By Wahyuana
Industri otomotif sepeda motor tak mengenal krisis. Ketika pada tahun 1998 pasar otomotif mobil terpuruk akibat krisis moneter, pasar sepeda motor tetap membukukan pertumbuhan sekitar 14% dari tahun sebelumnya. Kini, industri sepeda motor tetap tumbuh melaju. Menurut Ridwan Gunawan, Ketua AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia), target penjualan tahun ini diperkirakan akan menembus angka 5 juta unit setahun, atau tumbuh sekitar 20% dibanding tahun 2004. “Tetapi ternyata sampai bulan Juni tahun 2005 ini telah mencapai 2.463.355 unit atau tumbuh sekitar 35,4% dibanding periode yang yang tahun 2004. Jadi semoga target tercapai,” ujar Ridwan.
Dengan peningkatan ini, berarti tingkat populasi sepeda motor akan naik sekitar 33 juta kendaraan lalu lalang di jalan-jalan. Indonesia memang pasar sepeda motor ketiga terbesar di dunia. Pasar terbesar dipegang China dengan jumlah sekitar 12 juta unit per tahun, India sebesar 6,5 juta unit, dan Indonesia sebesar 5 juta unit per tahun.
Tingginya permintaan ini telah diantisipasi oleh para produsen sepeda motor. PT. Astra Honda Motor (AHM) yang memproduksi sepeda motor Honda, yang menguasai sekitar 55% pasar sepeda motor di Indonesia. Mulai bulan September 2005 ini akan meresmikan perluasan pabriknya yang ketiga di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, dengan nilai investasi sebesar US $ 100 juta. Dengan penambahan pabrik ini, Honda memproyeksikan mampu memproduksi sekitar 3 juta unit kendaraan sepeda motor tiap tahun. “Ini merupakan produsen sepeda motor terbesar di dunia,” ujar Yulian Warman, corporate secretary PT. Astra Internasional, holding Honda Astra. Produksinya juga di ekspor ke Vietnam dan Argentina.
Produsen-produsen lain pun tak mau kalah. Suzuki Indomobil merencanakan akan mendiversifikasi produk-produknya ke arah model sepeda motor bebek sport yang lebih tangguh dan multiguna. Untuk itu mereka sedang merencanakan membuat sepeda motor 150 cc dengan mesin 4 tak. Sepeda motor bermesin CC besar memang sedang menjadi trend. Sejak suksesnya pasar Suzuki Shogun R 125 yang bermesin 125 cc dan motor Honda Kharisma 125 D mulai dikeluarkan di tahun 2002. Bahkan Honda di tahun 2005 ini telah mengeluarkan produk inovasi terbaru berupa Honda Supra X-125 yang sebelumnya 110 cc. Kawasaki-pun ikut menaikkan cc dari dua produknya Kaze dan Blitz menjadi 125 cc.
Sampai saat ini ada 7 merek utama yang mengisi pasar sepeda motor, mereka bergabung bersama dalam AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia). Dari data AISI tahun 2004 menunjukkan Honda masih menjadi penguasa tunggal pasar sepeda motor dengan prosentase penguasaan lebih dari 55% atau sekitar 2.305.860 unit kendaraan. Urutan kedua ditempati Yamaha (21%), Suzuki (20%), Kawasaki (1%), Kymco (1%), dan Piaggio (0,1) (lihat Tabel).
Data penjualan sampai kuartal pertama tahun 2005 ini, Honda juga masih menguasai 53% pangsa pasar (lihat tabel), diikuti dengan Yamaha (23%), Suzuki (22%), Kawasaki (2%), Kanzen (0,1%), Kymco (0,1%) dan Piaggio (0,1).
Dari keseluruhan model sepeda motor yang terjual di pasar, sepeda motor model bebek (underbone) yang paling laku dengan menguasai sekitar 89,2% pasar. Disusul model sport 7,9% atau yang populer disebut orang Indonesia sebagai motor ‘jantan’, kemudian model bisnis 2,8% dan scooter 0,1%. Filosofi orang Indonesia memilih sepeda motor rupanya hampir sama pertimbangannya dalam memilih mobil, yang lebih suka memilih mobil keluarga seperti ‘kijang’ karena dianggap bisa untuk mengangkut orang sekeluarga, atau ‘mobil sekampung.’
Demikian juga pilihan terhadap model motor bebek (underbone) karena dianggap lebih sederhana, praktis, mudah dijalankan, dan dapat dikendarai oleh bapak, ibu, anak, --laki-laki maupun perempuan. Apalagi model-model sepeda motor sekarang lebih mudah dan modern, karena dilengkapi dengan ‘electric starter’ sehingga tinggal pencet tombil start, mesin pun sudah hidup. Transmisi jenis motor bebek ini dulu 3 speed, sekarang menjadi 4 speed dan kopling yang tinggal injak kaki, sehingga lebih praktis.
Menurut Ridwan Gunawan, ketua AISI, selama pendapatan per kapita masyarakat masih di kisaran US $ 1.000 – 2.000 maka permintaan sepeda motor akan terus meningkat. Selain itu, faktor iklim turut mendukung tingginya kebutuhan sepeda motor di Indonesia. Pada negara-negara beriklim tropis, penggunaan sepeda motor memang lebih besar dibanding negara-negara yang memiliki musim dingin, seperti di Eropa.
Dengan kondisi itu semua, tidak heran kalau penjualan sepeda motor dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kalau dilihat menurut sebaran sepeda motor di Indonesia, tampaknya konsumen membeli sepeda motor karena pertimbangan praktis mudah dikendari di jalanan. Seperti DKI Jakarta yang mengkonsumsi sekitar 17% kendaraan bermotor di Indonesia, karena dilihat lebih praktis di jalan-jalan ibukota yang lebih sering macet berjam-jam. Dengan motor yang lincah, pengendara pun dapat menempuh jarak puluhan kilometer dengan cepat dan berbahan bakar irit. Sepeda motor Honda Kharisma 125 D, terkenal sangat irit bahan bakar, 1 liter premium dapat digunakan untuk 100 kilometer. Sementara Jawa Barat termasuk Banten mengkonsumsi sebesar 12,7 % pasar sepeda motor, Jawa Tengah di luar Yogyakarta 9,8 %, Yogyakarta 4,1%, Jawa Timur 15,5%, Bali 5%, dan sisanya untuk luar Jawa-Bali.
Salah satu faktor utama bergairahnya sektor otomotif sepeda motor adalah kemudahan untuk memperoleh sepeda motor. Dengan modal Rp.500.000 saja sudah bisa memiliki sepeda motor baru dengan cara kredit. Maraknya lembaga-lembaga keuangan nonbank yang menawarkan kredit kepemilikan sepeda motor betul-betul membantu berlangsungnya industri otomotif sepeda motor. Mereka berlomba menawarkan kredit dengan suku bunga yang makin murah. Menurut data AISI sekitar 80% kepemilikan sepeda motor menggunakan jasa ini. Bisnis jasa keuangan perkreditan motor ini memang menggiurkan, omset tahun 2003 saja senilai sekitar Rp21,18 triliun dari total penjualan sepeda motor di dalam negeri yang mencapai Rp35,3 triliun.
“Industri sepeda motor di Indonesia, bisa dikatakan yang terbaik di dunia,” ujar Ridwan Gunawan. Kalau di China, meski produksinya 2,5 kali lipat dari produksi Indonesia, tetapi di China terlalu banyak produsen, sehingga tidak terjadi skala effsiensi di tingkat perusahaan, yang mampu mencipta konsentrasi industrialisasi produksi yang efektif. Sedangkan di India, meski terjadi konsentrasi yang efektif, tetapi produk-produknya pada kelas sepeda motor murah seperti scooter. Sedang di Indonesia dimana pasar 90% dikuasai Bebek, perkembangan inovasi teknologi maupun kualitas produknya telah terjadi perkembangan yang maju. “Indonesia bisa menjadi contoh tentang sukses industri sepeda motor,” ujar Ridwan Gunawan. Dengan prospek pasar yang masih besar, kemungkinan perkembangan itu semakin pesat ***
In Japanese article was published at JIEF Magazine
articles, analysis, news reporting, investigation, features, photos, hobbies, and interview with more amazing people
Thursday, August 25, 2005
Monday, August 22, 2005
Peluang Helsinki Perlu Partisipasi Luas
Oleh : *Wahyuana
Diterimanya usulan dari delegasi GAM untuk merubah strategi perjuangan mereka dari senjata ke politik, melalui pembentukan parpol lokal, telah menarik perhatian publik atas draf isi kesepahaman perundingan informal Pemerintah RI dan GAM. Capaian perundingan yang luar biasa ini, telah mengalihkan perhatian publik atas sebagian persoalan di Aceh yang seharusnya juga mendapat perhatian dalam perundingan Helsinki. Salah satunya masalah penanganan pelanggaran HAM di masa lalu yang banyak terjadi di Aceh, yang menjadi salah satu tuntutan utama dalam perjuangan sebagian besar masyarakat Aceh sejak masa reformasi. Tuntutan GAM sendiri sebenarnya hanyalah salah satu elemen dari ragam tuntutan tersebut.
Peluang Helsinki
Harapan tercapainya pondasi dari upaya-upaya perdamaian yang menyeluruh di Aceh melalui perundingan Helsinki demikian tinggi. Kedua belah pihak perunding, sedang sampai pada tahap kearifan psikologis politis yang bisa menjadi modal dasar menghasilkan kesepakatan damai yang bisa menjadi payung upaya damai menyeluruh di Aceh.
Namun dari beberapa bocoran rancangan draft kesepahaman tersebut, yang sampai sekarang masih dirahasiakan, tampaknya pasal-pasal draft kesepahaman itu nantinya akan lebih banyak berupa draft perdamaian dari sebuah konflik perang yang ditujukan untuk pengaturan kekuatan militer dalam perang, pasca penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh. Seperti kesediaan TNI untuk mengurangi pasukan dan menarik sebagian peralatan perang, demikian juga pengaturan soal GAM yang telah bersedia akan meletakkan senjata. Termasuk pemberian amnesti dan kompensasi kepada para mantan gerilyawan GAM yang menjadi tawanan perang.
Tetapi bagaimana dengan nasib para korban pelanggaran HAM masa lalu, sama sekali tak disebut dan diatur dalam draft kesepahaman tersebut. Padahal disana tak kurang dari 12.000 orang telah tewas selama masa DOM dan sebelumnya, dan ribuan orang menjadi telah menjadi janda atau yatim piatu. Sehingga suara mereka perlu juga diadopsi dalam perundingan tersebut. Perundingan Helsinki akan lebih baik lagi kalau ikut mempertimbangkan keterlibatan mereka dalam upaya damai menyeluruh tersebut. Untuk menciptakan perdamaian di Aceh yang lebih mapan dan mendapat dukungan partisipasi yang luas dari masyarakat Aceh sendiri.
Pelajaran utama dari kegagalan implementasi hasil perundingan damai melalui COHA (Cessation of Hostilities Agreement ) tahun 2002 adalah akibat tidak adanya partisipasi masyarakat Aceh secara luas dalam menyambut implementasi resolusi itu. Misalnya dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat, tokoh LSM, politisi lokal, pejabat pemerintahan lokal, dan anak-anak muda kritis yang tergabung dalam SIRA yang sebagian dari mereka telah turut merasakan penjara atas aktivitas politiknya, sebagai bagian dari aktor-aktor perdamaian di Aceh. Implementasi COHA hanya menjadi soal elit para pejabat militer TNI, GAM dan para pemantau lapangan yang dikoordinasikan HDC (Henry Dunant Center). Namun tidak mampu menjadi semangat menyelesaikan konflik dari keseluruhan masyarakat di Aceh. Sehingga, alih-alih menjadi simpul-simpul perdamaian, masyarakat sipil Aceh malah menjadi bagian dari eksploitasi politis dari pihak-pihak bertikai, yang menggiring mereka dalam forum-forum pidato kampanye politik yang memprovokasi terciptanya konflik baru.
Prinsip-prinsip resolusi damai telah berkembang jauh. Upaya penghentian konflik selain mengeliminasi aktor kekerasan dan potensi tindak kekerasan, perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek keadilan dari masyarakat sipil yang biasanya menjadi korban paling menyedihkan dari peristiwa konflik di wilayah itu.
Menjelang ditandatanganinya hasil-hasil perundingan Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 nanti, saat ini masih ada waktu untuk mempertimbangkan pemenuhan aspek-aspek keadilan bagi kemanusiaan masyarakat sipil Aceh secara luas dan menyeluruh, dengan turut melibatkan mereka dalam komitmen perdamaian Aceh melalui draf resolusi Helsinki. Misalnya, dengan pengaturan akan pemberian kompensasi bagi para semua korban konflik di Aceh dari tahun-tahun sebelum masa darurat militer dan darurat sipil. Keluarga-keluarga masyarakat sipil korban konflik ini, rata-rata tidak mempunyai tuntutan politis dari konflik yang tengah berkecamuk, sehingga kompensasi politik berupa pembentukan partai lokal, sebenarnya sama sekali tak menarik perhatian utama mereka. Mereka lebih membutuhkan kompensasi material yang amat dibutuhkan di Aceh pasca tsunami.
Inisiator perundingan, Wakil Presiden Yusuf Kalla sendiri menilai perundingan Helsinki sebagai upaya damai dari sesama saudara sendiri terhadap masalah domestik, dan menolak klaim telah terjadi internasionalisasi konflik Aceh dalam resolusi Helsinki. Sebagai resolusi konflik sesama saudara agar lebih efektif perlu diperluas partisipasi dari masyarakat Aceh dalam upaya penyelesaian ini. Apalagi kecenderungan terakhir di lapangan mulai terbentuk organisasi-organisasi lokal pro kekerasan yang anti GAM dan berciri organisasi paramiliter, yang punya potensi mengganggu implementasi hasil-hasil perundingan Helsinki, sehingga perlu pula diikutsertakan.
Tsunami dan Damai
Hasil perundingan damai di Helsinki mendapat perhatian yang besar dari masyarakat internasional. Uni Eropa sejak awal sudah menyatakan akan mengirimkan tim pemantau untuk memonitor implementasi hasil perundingan Helsinki di lapangan. Mereka menjadi tim terbesar dari sekitar 600 anggota AMM ( Aceh Monitoring Mission) bersama dengan tim dari sejumlah negara ASEAN. Kehadiran tim monitoring ini amat perlu dan sudah menjadi keharusan kelengkapan dalam upaya-upaya penghentian konflik. Merekalah yang akan menjadi wasit jika pihak-pihak bersengketa di Aceh, terutama pihak pemegang senjata seperti TNI dan GAM, kalau melakukan tindakan pelanggaran dalam implementasi hasil perundingan di lapangan.
Namun melihat kompleksnya permasalahan di Aceh, ada baiknya kalau pemerintah juga membuka partisipasi yang lebih luas bagi lembaga-lembaga otonom lain di Indonesia untuk turut berperan selaku pemantau implementasi kesepahaman damai ini. Seperti misalnya, organisasi masyarakat besar seperti NU dan Muhammadiyah turut mengirimkan tim monitoring kesepakatan damai ini, sebagai bagian dari institusi-institusi independen yang punya perhatian terhadap proses damai di Aceh.
Peran pemantau sebenarnya tidak hanya mengawasi implementasi di lapangan, namun yang lebih utama adalah mensosialisasikan hasil-hasil perundingan upaya damai ke tengah masyarakat lokal, dan menjadi fasilitator pelaksanaanya dalam skala yang lebih kecil. Pengalaman semasa COHA, sosialisasi kesepakatan damai yang dilakukan pihak-pihak bersengketa ke masyarakat secara langsung, sangat rawan terhadap manipulasi hasil-hasil kesepakatan yang multi interpretasi. Organisasi-orgainisasi sipil dan kemanusiaan lain dari Indonesia sendiri sebaiknya juga dilibatkan dan diberi keleluasaan untuk berpartisipasi dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh ini. Sehingga program resolusi damai dalam konflik di Aceh tak sekedar menjadi urusan dari GAM dan Pemerintah RI, tetapi melibatkan partisipasi banyak pihak dengan melalui banyak jalur ( multi tracks) dan banyak pendekatan.
Perundingan Helsinki sangat menentukan masa depan Aceh. Wilayah konflik paling buruk di Asia, yang telah terkena bencana tsunami dengan korban 130 ribu orang tewas. Dalam upaya rehabilitasi pasca tsunami, para negara donor melampirkan syarat akan mengucurkan bantuan jika ada jaminan keamanan dan perdamaian di Aceh. Sekarang menjadi momentum bagi masyarakat Aceh sendiri untuk memanfaatkan kesempatan Helsinki. Keseriusan pihak-pihak GAM dan masyarakat Aceh dalam pelaksanaan kesepahaman damai ini akan sangat menentukan kelancaran bantuan untuk rehabilitasi Aceh pasca tsunami.***
*Wahyuana, wartawan, pernah berkerja dalam program media untuk transformasi konflik di Maluku dan Poso, pendiri Maluku Media Center (MMC).
Diterimanya usulan dari delegasi GAM untuk merubah strategi perjuangan mereka dari senjata ke politik, melalui pembentukan parpol lokal, telah menarik perhatian publik atas draf isi kesepahaman perundingan informal Pemerintah RI dan GAM. Capaian perundingan yang luar biasa ini, telah mengalihkan perhatian publik atas sebagian persoalan di Aceh yang seharusnya juga mendapat perhatian dalam perundingan Helsinki. Salah satunya masalah penanganan pelanggaran HAM di masa lalu yang banyak terjadi di Aceh, yang menjadi salah satu tuntutan utama dalam perjuangan sebagian besar masyarakat Aceh sejak masa reformasi. Tuntutan GAM sendiri sebenarnya hanyalah salah satu elemen dari ragam tuntutan tersebut.
Peluang Helsinki
Harapan tercapainya pondasi dari upaya-upaya perdamaian yang menyeluruh di Aceh melalui perundingan Helsinki demikian tinggi. Kedua belah pihak perunding, sedang sampai pada tahap kearifan psikologis politis yang bisa menjadi modal dasar menghasilkan kesepakatan damai yang bisa menjadi payung upaya damai menyeluruh di Aceh.
Namun dari beberapa bocoran rancangan draft kesepahaman tersebut, yang sampai sekarang masih dirahasiakan, tampaknya pasal-pasal draft kesepahaman itu nantinya akan lebih banyak berupa draft perdamaian dari sebuah konflik perang yang ditujukan untuk pengaturan kekuatan militer dalam perang, pasca penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh. Seperti kesediaan TNI untuk mengurangi pasukan dan menarik sebagian peralatan perang, demikian juga pengaturan soal GAM yang telah bersedia akan meletakkan senjata. Termasuk pemberian amnesti dan kompensasi kepada para mantan gerilyawan GAM yang menjadi tawanan perang.
Tetapi bagaimana dengan nasib para korban pelanggaran HAM masa lalu, sama sekali tak disebut dan diatur dalam draft kesepahaman tersebut. Padahal disana tak kurang dari 12.000 orang telah tewas selama masa DOM dan sebelumnya, dan ribuan orang menjadi telah menjadi janda atau yatim piatu. Sehingga suara mereka perlu juga diadopsi dalam perundingan tersebut. Perundingan Helsinki akan lebih baik lagi kalau ikut mempertimbangkan keterlibatan mereka dalam upaya damai menyeluruh tersebut. Untuk menciptakan perdamaian di Aceh yang lebih mapan dan mendapat dukungan partisipasi yang luas dari masyarakat Aceh sendiri.
Pelajaran utama dari kegagalan implementasi hasil perundingan damai melalui COHA (Cessation of Hostilities Agreement ) tahun 2002 adalah akibat tidak adanya partisipasi masyarakat Aceh secara luas dalam menyambut implementasi resolusi itu. Misalnya dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat, tokoh LSM, politisi lokal, pejabat pemerintahan lokal, dan anak-anak muda kritis yang tergabung dalam SIRA yang sebagian dari mereka telah turut merasakan penjara atas aktivitas politiknya, sebagai bagian dari aktor-aktor perdamaian di Aceh. Implementasi COHA hanya menjadi soal elit para pejabat militer TNI, GAM dan para pemantau lapangan yang dikoordinasikan HDC (Henry Dunant Center). Namun tidak mampu menjadi semangat menyelesaikan konflik dari keseluruhan masyarakat di Aceh. Sehingga, alih-alih menjadi simpul-simpul perdamaian, masyarakat sipil Aceh malah menjadi bagian dari eksploitasi politis dari pihak-pihak bertikai, yang menggiring mereka dalam forum-forum pidato kampanye politik yang memprovokasi terciptanya konflik baru.
Prinsip-prinsip resolusi damai telah berkembang jauh. Upaya penghentian konflik selain mengeliminasi aktor kekerasan dan potensi tindak kekerasan, perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek keadilan dari masyarakat sipil yang biasanya menjadi korban paling menyedihkan dari peristiwa konflik di wilayah itu.
Menjelang ditandatanganinya hasil-hasil perundingan Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 nanti, saat ini masih ada waktu untuk mempertimbangkan pemenuhan aspek-aspek keadilan bagi kemanusiaan masyarakat sipil Aceh secara luas dan menyeluruh, dengan turut melibatkan mereka dalam komitmen perdamaian Aceh melalui draf resolusi Helsinki. Misalnya, dengan pengaturan akan pemberian kompensasi bagi para semua korban konflik di Aceh dari tahun-tahun sebelum masa darurat militer dan darurat sipil. Keluarga-keluarga masyarakat sipil korban konflik ini, rata-rata tidak mempunyai tuntutan politis dari konflik yang tengah berkecamuk, sehingga kompensasi politik berupa pembentukan partai lokal, sebenarnya sama sekali tak menarik perhatian utama mereka. Mereka lebih membutuhkan kompensasi material yang amat dibutuhkan di Aceh pasca tsunami.
Inisiator perundingan, Wakil Presiden Yusuf Kalla sendiri menilai perundingan Helsinki sebagai upaya damai dari sesama saudara sendiri terhadap masalah domestik, dan menolak klaim telah terjadi internasionalisasi konflik Aceh dalam resolusi Helsinki. Sebagai resolusi konflik sesama saudara agar lebih efektif perlu diperluas partisipasi dari masyarakat Aceh dalam upaya penyelesaian ini. Apalagi kecenderungan terakhir di lapangan mulai terbentuk organisasi-organisasi lokal pro kekerasan yang anti GAM dan berciri organisasi paramiliter, yang punya potensi mengganggu implementasi hasil-hasil perundingan Helsinki, sehingga perlu pula diikutsertakan.
Tsunami dan Damai
Hasil perundingan damai di Helsinki mendapat perhatian yang besar dari masyarakat internasional. Uni Eropa sejak awal sudah menyatakan akan mengirimkan tim pemantau untuk memonitor implementasi hasil perundingan Helsinki di lapangan. Mereka menjadi tim terbesar dari sekitar 600 anggota AMM ( Aceh Monitoring Mission) bersama dengan tim dari sejumlah negara ASEAN. Kehadiran tim monitoring ini amat perlu dan sudah menjadi keharusan kelengkapan dalam upaya-upaya penghentian konflik. Merekalah yang akan menjadi wasit jika pihak-pihak bersengketa di Aceh, terutama pihak pemegang senjata seperti TNI dan GAM, kalau melakukan tindakan pelanggaran dalam implementasi hasil perundingan di lapangan.
Namun melihat kompleksnya permasalahan di Aceh, ada baiknya kalau pemerintah juga membuka partisipasi yang lebih luas bagi lembaga-lembaga otonom lain di Indonesia untuk turut berperan selaku pemantau implementasi kesepahaman damai ini. Seperti misalnya, organisasi masyarakat besar seperti NU dan Muhammadiyah turut mengirimkan tim monitoring kesepakatan damai ini, sebagai bagian dari institusi-institusi independen yang punya perhatian terhadap proses damai di Aceh.
Peran pemantau sebenarnya tidak hanya mengawasi implementasi di lapangan, namun yang lebih utama adalah mensosialisasikan hasil-hasil perundingan upaya damai ke tengah masyarakat lokal, dan menjadi fasilitator pelaksanaanya dalam skala yang lebih kecil. Pengalaman semasa COHA, sosialisasi kesepakatan damai yang dilakukan pihak-pihak bersengketa ke masyarakat secara langsung, sangat rawan terhadap manipulasi hasil-hasil kesepakatan yang multi interpretasi. Organisasi-orgainisasi sipil dan kemanusiaan lain dari Indonesia sendiri sebaiknya juga dilibatkan dan diberi keleluasaan untuk berpartisipasi dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh ini. Sehingga program resolusi damai dalam konflik di Aceh tak sekedar menjadi urusan dari GAM dan Pemerintah RI, tetapi melibatkan partisipasi banyak pihak dengan melalui banyak jalur ( multi tracks) dan banyak pendekatan.
Perundingan Helsinki sangat menentukan masa depan Aceh. Wilayah konflik paling buruk di Asia, yang telah terkena bencana tsunami dengan korban 130 ribu orang tewas. Dalam upaya rehabilitasi pasca tsunami, para negara donor melampirkan syarat akan mengucurkan bantuan jika ada jaminan keamanan dan perdamaian di Aceh. Sekarang menjadi momentum bagi masyarakat Aceh sendiri untuk memanfaatkan kesempatan Helsinki. Keseriusan pihak-pihak GAM dan masyarakat Aceh dalam pelaksanaan kesepahaman damai ini akan sangat menentukan kelancaran bantuan untuk rehabilitasi Aceh pasca tsunami.***
*Wahyuana, wartawan, pernah berkerja dalam program media untuk transformasi konflik di Maluku dan Poso, pendiri Maluku Media Center (MMC).
Subscribe to:
Posts (Atom)