Saturday, March 18, 2006

Tsunamis : "Korban" atau "Orang Bermasalah"



Oleh : Wahyuana*


Santi Ochi, perempuan 43 tahun, sudah berjam-jam berjalan hilir mudik sambil menggendong sebuah keranjang berisi 8 buah nanas di hamparan pasir putih Pantai Hikkaduwa, Galle, Srilanka Selatan, yang dipenuhi oleh ratusan turis asing yang sedang berjemur dan bermain selancar. Dia menjual dagangan buah nanas Rp. 10 ribu per buah. Namun, tak banyak orang yang memperhatikannya. Semua orang terlena dengan kesenangannya sendiri, tak mau tahu dengan barang dagangan Ochi buah-buah nanas yang manis dan murah. Mereka juga tidak peduli terhadap keras Ochi yang sudah seharian di sengat cahaya matahari pantai untuk menjajakan barang dagangannya. Apalagi atas derita Ochi.

Ochi merupakan salah satu korban tsunami atau disebut tsunamis. Suaminya meninggal ketika bencana tsunami menyapu habis semua pemukiman pinggir pantai di Bossa, Srilanka Selatan. Sekarang ia harus menanggung sendiri kehidupan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, Lansa (7 tahun), Madura (9 tahun), dan Acala (12) yang tinggal di bawah tenda di pemukiman pengungsi sementara di Bossa, Srilanka, sekitar 5 kilometer di selatan Pantai Hikkaduwa. Untuk menghidupi keluarganya ia mencari uang dengan berjualan buah nanas dan cindera mata bagi para turis asing. Kadang-kadang dalam sehari ia berhasil menjual semua barang dagangannya, namun juga sering semua dagangannya masih utuh alias tidak ada yang membeli. "Orang sekarang semakin tidak peduli terhadap kami," ujarnya, sambil mengeluh barang dagangannya yang tak seberapa banyak itu susah menjualnya.

Setahun pasca tsunami, masih banyak korban tsunami atau tsunamis yang belum pulih kembali kehidupannya, masih menggantungkan hidupnya atas bantuan dari orang lain. Bahkan tak jarang mereka kemudian menjadi pengemis. Seperti yang ditemui penulis di terminal bus umum Kota Galle, Srilanka Selatan. Dinuka (lelaki, 54) meminta uang kepada semua orang yang ia temui di pintu masuk terminal, sambil menerangkan kalau dirinya korban bencana tsunami sehingga memohon perlu bantuan, dia juga memperlihatkan foto anaknya yang kecil, yang katanya juga terkena penyakit polio. Namun tak banyak orang yang memperhatikannya, meskipun ia sudah berteriak-teriak dan meminta uang dengan memaksa.

Di Srilanka, banyak orang yang sudah mulai melupakan dan 'acuh' terhadap para tsunamis, padahal mereka masih sangat membutuhkan bantuan. Bahkan mulai timbul kesan negatif terhadap para korban tsunami yang kadang-kadang ada korban tsunami yang mencari bantuan dari rumah ke rumah untuk meminta pekerjaan atau uang, dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang sedang bermasalah.

Sebuah survey yang dilakukan oleh UNDP bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia Srilanka telah mengadakan dialog dengan sekitar 800 kelompok-kelompok masyarakat, mengunjungi 1.100 desa dari 13 kabupaten yang terkena tsunami, mereka mendapati keluhan meningkatnya sinisme masayarakat terhadap mereka para korban tsunami. "Para korban tsunami mulai terkena stigma sosial sebagai 'orang-orang yang bermasalah' atau ungkapan sinis 'orang yang dapat rejeki dari bencana tsunami' dari masyarakat yang lebih luas," ujar laporan itu. Sikap sinis ini ditengarai bisa mendatangkan sikap deskriminasi terhadap para korban tsunami.

Tak urung hasil laporan ini menjadi salah satu isu penting dalam peringatan setahun penanganan tsunami di Srilanka. Karena bagaimanapun para tsunamis atau korban tsunami tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari orang-orang yang masuk golongan "orang-orang bermasalah" yang biasanya menjadi social stigma bagi para pecandu alkohol, preman, penjahat kecil, orang yang suka membuat keributan di komunitasnya, anak-anak remaja nakal, pecandu narkoba dan lain-lain, yang biasanya memang menimbulkan beban sosial bagi masyarakat komunitasnya. Sehingga dihindari dan dapat perlakuan diskriminasi dari orang-orang dalam pergaulan sosial yang luas.

Yang lebih tepat, para tsunamis adalah 'korban', karena penderitaan yang mereka alamai sekarang bukan karena sikap perilaku individualnya sendiri yang negatif. tetapi mereka adalah korban dari bencana, sehingga perlu penanganan dan menjadi kewajiban setiap orang untuk berusaha membantu kehidupannya. Sikap-sikap deskriminatif itu diberikan orang terhadap para tsunamis memang baru lebih banyak lewat olokan-olokan dalam pembicaraan, tetapi dikawatirkan dapat mempengeruhi sikap diskriminasi terhadap para korban tsunami yang lebih luas.

Laporan ini juga ditujukan untuk memberikan masukan kepada otoritas penanganan bencana tsunami dan NGO yang bekerja untuk tsunami agar mempercepat program-programnya. Karena faktor utama timbulnya masalah sosial pasca tsunami , salah satunya akibat penanganan bantuan terhadap para tsunamis yang tidak segera terselesaikan, terutama terhadap masalah pemenuhan kebutuhan pokok pengungsi dan perumahan.

Sebuah survey yang dilakukan terhadap sekitar 230 anak-anak korban tsunami di tujuh sekolah di Galle, Hambantota, Ampara, dan Jaffna, juga menunjukkan adanya sikap malas belajar dan kurang konsentrasi dalam mengikuti pelajaran sekolah. Survey itu menunjukkan faktor tempat tinggal sebagai sebab yang paling berpengaruh terhadap semangat belajar anak-anak itu. "Mereka yang pemalas kebanyakan masih tinggal di temporary shelter house (rumah pengungsi sementara) yang tidak memberikan ruang belajar yang nyaman dan tersedianya perlengkapan meja kursi belajar dalam kegiatan belajar mereka," ujar laporan survey tersebut. Tersedianya rumah tinggal permanen akan amat membantu mereka untuk mengembalikan kenyamanan dalam belajar. "Kami telah memberikan bantuan ke beberapa pelajar berupa seperangkat komputer dan meja belajar, tetapi bantuan itu akhirnya hanya disimpan dalam kardus, karena untuk toilet saja mereka belum punya karena masih di pemukiman pengungsi sementara," ujar seorang pendamping anak-anak korban tsunami di Galle, Srilanka Selatan.

Data dari badan otoritas penanganan bencana tsunami Srilanka (TAFREN), bencana tsunami telah menciptakan sekitar 40.000 orang kehilangan pasangannya, menjadi janda atau duda, yang kemudian harus menanggung beban hidup sendiri dan keluarganya yang masih tertinggal. Mereka dilaporkan amat rentan terhadap stress dan akibata-akibat sosial lain akibat bencana, selain orang tua dan anak.

M.H Susila (46) yang tinggal di Peraliya, Telwatta , Srilanka Selatan, misalnya, amat stree ketika ditemui penulis dirumahnya. Semasa belum terjadi tsunami ia memiliki sebuah toko souvernis di pinggri pantai, yang modalnya ia kumpulkan setelah 3 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. "Saya punya banyak teman Inonesia yang dulu sama-sama bekerja di Arab," ujar Susila sambil menunjukkan kemampuannyaa menyanyikan sebait lagu Rhoma Irama yang ia hapal dari teman-temannya semasa di Arab. Namun, sekarang ia amat strees, ia tinggal bersama 2 orang anaknya, dan 3 orang dari keluarga adikknya, di sebuah rumah kayu sederhana ukuran 3 x 3 meter. Suaminya telah menceraikan Susila karena tidak kuat melihat kenyataan bahwa seluruh usahanya hancur terkena tunami, 3 bulan pasca tsunami ia pun menceraikan Susila, dan kemudian pergi Colombo untuk mencari pekerjaan baru.

Karena ditinggal suami dan kehidupan pasca tsunami yang terasa masih amat memprehatinkan, Susila setiap hari sering berjalan-jalan di sekitar reruntuhan rumahnya yang terkena tsunami, sambil membawa foto album yang berisi foto-foto masa lalunya dan foto-foto lain tentang bencana tsunami. "Please sir, buy my photos of tsunamis. I need money for milk my children," she said. Tetang-tetangga Susila sudah tahu kalau Susila menerima penderitaan yang berat akibat tsunami. Sehingga mereka maklum kalau tiba-tiba Susila berperilaku yang agak aneh.***


Jurnalis tsunami fellow Asia Media Forum, www.asiamediaforum.org

No comments: