Wednesday, September 28, 2005

Seri Industri Tekstil : Mewarisi ‘Good Image’ Era Kuota

Oleh : Wahyuana

Pencabutan kuota ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat yang berakhir pada 31 Desember 2004 lalu, ternyata tak banyak berpengaruh terhadap nilai ekspor tekstil Indonesia ke pasar internasional.

Ditengah persaingan yang kian ketat, ternyata masih mencatat pertumbuhan yang menggembirakan. Tahun ini diperkirakan akan tumbuh sekitar 10 persen dibanding tahun sebelumnya, setelah pada tahun 2004 lalu mencatat pertumbuhan 10,24 % dibanding tahun 2003 dengan nilai penjualan sekitar US $ 7,65 miliar. Namun angka peningkatan ini masih dibawah dari puncak prestasi ekspor tekstil di tahun 2000 yang mencapai omset sekitar US $ 8,4 miliar.

“Tiap tahun net ekspor kita selalu diatas US $ 5 miliar. Kontribusi devisa dari ekspor tekstil diatas 8% PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia,” ujar Gde Putu Wisesa, Direktur program Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Departemen Perindustrian RI, kepada JIEF Magazine.

Tujuan ekspor tekstil di tahun 2004 sekitar 31% ke Amerika Serikat, 22% ke Uni Eropa, 7% ke Jepang, 4% ke Timur Tengah dan sisanya diekspor ke 120 negara lainnya.

Sedang laporan dari US Textile Intelligence di bulan Mei, sampai kuartal pertama tahun 2005 ini –data sampai bulan April, tercatat pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat naik 11% (catatan dari mayor shippers) dibanding periode yang sama tahun 2004.

Sejumlah perusahaan produsen utama tekstil seperti PT. Ungaran sari Garment, PT. Apac Inti Corpora, PT. Trisulatex dan lain-lain, dilaporkan sampai kerepotan memenuhi permintaan dan pesanan para buyers luar negeri.

Memang ekspor tekstil Indonesia masih kalah jauh dibanding dengan ekspor tekstil Cina, tetapi pertumbuhan ini, menunjukkan industri tekstil Indonesia sama sekali tidak terpengaruh oleh kebijakan penghapusan kuota Amerika Serikat, yang sebelumnya sempat diprediksi akan membuat industri tekstil Indonesia akan ambruk.

Indonesia saat ini masih menjadi pemasok no. 11 ekspor tekstil dunia dengan nilai sekitar US $ 2.92 billion yang berarti menguasai 1,7 % pasar dunia. Sedangkan di pasar industri garment Indonesia menguasai 1,8 persen pasar dunia dengan nilai sekitar US $ 4.11 billion, berada pada urutan no. 9 ekportir garment Internasional.

Memang sekitar 54% dari produk ekspor TPT Indonesia berupa garment atau pakaian jadi. Sedangkan sisanya berupa produk-produk dari industri tekstil hulu seperti fiber, filamen, dan kain.

“Kita mempunyai pelanggan-pelanggan yang selama ini sudah percaya dan puas dengan kualitas produk tekstil Indonesia. Sehingga meski kuota dihapus, kita masih mewarisi ‘good image’ dari konsumen,” ujar Gde Putu Wisesa.

Wisesa memberi contoh seperti industri fashion Amerika Serikat sekelas Georgio Armani mengandalkan pasokan kebutuhan kainnya yang berkualitas tinggi dari PT. Benangsari Indahtexindo, sebuah perusahaan testil di Purwakarta, Jawa Barat.

Demikian juga ekspor ke Jepang yang masih tetap bertahan tinggi, karena kebutuhan konsumen Jepang atas produk-produk berkualitas tinggi sekelas produk Mark & Spencer ternyata suply bahan dasarnya dari industri tekstil Indonesia.

“Good Image’ produk testil Indonesia di pasar internasional masih baik. Tinggal bagaimana mengefektifkan pemasaran dan mengefisienkan biaya produksi. Juga peningkatan aspek pelayanan seperti ketepatan delivery order,” ujar Gde Putu Wisesa.

Pendapat serupa dibenarkan oleh Ernovian Gysmi, eksekutif secretary API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) kepada JIEF Magazine. ” Cina dan India memang melakukan penetrasi ke pasar internasional secara besar-besaran, dengan tawaran harga yang murah. Indonesia tidak lagi menjual kompetitif ekspor dengan tawaran harga murah, tapi lebih ke kualitas,” ujar Ernovian.

Murahnya harga barang-barang garment dari Cina dan India dengan mudah dapat kita ditemui di pasar-pasar tekstil seperti Tanah Abang, Jakarta Pusat. Agil Thohir Baagil, seorang trader garment dan pemilik industri tekstil PT. Bahagil Dwi Tunggal di Bandung, Jawa Barat, mengatakan pada JIEF Magazine, “serbuan barang dari Cina tak bisa dihindari, karena memang murah. Padahal dalam beberapa komoditi bahan baku seperti polyester, Cina masih tergantung pada impor dari Indonesia. Seperti Cina masih impor PTA (purified terephthalic acid) dari Indonesia seharga US $ 820 / matric ton, setahunnya sekitar 60.000 ton. Tetapi setelah sampai di Cina dan melalui berbagai proses produksi bisa menghasilkan produk akhir garment yang jauh lebih murah. Di Indonesia dengan proses yang sama, produk akhirnya berupa garment dengan nilai wajar di pasar seharga sekitar 6 US $ / kg. Namun Cina berani menjual produk-produk tersebut cuma seharga 2 US $/kg. Jadi pasti saja produk Cina diserbu konsumen dan membanjiri pasar, akibatnya tidak hanya mengambil ceruk pasar ekspor yang selama ini dikuasai Indonesia, tetapi juga pasar domestik Indonesia sendiri direbut Cina.”

Praktek dumping ini tak pelak telah memukul industri tekstil Indonesia, terutama pada segmen produk garment di kelas menengah ke bawah, yang ceruk nilai pasarnya sangat besar. Persaingan tak hanya melawan Cina, tapi juga India, Korea, Vietnam, Meksiko dan Pakistan. Cina saat ini diperkirakan menguasai sekitar 50% pasar tekstil sedang India sekitar 13%.

Nasir Mansyur, Ketua Umum Asosiai Pengusaha Garment Indonesia (APGI), mengatakan ke JIEF Magazine, mengatakan, “untuk menyelamatkan pasar tekstil dalam negeri Indonesia dari serbuan barang murah dari Cina dan India, pemerintah seharusnya menerapkan ‘safe guard system’ seperti di Amerika Serikat terhadap produk tekstil dari Cina. Bahkan saya curiga, Indonesia telah menjadi sarana perdagangan transhipment produk-produk Cina untuk mencapai tujuan pasar ekspor.”

Transhipment ditengarai telah terjadi di Indonesia dari produk-produk garment Cina. Yaitu produk-produk tekstil Cina yang murah masuk ke pasar Indonesia, kemudian barang-barang itu diekpor lagi ke pasar internasional dengan memanfaatkan kuota dan ‘brand image’ sebagai produk Indonesia. Siasat ini ditempuh karena ekspor tekstil Cina secara langsung sudah mendapat pembatasan kuota dengan ‘safeguard system’ di beberapa negara seperti Amerika dan Uni Eropa.

Selisih harga pasar ekspor selama ini memang cukup memungkinkan dan menggiurkan bagi pola bisnis transhipment garment. Garment Cina masuk Indonesia dengan harga cuma sekitar US $ 2 / kg. Sementara harga ekspor garment Indonesia ke pasar luar sekitar US $ 4 / kg. Sehingga masih ada keuntungan selisih harga sekitar US $ 2/kg. Harga-harga ini masih dibawah harga wajar sebesar US $ 6/kg, sehingga barang-barang itu amat laku di pasar.

Transhipment ini menjadi bisnis yang amat menguntungkan, dan ditengarai telah menggiurkan beberapa perusahaan garment kelas menengah dan bawah di Indonesia untuk ‘banting stir’ dari produsen garment menjadi sekedar trader transhipment dengan memanfaatkan brand image perusahaannya sebagai produsen. Padahal sebenarnya hanyalah ‘kedok’ dagang.

Akibat transhipment tak hanya merugikan pasar ekpor, tetapi juga mengoyak pasar industri tekstil domestik. Pemerintah memang merencanakan akan mengefetifkan pengawasan di pelabuhan untuk mengurangi pola perdagangan transhipment, dengan melakukan pengawasan ketat setiap order barang yang masuk pelabuhan. Tapi pola ini diperkirakan pasti masih akan tetap berlangsung.

Persaingan pasar TPT yang ketat membuat para pengusaha Indonesia tak bisa berpangku tangan. Pasca kuota, mereka harus lebih aktif membuka dan mencari peluang pasar-pasar baru bagi tekstil Indonesia.

”Saat ini agak sulit menemui pengusaha tekstil Indonesia, mereka sedang giat menyebar ke mana-mana untuk memasarkan produk TPT secara langsung ke berbagai negara. Tidak hanya berkonsentrasi ke pasar tradisional tekstil Indonesia seperti ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, tetapi juga melebarkan pemasaran dan promosi ke Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin,” ujar Ernovian.

Ditengah perkembangan menggembirakan itu, saat ini, pesimisme menghantui banyak kalangan pengusaha garment di Indonesia di sektor usaha kelas menengah ke bawah ini. Akibat menaiknya beban biaya produksi tekstil akibat kenaikan harga minyak dunia, melemahnya nilai rupiah terhadap dollar dan kenaikan suku bunga bank, telah merontokkan sejumlah pengusaha sektor industri garment skala usaha menengah ke bawah.

Apalagi, sampai saat ini, bank-bank masih memasukkan industri tekstil ke dalam ‘black list’ invesment mereka, semenjak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia di tahun 1998, yang membuat banyak industri tekstil bangkrut dan ‘ngemplang’ utang ke bank. Blak list ini membuat saat ini pengusaha-pengusaha tekstil kesulitan mendapatkan dana segar untuk melakukan restrukturisasi perusahaan atau permesinan mereka.

“Di Jawa Barat saja sudah ada sekitar 302 perusahaan konveksi yang terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menahan beban biaya produksi yangtinggi,” ujar Lili Asjudiredja, Direktur PT. Tri Manunggal yang juga anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Jawa Barat kepada JIEF Magazine. Sedangkan di Bali, data API, memperkirakan sekitar 77 industri garment kelas menengah bawah juga tutup.

Menurut Benny Soetrisno, Ketua Umum API (Asoasi Pertekstilan Indonesia) yang juga Direktur PT. Apac Inti Corpora dan , tutupnya sejumlah perusahaan garment skala menengah-bawah ini sebenarnya sangat disayangkan bisa sampai terjadi, karena banyak potensi pasar TPT domestik yang belum terpenuhi. (lihat tabel 11).

Pasar domestik TPT Indonesia sendiri, sampai saat ini merupakan ceruk pasar potensial yang masih belum banyak diisi oleh produsen lokal. Dari tingkat konsumsi tekstil per kapita sebesar 4,4 kg/th/orang diperkirakan baru hanya mampu dipenuhi oleh industri tekstil nasional sebesar 2 kg/th/orang, sehingga masih ada peluang pasar sekitar 2/kg/th/orang.

Pasar domestik saat ini dipenuhi oleh tekstil murah dari Cina dan India. “Hampir 40 persen diisi oleh barang selundupan dari Cina dan India,” ujar Natsir Mansyur dari APGI.

Para pengusaha tekstil selama ini memang lebih banyak berkonsentrasi ke pasar ekspor, mereka terlalu termanjakan dengan adanya fasilitas kuota. Pasar domestik praktis tidak banyak yang serius menggapar, hanya disuply oleh ribuan industri konveksi rumahan kelas menengah ke bawah. Akhirnya ditengah laju pertumbuhan ekspor tekstil Indonesia yang selalu dibangga-banggakan, pasar domestik justru jadi ceruk potensial yang diisi barang-barang tekstil impor, yang celakanya 40% barang impor illegal, 20% diisi impor pakaian bekas, dan hanya 40 % diisi produk lokal. Padahal nilai bisnis pasar domestik sendiri diperkirakan sekitar US $ 21 trilliun. Sebuah potensi bisnis yang menggiurkan.

“Untuk merangsang industri garment ‘rumahan’ lokal agar tidak colapse dan meningkatkan bisnisnya, seharusnya pemerintah menerapkan ‘safeguard system’ untuk membatasi produk-produk impor illegal yang selama ini membanjiri pasa domestik,” ujar Natsir Masyur dari APGI.




Hubungan Industri Tekstil Indonesia-Jepang

Indonesia menguasai sekitar 2% pasar tekstil dan garment di Jepang, berada pada urutan ke-6 setelah China, Uni Eropa, Amerika, Korea (Lihat grafik) dengan nilai omset ekspor tahun 2004 sebesar sekitar US $ 472 juta, angka ini menurun dibanding ekspor tahun 2003 yang nilainya mencapai sebesar US $ 483 juta.

Menurut Ernovian Gysmy, ekskutif secretary API, typical pasar kebutuhan TPT Jepang lain dengan Amerika, Uni Eropa, atau negara-negara lain. Jepang menginginkan produk-produk kelas atas dengan kualitas tinggi. “Ini yang sering menjadi kendala TPT Indonesia dalam bersaing dengan produk Amerika dan Eropa dalam memasuki Jepang,” ujar Ernovian. Tetapi selera ‘high quality’ ini pula yang juga telah membuat garment Indonesia tetap mendapat tempat di pasar Jepang, karena kualitas garment Indonesia tetap lebih baik daripada produk Cina, India, Vietnam, atau Thailand.

Jepang sendiri, saat ini merupakan investor utama industri TPT Indonesia, baru disusul Taiwan. Data API tahun 2004, menunjukkan kurang lebih sekitar 58 industri TPT yang dimiliki investasi dari Jepang, baik yang mencakup penguasaan 100% kepemilikan atau share saham.

Penguasaan investasi Jepang terutama di industri tekstil sektor hulu seperti fiber, spinning, weaving dan knitting, yang bersifat padat modal dan full teknologi.

Beberapa industri tekstil Jepang di Indonesia skala besar adalah PT. Teijin Indonesia Fiber Corporation (Tifico) di bidang produksi fiber; PT. Kanebo Tomen Sandang Synthetic Mills (KTSM) yang berproduksi mulai dari fiber, spinning, weaving, finishing, sampai garment; PT. Acrilyc Textile Mills (ACTEM); PT. Toyono Knitting Indonesia; PT. Ohgiya Knitting Indonesia ; PT. Shinko Toyobo Gistex garment; PT. Saimoda Garminda; PT. Nikawa Textile Indonesia; PT. Kurabo Manunggal Textile Industries (Kumatex); PT. Permaid Textile Industry Indonesia (Mertex); PT. Plumbon International Textile (Pintex), PT. Great Iphock International dan lain-lain.

Pada bulan lalu, PT. Tifico mengeluarkan release yang mengatakan mulai bulan ini akan menambah investasinya di Indonesia sebesar US $ 50 milliar untuk perluasan plant industries-nya di Jawa Barat.

Menurut Ernovian Gismy dari API, potensi utama dari investasi Jepang adalah untuk memperluas dan merestrukturisasi industri tekstil di tingkat hulu yang memproduksi bahan-bahan dasar textile dan memerlukan high teknologi.

Peluang investasi bagi investor Jepang dapat berubah restrukturisasi dan memodernisasi mesin-mesin produksi yang banyak sudah kedaluarsa.

Data dari API saat ini, dari kelompok industri spinning (pemintalan) mempunyai 2.155 mesin berusia lebih dari 20 tahun, dari industri weaving (pertenunan) mempunyai 4.617 mesin dan knitting (perajutan) sebanyak 678 mesin. Belum lagi di kelompok industri printing, dyeing, finishing memiliki 1.716 mesin sudah lebih berusia 15 tahun. Sementara industri garmen memiliki mesin berusia lebih dari 10 tahun sekitar 31.997 unit.

“Kita akan sangat membantu bagi upaya investasi untuk memperbaiki mesin-mesin manufaktur ini,” ujar Ernovian Gismy, sekretaris eksekutif API.***

1 comment:

yuyun wahyuni said...


JUAL BONGKAHAN BACAN DOKO SUPER
ASLI DARI HALMAHERA SELATAN ( PULAU KASIRUTA )
BAHAN BACAN SUPER KRISTAL MALUKU UTARA.
Kondisi bahan ;.
- Bahan / rough bacan doko asli bukan sintetis.
- Bahan tua (galian lama).
- Kualitas super kristal- Sudah tembus.
- Bahan keras dan padat.
- Siap gosok poles.
- Daging utuh, tanpa kapur.
- Tidak rapuh, tidak mudah pecah / retak.
- Deskipsi sesuai apa adanya, harap diperhatikan dengan baik
Daftar harga :
1 0ns ; Rp 750.000
5.ons Rp.2.500.000
1.kg Rp 3.750.000
5 kg Rp 10.000.000
10 Kg Rp 17.500.000
15,kg Rp.20,000,000,
Melayani Pembelian Per Kilo Dan Per Ons Untuk Bongkahan
Kita Juga Melayani Pembelian Luar Daerah Dan Luar Kota
setiap pembelian perkilo dapat bonus 1 permata batu bacan dan bongkahan batu bacan ukuran kecil Origin,
untuk yg mau pesan hub ;
Hp.; 0812 4195 6724
pin : 27BD397E
adapun cara transakai,anda bisa datang langsung ke rumah kami. alamatnya di jl buana seli rt 016 rw 002,
desa/kel ;labuhan, kec ;bacan, kab ; halmahera selatan, prov ; maluku utara.
barang juga bisa kami kirim lewat jasa pengiriman tiki,jne,pos,muatan udara dan lewat kargo bandara.setelah barang
dikirim, kami akan berikan bukti resi pengirimannya.
INGAT..!!!!! HATI-HATI PENIPUAN DENGAN HARGA MURAH SALAH ORANG ANDA BISA TERTIPU.