Tuesday, February 14, 2006

Di Srilanka Rekonstruksi Berlangsung Lebih Cepat daripada di Aceh dan Nias



Oleh: Wahyuana*

Monday, 06 February 2006
Di Srilanka proses rekonstruksi dan rehabilitasi tsunami berlangsung lebih cepat. Memang tingkat kerusakannya tidak seberapa dibandingkan di Aceh dan Nias, tapi diperkirakan sampai pertengahan tahun 2006 ini, program perumahan bagi 102 ribu pengungsi sudah tuntas.


W.J. Weerasekara (75), memasang spanduk besar bertuliskan Come Please Come and Help Us to Survive (Mari Kunjungi dan Bantu Kehidupan Kami) diatas tumpukan reruntuhan rumahnya yang terhantam tsunami setahun lalu, di pinggiran jalan Galle Road, di Desa Peraliya, Telwatta, Srilanka Selatan. Spanduk besar itu tampak mencolok ditengah-tengah hamparan reruntuhan ratusan rumah di Peraliya. Sejak menjadi pengungsi, dia mengaku belum pernah mendapat sentuhan bantuan dari pemerintah maupun NGO.

Dia memasang spanduk mencolok, untuk menarik perhatian turis asing yang banyak lalu lalang di sepanjang Galle Road, jalan yang menghubungkan kota Colombo menuju kota turis Galle yang terkenal. Satu, dua orang lewat yang punya perhatian, kadang mampir ke rumahnya, mengajaknya mengobrol, mendengarkan cerita tentang pengalamannya terkena bencana tsunami, lantas memberinya sejumlah bantuan simpati.

Bersama saudara perempuannya, dua keponakan, dan seorang anaknya, weerasekara membangun rumah mengungsi sementara, berupa rumah kayu ukuran 3x3 meter dengan atap dari rangkaian daun pohon kelapa. Rumah mungil itu berdiri sekitar 4 meter di samping reruntuhan rumahnya. Dia menolak bantuan rumah tenda kanvas yang diberikan oleh NGO karena dirasa panas dan bikin gerah. Ia lebih memilih mendirikan sendiri rumah pemukiman sementaranya itu dari kayu. Untuk keperluan memasak dia membuat dapur kecil di samping rumah, dilengkapi sebuah drum penampung air bersih. Tak ada perabotan di dalam rumah kayunya itu, hanya sejumlah tikar dan almari pakaian.

“Saya belum tahu sampai kapan akan hidup begini,” ujar Weerasekara, pensiunan pegawai pemerintah. Dia masih terpukul atas kepergian istri dan seorang anaknya, yang hilang tertelan gelombang tsunami.

Sekitar 250 keluarga lain di Peraliya mempunyai nasib yang sama dengan Weerasekara. Setahun pasca tsunami mereka masih mendiami rumah-rumah pengungsi sementara. Mereka hendak kembali membangun rumahnya yang sudah hancur, tetapi terkena peraturan baru, berupa larangan pemukiman di area 100-200 meter zona penyangga pantai (buffer zona). Sementara pembangunan bantuan rumah permanen baru yang dijanjikan badan otoritas rehabilitasi bencana tsunami Srilanka (TAFREN) belum juga selesai.

Seperti di Aceh dan Nias, rumah menjadi masalah kebutuhan paling mendesak bagi pengungsi tsunami Srilanka. Dan tak semua pengungsi mengalami nasib sama. Memang ada yang sudah menerima bantuan rumah permanen. Tetapi seperti Weerasekara, diperkirakan sekitar 93.000 orang pengungsi di seluruh Srilanka, masih mendiami kamp-kamp pengungsi sementara.

Keluarga Senda Handi Siripala (45) misalnya, ia baru akan memperoleh rumah beberapa bulan kedepan. Ia bersama 31 keluarga lain tinggal di kamp pengungsi di Desa Madampagama, Kulegoda, District Galle, tak jauh dari desa Peraliya. Dulu ia berprofesi sebagai nelayan tetapi kini sehari-hari bekerja sebagai buruh nelayan, dengan penghasilan sekitar 500 rupee (sekitar Rp 50 ribu) sekali ikut berlayar. Dalam sebulan ia ikut rata-rata delapan kali berlayar.

Hidupnya Senda sangat sederhana, tinggal bersama 5 anggota keluarganya di bawah rumah kayu mungil. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi anak-anaknya yang masih kecil ia amat tergantung pada program bantuan pengungsi sebesar 375 rupee (sekitar Rp 37,5 ribu) yang diberikan per minggu, per keluarga pengungsi, oleh badan pemerintah pelaksana atau NGO.
“Kabarnya kami akan mendapat rumah permanen pada akhir Pebruari 2006 nanti di Galagoda, sekitar 2 kilometer dari sini. Rumahnya sedang dibangun, bantuan dari Korea Selatan Estate,” ujar Senda Handi Siripala.

Srilanka merupakan negara kedua terparah terkena bencana tsunami setelah Indonesia. Data dari TAFREN (the Task Force for Rebuilding the Nations) jumlah korban bencana tsunami di Srilanka mencapai 35.322 orang meninggal dan hilang, 21.441 luka-luka, dan sekitar 516.150 orang jadi pengungsi. Selain itu, sekitar 108.000 rumah rusak, 17.000 perahu rusak, dan berbagai sarana pendidikan, kesehatan, dan sosial hancur. Negara ini juga terpukul berat karena karena infrastruktur industri pariwisata --yang merupakan industri andalan Srilanka, juga tak luput dari terjangan tsunami. Hotel, tempat wisata, restoran, café, motel, rel kereta api, jalan dan jembatan luluh lantak.

Proses recovery tsunami di Srilanka sampai akhir Desember 2005, menurut laporan TAFREN, telah mampu menyelesaikan 95 persen pembangunan kebutuhan pemukiman sementara (temporary shelter). Artinya, sebagian besar kebutuhan dasar para pengungsi telah tertangani. Sedang program pembangunan rumah permanen sampai akhir tahun 2005 terselesaikan sekitar 23.800 rumah, dan 15 ribu rumah sedang dalam pengerjaan yang diperkirakan akan selesai pada pertengahan tahun ini. Coba bandingkan dengan kapasitas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang dalam setahun programnya baru membangun sekitar 16 ribu rumah di Aceh.

“Pemerintah berharap, seluruh program pembangunan perumahan bagi pengungsi tsunami sudah akan bisa selesai sampai akhir Juli tahun depan (2006),” ujar Menteri Pertanian, Chamal Rajapakse, dalam acara peresmian kompleks perumahan tsunami di Rideegama, Ambalantota, 28 Desember 2005.

Pemberian bantuan rumah permanen di Srilanka lebih diprioritaskan bagi pengungsi tsunami yang rumahnya tidak bisa ditempati lagi. Rumah-rumah yang telah hancur itu berasa di area larangan pemukiman di zona 100 meter kawasan penyangga pantai untuk wilayah propinsi Srilanka Selatan, dan 200 meter penyangga pantai di propinsi Srilanka Utara dan Timur Srilanka. Diperkirakan butuh sekitar 49 ribu rumah baru.

Sementara itu, bagi para pengungsi yang rumahnya berada di luar zona penyangga, TAFREN mempercepat proses rekonstruksi perumahan melalui program pemberian bantuan keuangan langsung untuk biaya perbaikan rumah (Homeowner Driven Housing Reconstruction Programme). Besarnya sekitar 250 ribu rupee (sekitar Rp 25 juta) per rumah/keluarga untuk rumah yang rusak total, atau uang sekitar 100 ribu rupee (Rp 10 juta) per keluarga yang rumahnya mengalami rusak sebagian.

Menurut laporan akhir tahun 2006 TAFREN, yang mulai akhir bulan Januari 2006 ini akan berganti nama menjadi RADA (Reconstruction and Development Agency), sekitar 53.976 keluarga telah mengambil uang program (cash program) perbaikan rumah ini, yang untuk tahap pertama diberikan senilai 50 ribu rupee (Rp 5 juta) per keluarga. Sampai saat ini program telah berjalan sampai empat tahap pembayaran.


Kontribusi Swasta

Srilanka mempunyai sejarah kolonialisme yang hampir sama dengan Indonesia. Pada awal abad 16 mula-mula dijajah oleh Portugis. Selanjutnya, ratusan tahun kemudian ada di bawah kekuasaan VOC-Belanda lalu ke tangan Inggris. Pada 1948 negara ini merdekaan dari tangan Inggris.

Sejak dulu sampai sekarang mayoritas penduduk Srilanka beragama Budha. Masyarakat Srilanka tampak lebih terbuka dalam berhubungan dengan bantuan. Ini agak berbeda dengan program bantuan di Aceh, yang kadang-kadang berhembus isu-isu kecurigaan ada maksud tersembunyi di balik bantuan. Sering muncul kecurigaan ada maksud-maksud politis, penyebaran agama, nasionalisme, atau bantuan bagi separatisme di balik pemberian bantuan.

Di Srilanka, masyarakat tampak senang dibantu, bahkan tak jarang vihara atau kuil tempat ibadah dibangun atas bantuan dana dari luar. Sebuah vihara besar di Distrik Matara, Srilanka Selatan, misalnya, dibangun atas bantuan pemerintah Norwegia. Sebuah tempat ibadah lainnya di Ambalantota, dibangun kembali dari keruntuhan akibat tsunami atas bantuan masyarakat Ingris, bahkan peresmiannya dihadiri langsung salah satu Uskup Gereja Anglikan dari Ingris.

Yang juga menonjol di Srilanka, proses rekonstruksi dan rehabilitasi tsunami tak hanya melibatkan lembaga-lembaga pemerintah, lembaga keuangan internasional, NGO internasional dan lokal saja. Tidak kalah menonjol, kalangan swasta secara nyata menunjukkan kontribusinya dalam proses rekonstruksi tsunami.

Perusahaan minuman ringan Coca Cola misalnya, membangun 100 rumah dan sejumlah sekolah di Galle, Srilanka selatan. Bantuan itu juga mencakup pemenuhan kebutuhan seragam sekolah dan perlengkapan penunjang pendidikan. Sementara perusahaan rokok Ceylon Tobacco menyumbangkan 70 rumah seharga 800 ribu rupee (Rp 80 juta) per rumah di Unawatuna, Srilanka Timur.

Tak semua perusahaan menyumbang dalam jumlah besar, ada juga yang kecil. Misalnya saja, perusahaan provider internet dan software Ret Hat hanya menyumbang tujuh rumah di Negombo. Demikian juga perusahaan media Daily Mail terbitan London membangunkan sejumlah rumah buat pengungsi tsunami di Srilanka Selatan. Meskipun hanya kecil, namun bantuan itu jelas dan nyata dan bisa bermanfaat bagi korban.

Pemerintah Srilanka memang melonggarkan birokrasi bagi para donatur yang ingin memberikan bantuan langsung pada masyarakat korban. Mereka pun mendapatkan akses luas untuk mendapatkan sasaran yang diinginkannya. Donatur yang ingin memberikan bantuan pembangunan sarana fisik seperti rumah, sekolah, atau rumah sakit tinggal melapor ke TAFREN. Selanjutnya pemerintah tingkat kabupaten di mana proyek bantuan akan diberikan, akan menindaklanjuti dengan membantu menyediakan lahan pembangunan secara gratis. Bahkan pemda juga akan memngusahakan bahan material bangunan dan pelaksana kontraktor lokal.

Kalau pembangunan proyek sudah selesai, donatur tinggal memilih siapa pejabat tinggi yang akan diminta meresmikan proyeknya. Bisa menteri, presiden, atau sekadar gubernur. Pemerintah lokal akan membantu pelaksanaan agenda seremonialnya dengan mengundangnya dan menyiapkan acara peresmian itu. Cara ini ternyata mampu menjamin akuntabilitas uang yang disalurkan donatur sekaligus melibatkan pemda.

Bagi penyumbang yang ingin mengecek kemana wujud bantuan disalurkan, mereka dapat mengeceknya langsung di lapangan. “Cara ini juga untuk menghindarkan munculnya kecenderungan korupsi dalam lembaga penyalur bantuan seperti institusi TAFREN,” ujar Anand Seneviratne, seorang wartawan senior Srilanka yang bekerja untuk jaringan televisi Young Asia yang ditemui penulis.

Sementara itu, seorang staf diplomat Indonesia yang sudah bertahun-tahun berdinas di kedutaan Indonesia di Colombo, yang tidak mau disebut namanya, berujar ke penulis, ”Masyarakat di sini senang kalau mendapat bantuan. Kalau diundang ke acara peresmian kadang kita sering digodain, kapan giliran Indonesia menyumbang nih.”

Bagi yang pengungsi yang beruntung, rumah permanen bantuan tak selalu hanya berupa rumah sederhana. Di beberapa tempat, korban tsunami mendapatkan rumah baru bantuan yang cukup mewah. Di Pelena misalnya. Di kawasan Weliagama, distrik Matara, Srilanka Selatan, sekitar 500 keluarga pengungsi tsunami mendapat rumah permanen bantuan dari pemerintah Belgia, Italia dan Swiss. Pembangunannya lewat program TAFREN.

Rumah bantuaun tersebut berupa bangunhan 2 lantai, dengan lantai keramik lengkap dengan perabotan rumkha tangga. Ada toilet, dapur beserta perangkat memasak, meja kursi tamu, dua kamar tidur beserta ranjangnya, pompa air dengan tangki penampung air, dan jaringan listrik. Satu unit rumah bantuan itu berharga sekitar 600 rupee (sekitar Rp 60 juta). Komplek perumahan itu juga dilengkapi dengan balai pertemuan komunitas beserta sarana bermain anak-anak.

B. Munisire (43) seorang nelayan yang tinggal bersama seorang anak, orangtua, dan keluarga kakaknya di kompleks perumahan tsunami Pelena itu, tidak bisa menyimpan rasa gembiranya mendapat rumah baru itu. ”Dulu saya tinggal di dekat pantai, sudah habis ditelan tsunami, sembilan bulan hidup di pengungsian. Sejak November 2005 lalu pindah ke sini. Rumahnya bagus ya,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

Damai Tak Kunjung Tiba di Utara

Lain di Aceh, lain pula di Srilanka. Di Aceh, tsunami telah mendorong ditempuhnya resolusi damai dalam penyelesaian konflik separatisme antara GAM dan pemerintah Indonesia. Proses damai ini amat membantu menopang proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami.

Konflik bersenjata yang telah berkepanjangan juga terjadi di Srilanka bagian Utara. Pemerintah melawan gerilyawan Tamil. Namun, terjangan tsunami belum mampu mengakhiri konflik itu. Bahkan semenjak suksesnya pemilu demokratis bulan Nopember 2005 lalu, yang berhasil memilih Presiden Mahinda Rajapakse, keadaan di Utara semakin panas.

Selama bulan Desember dan Januari ini, tak kurang dari 150 tentara dan polisi Srilanka telah tewas di utara. Sebagian besar akibat serangan granat dan serbuan mendadak dari para pemberontak. Tak ada laporan pasti bagaimana proses rekonstruksi setahun pasca tsunami berlangsung di wilayah utara, karena wartawan juga dilarang masuk ke daerah ini.

Proses peliputan di Srilanka Utara selama ini lebih banyak memakai metode kerjasama barter liputan antara wartawan Tamil dan wartawan-wartawan di Colombo, untuk saling meliput dan berbagi informasi menyangkut wilayah utara. Tetapi dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah wartawan Tamil di Jafna dan Kilinochi, juga ditangkap dan mendapat perlakukan diskriminasi keamanan dari aparat Srilanka.

Beberapa laporan dari media lokal menceritakan para korban bencana tsunami di kawasan utara, hidup dalam kondisi serba kekurangan akibat bencana tsunami dan hidupnya berada dalam ketegangan ancaman kekerasan perang. diperkirakan sekitar 8 ribu orang meninggal atau hilang. Sekitar 350 ribu orang menjadi pengungsi dan sekitar 45 ribu rumah ikut rusak di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak Tamil.

Namun tidak banyak diketahui bagaimana perkembangan hasil proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang dilakukan di Utara itu. Pemberontak Tamil mendirikan The Tamils Rehabilitation Organisation (TRO) untuk menangani tsunami. Organisasi ini menyalurkan bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, seperti membagikan makanan, mendirikan sarana kesehatan, memperbaiki dan membangun sarana transportasi dan rumah sementara bagi para pengungsi. Karena akses yang tertutup, tidak banyak diketahui hasil laporan penanganannya.***

*Jurnalis tsunami fellow Asia Media Forum, www.asiamediaforum.org

The article was published at www.mediacenteraceh.org

No comments: