku yang didirikan tahun 1968. Sampai sebelum kerusuhan, media-media nasional yang memiliki kantor biro atau cabang di Ambon hanya media milik pemerintah: Antara, TVRI, dan RRI. Media-media dari pusat hanya memiliki reporter dengan status koresponden. Setelah konflik pecah, sekarang banyak kantor berita asing yang mempekerjakan koresponden di sana.
Ketika konflik pecah pada 19 Januari 1999, media-media milik pemerintah ini pecah. Wartawan Muslim dari LKBN Antara tidak bisa masuk kantornya di Kampung Belakang Soya, demikian juga reporter dan kru TVRI yang Muslim tidak bisa masuk ke kantor pusat TVRI di Gunung Nona. RRI berkantor pusat di daerah kompleks Kristen di Jalan A Yani.
Perpecahan ini awalnya, menurut pengakuan para wartawannya, semata-mata untuk menyiasati keadaan, menjaga keselamatan wartawan dan kru media sendiri, yang kebetulan beragama lain dengan mayoritas agama yang dianut penduduk tempat kantor redaksi berada.
***
PERPECAHAN media-media pemerintah ini tak sampai memecah organisasi media. Hanya memecah wilayah kerja. Namun, perpecahan ini ternyata tak hanya berlaku sebentar, tetapi kemudian berlarut-larut sampai sekarang. "Selama dua tahun sejak konflik pertama pecah tahun 1999, saya praktis tak punya kantor lagi. Menjadi wartawan kelayapan ke mana-mana, berkantor di wartel," kata Dien Kellilauw, Kepala Biro Antara yang terpaksa memisahkan diri dari kantornya di belakang Soya. "Baru tahun 2000 sewa ruang untuk kantor." perpecahan dalam media pemerintah ini membawa implikasi: media pemerintah dianggap tak lepas dari sentimen konflik, dianggap media partisan. Berita-beritanya juga dianggap tidak netral. Kualitas karya yang keluar dari wartawannya pun sering tidak obyektif. Barangkali akibat keterbatasan wartawan meliput di lapangan. Reporter dari TVRI yang Muslim hanya meliput di daerah Muslim yang sebenarnya kawasannya sangat sempit. Setiap sore wartawan-wartawan TVRI ini kemudian melakukan "transaksi" di Rumah Sakit Tentara Pohon Puleh, Ambon. Mereka seperti para pedagang sayur dan pedagang ikan.
Setiap hari kurir para wartawan TVRI Muslim membawa hasil liputan berupa kaset video ke daerah perbatasan, biasanya sekitar pukul 15.00 WIT untuk diserahkan ke kurir dari kantor pusat TVRI Ambon di Gunung Nona. "Ya, seperti transaksi mafia di film-film itu, kaset kami titipkan ke satpam Rumah Sakit Tentara, nanti ada yang mengambil dari teman-teman Kristen," kata Agus Raharusun, reporter TVRI yang berkantor di Galunggung. "Atau sebelumnya kami sudah janjian mau ketemu untuk barter kaset dengan berbagai kelengkapan lain atau surat-surat administrasi kantor. Kadang-kadang kami ketemu di kantor gubernur. Begitu tiap hari. Sudah tiga tahun saya tidak pernah lagi berkunjung ke kantor pusat di Gunung Nona." Konflik yang kemudian berimbas pada pemisahan media milik pemerintah ini sangat memprihatinkan. Sejak terjadi konflik dan pemisahan kantor, praktis tidak pernah lagi ada rapat redaksi bersama, rapat perencanaan liputan, ataupun koordinasi liputan antara wartawan dan kru redaksi. Bahkan, sekadar rapat pertemuan bersama untuk kepentingan nonformal pun tidak pernah lagi dalam tiga tahun konflik. Baik itu di TVRI, RRI, maupun Antara. Dengan demikian, berita-berita yang muncul di media-media pemerintah ini menjadi bias dan sering kali penuh prasangka yang berpihak.
***
MEDIA pemerintah akhirnya juga dianggap sebagai bagian dari konflik. Tidak adanya koordinasi dan rapat redaksi bersama membuat media tidak mampu membuat perencanaan yang lebih baik, berperanan positif mengeliminasi atau mengurangi konflik. Media pemerintah
akhirnya tak banyak beda dengan media milik swasta yang sering kali dengan sadar medianya sebagai bagian dari konflik. Tidak adanya koordinasi antar-redaksi itulah yang menjadi problem utama penerapan jurnalisme damai di media milik pemerintah. Kondisi perpecahan pada media-media milik pemerintah ini sebenarnya sangat memalukan dan mendelegitimasi posisi medianya yang seharusnya netral menjadi media yang dianggap turut berpihak.
Akan tetapi, yang kemudian membawa implikasi besar terhadap perpecahan media, dan kemudian kecenderungan media-media di Ambon jadi media partisan, adalah setelah harian terbesar dan tertua di Maluku, Suara Maluku, pecah dan kemudian melahirkan Harian Ambon
Ekspress. Koran Suara Maluku didirikan tahun 1968 oleh H Andili, Etty Manduapessy, H Alwi Hamu, dan Syamsu Nur. Tahun 1993 sebagian saham Suara Maluku diambil alih oleh Grup Jawa Pos. Pada tahun 1998 seratus persen saham Suara Maluku dibeli oleh Grup Jawa Pos lewat PT Suara Maluku Inti Pers dengan investasi berupa pemberian mesin cetak, yaitu bekas mesin cetak Majalah Tempo yang pertama. Selain itu juga dibangunkan gedung dua lantai di Halong Atas. Pada tahun 1998 itu oplah Suara Maluku tak kurang dari 3.500 eksemplar dengan harga Rp 600. Koran tersebut menjadi yang terbesar di Maluku dengan penyebaran dan kawasan liputan mencapai Maluku Utara.
Jumlah anggota redaksi sampai sebelum kerusuhan sekitar 25 orang. Dengan komposisi agama wartawan yang hampir seimbang dan beragam, sebelumnya juga sama sekali tidak ada problem sentimen agama di sana. Seminggu setelah pecah kerusuhan pada 19 januari 1999, Suara Maluku tidak terbit selama seminggu. Karena distribusi koran tidak bisa jalan, praktis wartawan takut meliput di lapangan. Awal Februari 1999 Suara Maluku terbit lagi dengan komposisi wartawan Islam dan Kristen yang masih sama. Pada Maret 1999, wartawan-wartawan Muslim mulai tidak bisa datang ke kantor Suara Maluku di Halong Atas.
Bulan itu perpisahan mulai terjadi. Wartawan Muslim akhirnya hanya mengirimkan laporan lewat faksimile di wartel, tapi kemudian juga mengalami kesulitan. Meskipun wartawan Muslim sudah tak bekerja, mereka masih mendapat gaji penuh sampai Desember 1999.
Pada Maret 2000, tujuh wartawan Muslim akhirnya memisahkan diri dari Suara Maluku dan menerbitkan Ambon Ekspress. Pemodal utamanya tetap dari Grup Jawa Pos. Dahlan Iskan, bos Grup Jawa Pos, ketika berbicara dalam pertemuan jurnalis dan pemimpin media Maluku dan Maluku Utara di Bogor, Februari 2001, mengatakan, pemisahan wartawan Muslim di Suara Maluku menjadi Ambon Ekspress semata-mata karena problem praktis lapangan, "Karena wartawan Muslim tidak bisa berkantor di kantor Suara Maluku yang terletak di permukiman Kristen, maka untuk melanjutkan idealisme kerja mereka, ya, kemudian dipisah dan dibuatkan Ambon Ekspress."
Konflik di Maluku yang dianggap sebagai konflik antara pemeluk agama Islam dan kristen sebenarnya merupakan analisis yang perlu dipertajam. Soalnya, sejumlah sebab, fakta awal, dan pemicu konflik pada awal kerusuhan menunjukkan adanya sejumlah provokasi yang luar biasa dari organisasi atau orang luar Maluku yang hendak membawa konflik di Maluku menjadi konflik antar-agama. Implikasi lebih jauh, hampir semua media yang terbit bermunculan kemudian mengambil pola-seperti dua koran milik Grup Jawa Pos-media Kristen atau media Islam. Berkecamuknya konflik bersamaan dengan hancurnya regulasi media massa oleh pemerintah dalam era reformasi justru melahirkan banyak media massa di Ambon.
(sumber: Wahyuana, Laporan Maluku media center)
=======================
Taken From : www.kompas.co.id