Monday, August 22, 2005

Peluang Helsinki Perlu Partisipasi Luas

Oleh : *Wahyuana

Diterimanya usulan dari delegasi GAM untuk merubah strategi perjuangan mereka dari senjata ke politik, melalui pembentukan parpol lokal, telah menarik perhatian publik atas draf isi kesepahaman perundingan informal Pemerintah RI dan GAM. Capaian perundingan yang luar biasa ini, telah mengalihkan perhatian publik atas sebagian persoalan di Aceh yang seharusnya juga mendapat perhatian dalam perundingan Helsinki. Salah satunya masalah penanganan pelanggaran HAM di masa lalu yang banyak terjadi di Aceh, yang menjadi salah satu tuntutan utama dalam perjuangan sebagian besar masyarakat Aceh sejak masa reformasi. Tuntutan GAM sendiri sebenarnya hanyalah salah satu elemen dari ragam tuntutan tersebut.

Peluang Helsinki
Harapan tercapainya pondasi dari upaya-upaya perdamaian yang menyeluruh di Aceh melalui perundingan Helsinki demikian tinggi. Kedua belah pihak perunding, sedang sampai pada tahap kearifan psikologis politis yang bisa menjadi modal dasar menghasilkan kesepakatan damai yang bisa menjadi payung upaya damai menyeluruh di Aceh.
Namun dari beberapa bocoran rancangan draft kesepahaman tersebut, yang sampai sekarang masih dirahasiakan, tampaknya pasal-pasal draft kesepahaman itu nantinya akan lebih banyak berupa draft perdamaian dari sebuah konflik perang yang ditujukan untuk pengaturan kekuatan militer dalam perang, pasca penerapan darurat militer dan darurat sipil di Aceh. Seperti kesediaan TNI untuk mengurangi pasukan dan menarik sebagian peralatan perang, demikian juga pengaturan soal GAM yang telah bersedia akan meletakkan senjata. Termasuk pemberian amnesti dan kompensasi kepada para mantan gerilyawan GAM yang menjadi tawanan perang.
Tetapi bagaimana dengan nasib para korban pelanggaran HAM masa lalu, sama sekali tak disebut dan diatur dalam draft kesepahaman tersebut. Padahal disana tak kurang dari 12.000 orang telah tewas selama masa DOM dan sebelumnya, dan ribuan orang menjadi telah menjadi janda atau yatim piatu. Sehingga suara mereka perlu juga diadopsi dalam perundingan tersebut. Perundingan Helsinki akan lebih baik lagi kalau ikut mempertimbangkan keterlibatan mereka dalam upaya damai menyeluruh tersebut. Untuk menciptakan perdamaian di Aceh yang lebih mapan dan mendapat dukungan partisipasi yang luas dari masyarakat Aceh sendiri.
Pelajaran utama dari kegagalan implementasi hasil perundingan damai melalui COHA (Cessation of Hostilities Agreement ) tahun 2002 adalah akibat tidak adanya partisipasi masyarakat Aceh secara luas dalam menyambut implementasi resolusi itu. Misalnya dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat, tokoh LSM, politisi lokal, pejabat pemerintahan lokal, dan anak-anak muda kritis yang tergabung dalam SIRA yang sebagian dari mereka telah turut merasakan penjara atas aktivitas politiknya, sebagai bagian dari aktor-aktor perdamaian di Aceh. Implementasi COHA hanya menjadi soal elit para pejabat militer TNI, GAM dan para pemantau lapangan yang dikoordinasikan HDC (Henry Dunant Center). Namun tidak mampu menjadi semangat menyelesaikan konflik dari keseluruhan masyarakat di Aceh. Sehingga, alih-alih menjadi simpul-simpul perdamaian, masyarakat sipil Aceh malah menjadi bagian dari eksploitasi politis dari pihak-pihak bertikai, yang menggiring mereka dalam forum-forum pidato kampanye politik yang memprovokasi terciptanya konflik baru.
Prinsip-prinsip resolusi damai telah berkembang jauh. Upaya penghentian konflik selain mengeliminasi aktor kekerasan dan potensi tindak kekerasan, perlu juga mempertimbangkan aspek-aspek keadilan dari masyarakat sipil yang biasanya menjadi korban paling menyedihkan dari peristiwa konflik di wilayah itu.
Menjelang ditandatanganinya hasil-hasil perundingan Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 nanti, saat ini masih ada waktu untuk mempertimbangkan pemenuhan aspek-aspek keadilan bagi kemanusiaan masyarakat sipil Aceh secara luas dan menyeluruh, dengan turut melibatkan mereka dalam komitmen perdamaian Aceh melalui draf resolusi Helsinki. Misalnya, dengan pengaturan akan pemberian kompensasi bagi para semua korban konflik di Aceh dari tahun-tahun sebelum masa darurat militer dan darurat sipil. Keluarga-keluarga masyarakat sipil korban konflik ini, rata-rata tidak mempunyai tuntutan politis dari konflik yang tengah berkecamuk, sehingga kompensasi politik berupa pembentukan partai lokal, sebenarnya sama sekali tak menarik perhatian utama mereka. Mereka lebih membutuhkan kompensasi material yang amat dibutuhkan di Aceh pasca tsunami.
Inisiator perundingan, Wakil Presiden Yusuf Kalla sendiri menilai perundingan Helsinki sebagai upaya damai dari sesama saudara sendiri terhadap masalah domestik, dan menolak klaim telah terjadi internasionalisasi konflik Aceh dalam resolusi Helsinki. Sebagai resolusi konflik sesama saudara agar lebih efektif perlu diperluas partisipasi dari masyarakat Aceh dalam upaya penyelesaian ini. Apalagi kecenderungan terakhir di lapangan mulai terbentuk organisasi-organisasi lokal pro kekerasan yang anti GAM dan berciri organisasi paramiliter, yang punya potensi mengganggu implementasi hasil-hasil perundingan Helsinki, sehingga perlu pula diikutsertakan.

Tsunami dan Damai
Hasil perundingan damai di Helsinki mendapat perhatian yang besar dari masyarakat internasional. Uni Eropa sejak awal sudah menyatakan akan mengirimkan tim pemantau untuk memonitor implementasi hasil perundingan Helsinki di lapangan. Mereka menjadi tim terbesar dari sekitar 600 anggota AMM ( Aceh Monitoring Mission) bersama dengan tim dari sejumlah negara ASEAN. Kehadiran tim monitoring ini amat perlu dan sudah menjadi keharusan kelengkapan dalam upaya-upaya penghentian konflik. Merekalah yang akan menjadi wasit jika pihak-pihak bersengketa di Aceh, terutama pihak pemegang senjata seperti TNI dan GAM, kalau melakukan tindakan pelanggaran dalam implementasi hasil perundingan di lapangan.
Namun melihat kompleksnya permasalahan di Aceh, ada baiknya kalau pemerintah juga membuka partisipasi yang lebih luas bagi lembaga-lembaga otonom lain di Indonesia untuk turut berperan selaku pemantau implementasi kesepahaman damai ini. Seperti misalnya, organisasi masyarakat besar seperti NU dan Muhammadiyah turut mengirimkan tim monitoring kesepakatan damai ini, sebagai bagian dari institusi-institusi independen yang punya perhatian terhadap proses damai di Aceh.
Peran pemantau sebenarnya tidak hanya mengawasi implementasi di lapangan, namun yang lebih utama adalah mensosialisasikan hasil-hasil perundingan upaya damai ke tengah masyarakat lokal, dan menjadi fasilitator pelaksanaanya dalam skala yang lebih kecil. Pengalaman semasa COHA, sosialisasi kesepakatan damai yang dilakukan pihak-pihak bersengketa ke masyarakat secara langsung, sangat rawan terhadap manipulasi hasil-hasil kesepakatan yang multi interpretasi. Organisasi-orgainisasi sipil dan kemanusiaan lain dari Indonesia sendiri sebaiknya juga dilibatkan dan diberi keleluasaan untuk berpartisipasi dalam upaya penyelesaian konflik di Aceh ini. Sehingga program resolusi damai dalam konflik di Aceh tak sekedar menjadi urusan dari GAM dan Pemerintah RI, tetapi melibatkan partisipasi banyak pihak dengan melalui banyak jalur ( multi tracks) dan banyak pendekatan.
Perundingan Helsinki sangat menentukan masa depan Aceh. Wilayah konflik paling buruk di Asia, yang telah terkena bencana tsunami dengan korban 130 ribu orang tewas. Dalam upaya rehabilitasi pasca tsunami, para negara donor melampirkan syarat akan mengucurkan bantuan jika ada jaminan keamanan dan perdamaian di Aceh. Sekarang menjadi momentum bagi masyarakat Aceh sendiri untuk memanfaatkan kesempatan Helsinki. Keseriusan pihak-pihak GAM dan masyarakat Aceh dalam pelaksanaan kesepahaman damai ini akan sangat menentukan kelancaran bantuan untuk rehabilitasi Aceh pasca tsunami.***

*Wahyuana, wartawan, pernah berkerja dalam program media untuk transformasi konflik di Maluku dan Poso, pendiri Maluku Media Center (MMC).

No comments: