Oleh : Wahyuana
Menurut Pak Hasnul Suhaimi, Presiden Direktur Excelcomindo Pratama, sampai pertengahan tahun 2008, jumlah nomor seluler yang beredar di Indonesia diperkirakan sudah mencapai angka lebih dari 110 juta nomor, dengan jumlah pengguna diperkirakan sudah mencapai lebih dari 90 juta orang. Dengan jumlah penduduk diperkirakan sebanyak 230 juta jiwa, maka tingkat penetrasi pengguna telepon seluler di Indonesia, pada pertengahan 2008, diperkirakan telah mencapai angka lebih dari 40 persen. Angka ini diramalkan akan secara korelasi regresional terus naik tajam mencapai 60 persen dalam 3-4 tahun kedepan. Melihat marketnya yang sedemikian besar, dunia telekomunikasi seluler menyimpan peluang pasar bisnis informasi yang menggiurkan, karena akan ada sekitar 150 juta orang pengguna telepon seluler yang akan selalu aktif.
Trend ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merupakan trend perkembangan dunia telekomunikasi seluler secara global. Perkembangan dunia seluler bahkan telah mulai menciptakan suatu market bisnis media tersendiri, dimana medium dan instrumen produksinya sangat tergantung pada teknologi seluler. Para penerbit media-media tradisional seperti media cetak, radio dan televisi, dalam 5 tahun terakhir ini, tak urung juga telah melakukan lompatan penyesuaian-penyesuaian, dengan mensinergikan kecepatan bisnis informasinya dengan menggunakan teknologi telekomunikasi seluler. Sejak 5 tahun lalu, kita sudah bisa mendapatkan layanan berlangganan berita dari media cetak atau radio atau dari kantor berita dengan melalui SMS (Short Message Service) yang menggunakan teknolgi WAP ke telepon genggam kita. Sehingga kita bisa mengikuti berita dan indeks harga saham secara lebih cepat dan dari sembarang tempat.
Begitu juga dalam media elektronik, sejak beberapa tahun terakhir ini, siaran berita dan informasi dari radio dan televisi sudah dapat dinikmati secara langsung (real time) melalui telepon genggam atau handphone (HP) kita. Selain itu teknologi seluler sendiri juga telah menjadi medium media massa atau pers, yaitu sebagai sarana produksi berita (pers) yang langsung dikirimkan ke handphone. Sehingga mulai dikenal juga Seluler Newsroom, sebagai kantor produksi berita yang dikirimkan ke publik audiens-nya melalui saluran handphone.
Para reporter media online melalui internet, bahkan sekarang sudah bisa mengetik sendiri berita yang dia dapat dalam reportase, di alat handphone-nya, untuk kemudian Ia tinggal pencet tombol 'kirim' untuk bisa langsung mengirimkan berita tersebut hanya dalam hitungan beberapa detik, dan berita itu bisa langsung terpublikasikan didalam websitenya, dan kemudian bisa diakses secara global. Teknologi seluler telah berjasa mempersingkat pola kerja reporter online dalam pelaporan berita, dari cara kerja sebelumnya; dimana dulu para reporter online mesti membuat laporan dengan menelpon dulu ke newsroom, untuk kemudian laporan melalui telepon itu, akan diketik oleh reporter yang lain sebelum dipublikasikan. Para reporter online, bahkan tak hanya bisa mengirim berita berupa teks, tetapi juga bisa mengirim materi hasil reportasenya berupa suara atau video, semua proses produksi berita itu bisa dilakukan melalui telepon genggamnya yang mungil.
Sebuah penelitian dari Online Journalism Review telah menunjukkan bahwa internet dan telekomunikasi seluler telah berhasil melakukan revolusi dalam hal kecepatan waktu antara sebuah peristiwa terjadi dan waktu publikasinya di media massa. Jika pada 25 tahun lalu, jarak dari sebuah peristiwa terjadi dengan waktu publikasi, rata-rata dibutuhkan waktu 1 hari, untuk beritanya sampai kepada publik melalui media cetak atau televisi. Sekarang rata-rata hanya dibutuhkan jarak waktu antara 5 - 10 menit dari sebuah peristiwa terjadi, untuk sampai beritanya ke publik melalui media internet, radio, televisi, dan seluler newsroom. Ini berkat bantuan teknologi telekomunikasi seluler yang bisa menyediakan perangkat untuk bisa mempersingkat waktu pengiriman, format materi berita, produksi dan mekanisme publikasi berita di media massa.
Melihat pengaruhnya yang luar biasa itu, membuat telekomunikasi seluler atau disebut juga sebagai komunikasi bergerak (mobile communications), sering dianggap sebagai kekuatan renaissance bagi industri media massa. Telekomunikasi seluler akan memberikan peluang-peluang baru yang lebih menarik dan atraktif dalam industri media massa. Baik dalam proses produksi, dalam konten, dalam aspek bisnis, maupun dalam hubungan antara organisasi media dengan audiens (pembaca). Dengan teknologi komunikasi seluler, para audiens sekaligus bisa sebagai produser berita. Bahkan di dalam jurnalisme warga (citizen journalism), yang terfasilitasi dengan adanya media internet dan telepon seluler, para warga atau publik sekaligus bisa berperan sebagai wartawan dan produser berita.
Di dalam sejarah memang tak ada medium komunikasi selain telepon seluler, yang mampu sedemikian cepat berpengaruh dan merevolusi pola-pola interaksi komunikasi antar komponennya. Gutenberg memang telah sangat berjasa dalam penemuan mesin cetak yang merevolusi komunikasi manusia melalui buku dan media massa cetak. Namun telepon seluler telah merevolusi semuanya, baik teknologi maupun pola-pola hubungan interaksi.
Hal ini karena telepon seluler memiliki kelebihan-kelebihan dibanding medium-medium komunikasi media massa yang lain, diantaranya :
1. Bersifat personal, kepemilikan telepon seluler biasanya bersifat personal untuk memenuhi segala kebutuhannya. Sehingga informasi-informasi yang masuk ke etelepon seluler biasanya juga dianggap lebih personal dan ekslusif. Inilah yang membuat komunikasi melalui telepon seluler lebih mudah untuk membangun kedekatan dan bersifat komunitas.
2. Selalu mobile On, setiap orang selalu menyalakan teleponnya kemanapun dia pergi dan kapanpun. Sehingga tidak ada barrier apapun dalam soal waktu dan tempat untuk berkomunikasi.
3. Interaktif dengan media lain. Bisa digunakan interaktif dengan berbagai medium media massa lain seperti media cetak, radio, televisi, maupun internet. Apalagi dengan kecenderungan kedepan, konvergensi media akan disatukan dalam satu alat berupa telepon seluler. Sehingga dalam satu telepon seluler bisa digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsi komputer, televisi, radio, maupun ssebagai alat komunikasi. Dengan telepon seluler, partisipasi dan interaksi antara media dan pembacanya dapat terjadi.
4. Multi tasking, dalam satu telepon seluler, sudah berhimpun berbagai fungsi-fungsi sebagai alat telepon, mesin pencari, sistem service seperti pembayaran dan pemesanan, games, buku harian, buku alamat, alat perekam suara, perekam jejak, kamera, fungsi radio, televisi, komputer, untuk mendengarkan musik, sampai editing dan perekam video. Sehingga dapat berfungsi sebagai alat produksi maupun sebagai medium media massa.
5. Mudah digunakan. Tinggal klik dan pencet tombol-tombol semua fungsi sudah bisa dijalankan.
6. Berkecenderungan untuk semakin murah. Berbagai teknologi yang digunakan semakin murah, sehingga bisa dijangkau oleh semua orang.
Sifat-sifat diatas membuat produk media massa yang dihasilkan melalui telepon seluler juga bersifat lain dibanding dengan medium lain.
Jurnalisme Seluler
Dulu, sebelum ada komputer, wartawan mempunyai sebutan yang amat romantik untuk menggambarkan keseharian kerja mereka, yaitu disebut sebagai kuli tinta. Setelah ada komputer, wartawan kemudian sering disebut sebagai kuli disket atau kuli flash disk.
Sekarang, di era kita hidup dengan teknologi telekomunikasi seluler yang serba digital, mulai ada sebutan romantik baru bagi para jurnalis yang setiap hari tak pernah berpisah dangan handphone-nya, yaitu disebut kuli seluler. Sebuah genre journalisme baru pun tumbuh seiring dengan tumbuhnya trend baru ini yaitu cell journalism atau jurnalisme seluler. Sedangkan sebutan cell journalist atau jurnalis seluler atau kuli seluler tadi, adalah sebutan bagi para pelakunya.
Secara umum jurnalis seluler atau kuli seluler adalah merujuk pada para jurnalis atau orang-orang yang bekerja untuk mengumpulkan dan memberitakan informasi kepada publik, dengan menggunakan alat berupa handphone sebagai alat memproduksi berita maupun sebagai medium penayangan berita.
Sudah jamak para jurnalis di lapangan saat ini selalu tak pernah berpisah dari handphonenya. Seakan telepon genggam sudah menjadi alat vitalnya yang tak terpisahkan. Para jurnalis radio menggunakan handphone untuk melaporkan berita secara langsung melalui suara. Jurnalis cetak menggunakan handphon untuk wawancara, mengumpulkan informasi, maupun untuk mengolah dan mengirimkan berita. Jurnalis online begitu juga, tetapi mereka biasanya langsung mempublikasikan beritanya di website dengan dikirim langsung melalui fasilitas black berry. Demikian juga para jurnalis televisi, tak pernah lepas dari handphone.
Meskipun secara umum sebutan kuli seluler adalah untuk menyebut para wartawan yang menggunakan handphonenya itu, tetapi sesungguhnya apa yang disebut Cell Journalism atau jurnalisme seluler itu merupakan sebuah konsep jurnalisme yang serius.
Cell journalist, pertama kali disebut pada July, 2005 di London, ketika terjadi peristiwa serangan terorisme di stasiun kereta api bawah tanah di kota London, Inggris. Sebutan ini ditujukkan kepada para warga biasa yang dengan sukarela memotret, merekam, dan mengambil gambar melalui handphone mereka, tentang kondisi para korban, peritiwa, dan segala keributan dalam peristiwa itu, dan mereka mengirimkannya secara sukarela ke website-website atau ke blog personal mereka sendiri, sehingga bisa diakses secara global.
Sebutan jurnalis seluler, kala itu, justru bukan diberikan kepada para reporter dan jurnalist profesional. Tetapi kepada para warga biasa itu, yang menggunakan telepon seluler mereka untuk menyebarkan berita kepada khalayak luas. Ledakan informasi yang di suplay para jurnalis seluler ini, ternyata sangat membantu kepuasan publik dalam mengetahui keseluruhan peristiwa itu secara lebih akurat dan mampu menampilkan berita dari berbagai sisi yang terjadi. Kehadiran jurnalisme seluler kala itu sangat membantu.
Seiring waktu, sebutan jurnalis seluler semakin populer. Di Inggris saat ini paling tidak ada 3 website yang secara khusus berbisnis menampung jepreten atau rekaman orang-orang biasa maupun wartawan, melalui handphone mereka, tentang berbagai hal di seputarnya, untuk dikirim ke website tersebut. Diantaranya adalah www.spymedia.com dan www.celljournalist.com yang mau membeli dengan harga sampai US $ 50 per foto atau per video rekaman biasa melalui handphone, jika materinya dianggap layak, mengandung nilai berita, atau memenuhi syarat dianggap sebagai klip berita atau sebuah tayangan dokumenter.
Cerahkan prospek bisnis jurnalisme seluler ini ? Laporan dari pengelola www.celljournalist.com para peminat bisnis ini terus menerus bertambah, sehingga diramalkan bahwa bisnis ini akan cerah dan berkembang dimasa mendatang. Seiring dengan kemajuan teknologi seluler dan jumlah pengguna handphone yang semakin besar.
Konsep yang paling penting yang ditekankan dalam jurnalisme seluler adalah adanya pelibatan dan antusiame warga untuk terlibat melaporkan dan memberitakan suatu peristiwa penting yang sedang terjadi, hal ini mirip dengan konsep citizen journalism atau jurnalisme warga di dalam media online internet.
Demassifikasi Produksi Berita
Kehadiran teknologi telekomunikasi seluler yang di Indonesia saat ini sudah sampai pada tahap penggunaan teknologi 3G dan 3,5 G di pasar, secara evolutif akan membawa perubahan pada pola-pola komunikasi dalam masyarakat. Perkembangan penggunaan telepon seluler sebagai sarana utama dalam komunikasi, yang telah menciptakan genre jurnalisme baru yaitu jurnalisme seluler, juga tak pelak akan mempengaruhi pula struktur dan pola organisasi media, dibandingkan dari era sebelumnya. Saat ini, memang belum terasa pengaruhnya secara langsung terhadap industri media massa, tapi kedepan akan banyak perubahan-perubahan yang mesti akan terjadi sebagai akibat dari kemajuan penggunaan telepon seluler yang bersifat multitasking itu.
Sebelumnya, pola-pola komunikasi massa adalah komunikasi yang bersifat mempengaruhi atau berkaitan dengan publik yang luas (massif), bersifat satu arah (tidak ada komunikasi/interaksi langsung antara para peserta-peserta komunikasi, seperti antara perusahaaan media dengan audiensnya), bersifat tidak langsung (harus melewati media perantara teknis), bersifat terbuka (ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim), serta mempunyai publik yang secara geografis tersebar dalam sebuah batasan zonasi yang tetap. Contoh media massa tersebut adalah media cetak, radio dan TV yang selama ini ini telah kita kenal.
Namun dengan adanya revolusi telepon seluler saat ini, maka konsep tentang komunikasi massa diatas mengalami revisi-revisi, khususnya dalam hal yang bersifat massif, interaksi antar peserta komunikasi dan organisasi media.
Kalau dulu, audiens media massa hanya bersifat pasif dan menunggu saja versi-versi berita yang diterbitkan atau dipublikasikan oleh organisasi media, -baik itu media cetak, televisi maupun radio—kini di dalam era jurnalisme seluler, audiens bisa secara langsung membuat sendiri berita-berita sesuai dengan versi dan konteks pengetahuan yang dia miliki. Dengan telepon seluler, kini para audiens berita adalah juga sebagai produsen berita. Para warga Inggris tak perlu harus menunggu berita dari media cetak, telvisi atau radio untuk mengetahui dan memberitakan peristiwa aksi terorisme di lingkungannya, tetapi dengan telepon seluler mereka, mereka dapat secara langsung meliput dan melaporkan peristiwa yang dia saksikan langsung itu.
Disinilah telepon seluler telah melakukan revolusi demasifikasi produksi berita. Kalau dulu berita diproduksi secara massif dan dimonopoli hanya oleh organisasi media, dan ditujukan buat konsumen secara massal, sekarang setiap pengguna handphone dapat pula berkontribusi membuat berita sesuai kebutuhan, minat, dan kepentingannya sendiri, tanpa harus disetir oleh versi dominan organisasi media. Kebenaran bukan lagi milik dan dimonopoli oleh segelintir organisasi publik yang besar dan mapan, tetapi kebenaran didapat dari berbagai interakasi publik.
Organisasi media pun akan terpengaruh, kalau dulu redaksi menjadi penguasa kebenaran atas suatu pemberitaan, sekarang, dalam era seluler, semua pengguna telepon seluler dapat memproduksi berita menurut versinya. Semua orang bisa bekerja menjadi wartawan. Disinilah yang menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi media tradisional yang telah mapan untuk melakukan reorganisasi struktur perusahaannya.
Disisi lain juga, perkembangan telepon seluler juga memberikan peluang bagi organisai media tradisional untuk lebih mengefektifkan kinerjanya sekaligus memperluas peluang bisnis. Dengan perkembangan teknologi seluler, para reporter media semakin mudah memproses, mengumpulkan dan mengirim informasi yang dia dapat ke newsroom-nya. Dengan telepon seluler, organisasi media juga dapat memperluas audiensnya, misalnya dengan membuat layanan berita cetak melalui SMS atau siaran televisi dan radio yang bisa dinikmati melalui telepon seluler.
Menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi media tradisional untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan teknologi komunikasi seluler.
Prospek Bisnis Media Seluler
Sebuah lembaga riset, IMS Research, memperkirakan hampir setengah milyar orang akan menonton TV melalui telepon selular-nya pada akhir tahun 2011. Mobile digital TV melalui telepon seluler diperkirakan pada saat itu akan mengalami ‘boming’ dengan mengalami peningkatan konsumen sampai 50% per tahun sampai tahun 2015. Di Indonesia sendiri diperkirakan tingkat kepemilikan telepon seluler sendiri telah mencapai lebih dari 60% pada saat itu, atau ada sekitar 150 juta pengguna handphone. Sebuah pasar bisnis media seluler yang menggiurkan.
IMS research mengatakan, kalau mobile TV yang dikirimkan melalui jaringan data seluler, akan mengalami peningkatan kuat dan membangun kedudukan yang baik dalam pasarnya, mulai 3-4 tahun lagi. Pada saat itu, setengah dari pengakses dan pelangganan mobile TV itu, juga akan secara rutin menerima dan berlangganan videonews melalui perusahaan kantor berita mobile digital broadcast.
Pada saat itu, pasar komunikasi media massa seluler akan tumbuh. Orang menikmati dan mengandalkan perolehan informasi yang ia inginkan melalui handphone yang ia miliki, yang juga terkoneksi dengan internet dan media massa tradisional seperti televisi, radio, dan informasi dari organisasi-organisasi pemberitaan yang berbasis media cetak.
Jurnalisme seluler akan menjadi trend utama dari arus komunikasi media massa. Inilah peluang binis media yang akan kita hadapi dimasa depan, seiring dengan kemajuan telekomunikasi seluler yang semakin mendominasi semua aspek kehidupan kita. Untuk itu IMS menyarankan akar para penyedia jasa konten berita atau perusahaan-perusahaan media mulai mengorientasikan bisnisnya ke sektor ini. Memang ini bukan teknologi yang murah, untuk itu IMS mengingatkan bahwa para penyedia jasa mobile TV, video, perusahaan media dan kantor berita harus menginvestasi dana besar untuk membangun sebuah infrastruktur dan teknologi yang mampu menciptakan jangkauan yang luas sekaligus penerimaan sinyal indoor maupun outdoor yang baik.
Di Indonesia sendiri belum banyak perusahaan yang melirik bisnis pemberitaan atau pers melalui media seluler ini. Perusahan-perusahaan pers yang telah ada selama ini, sesungguhnya dapat menggandeng dan berpatungan dengan perusahaan-perusahan jasa telekomunikasi untuk menggarap segmen pasar bisnis media seluler ini.
Dari Rp. 45 trilyun belanja iklan secara nasional pada tahun 2008, ternyata hampir 58,3% masih diserap oleh industri televisi. Kemudian media massa cetak menyerap 37,5% belanja iklan itu. Sedangkan perolehan iklan radio mengkonsumsi sekitar 1,3 %. Ketiga segmen media ini masih mendominasi perolehan iklan secara nasional. Namun yang mencengangkan adalah peningkatan perolehan iklan di sektor media baru seperti internet dan media seluler yang mencatatkan perolehan iklan sampai Rp. 100 milyar selama tahun 2008. Yang meningkat hampir lebih dari 30% dari tahun sebelumnya.
Adanya kecenderungan global, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, bahwa konsumsi media akan beralih ke sektor media baru seperti internet dan media seluler dimasa-masa mendatang, membuat perkiraan belanja iklan ke sektor internet dan media seluler di Indonesia, akan terus naik dimasa-masa mendatang.***
Keterangan : Foto-foto diambil dari materi Promo XL
articles, analysis, news reporting, investigation, features, photos, hobbies, and interview with more amazing people
Tuesday, December 30, 2008
Wednesday, December 10, 2008
Gaia, Kosmologi Konservasi Hutan Dan Lingkungan
Konsep etik apakah sehingga kita mempunyai kewajiban untuk selalu memelihara dan melindungi lingkungan dan hutan kita ?
Apakah sekedar demi untuk menghindari bencana-bencana yang kerap kali hadir akibat lingkungan hidup dan hutan di sekitar kita yang rusak, seperti datangnya bencana banjir, gempa, tanah longsor, badai, kekeringan atau tsunami. Ataukah kita wajib melindungi dan mengkonservasi potensi alam dan keanekaragaman hayati hutan hujan tropis kita, karena setiap spesies dan organisme yang kita konservasi itu, menyimpan potensi di masa depan bagi kemakmuran dan kesejahteraan manusia anak cucu kita nanti (baca: demi kepentingan komersial). Ataukah ada kepentingan lain yang lebih mulia, sehingga hukumnya ‘wajib’ bagi setiap individu di dunia ini untuk menjaga, melindungi, dan merawat hutan, tanah, laut, dan udara di bumi ini beserta segala isinya.
Penjelasan kosmologis atas berbagai pertanyaan ini dapat ditemukan dalam teori Gaia. Teori mutakhir yang memandang adanya berbagai kaitan dan ketergantungan diantara unsur-unsur penyusun dan penghuni bumi ini dengan pandangan yang lebih holistik. Teori ini sekarang telah populer, namun masih sering disalahmengerti dan disalahgunakan, karena ketika pertama dipublikasikan, sempat mengundang banyak kontroversi. Namun bukti-bukti ilmiah mutahir telah memberikan koreksi atas kesalahan-kesalahan awal itu.
Teori Gaia pertama kali dikemukan oleh ilmuwan James Lovelock tahun 1979 melalui buku pertamanya Gaia : A New Look at Life on Earth. Dalam teori Gaia, bumi dipandang sebagai sebuah organisme besar dimana seluruh sistem dan komponen-komponen yang terkandung di dalamnya, baik biotik maupun abiotik, di udara, laut, tanah, dan di angkasa, merupakan organ-organ tubuh bumi yang saling berkaitan dan memiliki fungsi-fungsi sendiri yang saling melengkapi dan bekerjasama dalam saling ketergantungan. Dalam sistem organisme besar itu, bumi memiliki keseimbangan sistem yang bersifat homeostasis, sehingga jika salah satu bagian dari organ bumi itu sakit atau luka, maka juga akan mempengaruhi seluruh sistem bumi yang ada. Ini seperti dapat kita analogikan dengan sistem di dalam tubuh kita; sistem tubuh kita akan terganggu jika kita kehilangan salah satu organ tubuh, atau kalau salah satu organ tubuh kita sakit maka seluruh tubuh kita akan terasa sakit, tidak normal, lumpuh atau bahkan mati.
Sebagai sebuah sistem organisme tunggal, maka menjadi kewajiban bagi seluruh organ dan seluruh penghuni di bumi ini untuk saling menjaga harmoni dan stabilitas sistem, dengan saling memperhatikan, memberikan respon-respon, bekerjasama dan melindungi setiap komponen-komponen bumi yang lain. Dalam sistem itu, seluruh komponen dan unsur-unsur bumi mempunyai kedudukan yang sama, setara dan seimbang dalam kontribusinya menjaga kondisi bumi untuk tetap layak ditinggali. Manusia memang menjadi unsur penting kehidupan di bumi, karena kemampuan akal dan budinya, tetapi meskipun begitu, manusia sendiri juga dapat terlempar dari kehidupan di bumi ini, jika ia tidak dapat menjaga dan berperan dalam menjaga harmoni bumi, seperti juga peran yang dilakukan oleh unsur-unsur komponen bumi yang lain. Bukti perjalanan sejarah kehidupan di bumi telah berulangkali membuktikan, bahwa tidak ada jaminan bagi makhluk-makhluk dominan dan berkuasa di bumi, seperti dulu Dinosaurus, untuk tetap eksis dan bisa bertahan dari sistem homeostasis bumi, jika ia dianggap tidak produktif bagi bumi. Sehingga meskipun manusia saat ini menjadi makhluk paling penting di muka bumi, kalau tidak hati-hati dalam menjalankan kehidupannya, ia juga bisa bernasib sama dengan Dinosaurus.
Teori organisme tunggal bumi ini pada awalnya sempat menjadi kontroversial, karena sebagai organisme, Lovelock mengemukakan, bahwa bumi juga mempunyai sistem kekebalannya dan kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari ‘luka-luka’ yang mungkin menyerangnya, sebagai bagian dari mekanisme bertahan dari sifat homeostasis bumi. Lovelock mengemukakan adanya sejumlah bukti-bukti penelitian bahwa berbagai fenomena kerusakan lingkungan global seperti meningkatnya zat-zat rumah kaca yang mengakibatkan meningkatnya pemanasan global, ternyata secara korelasional juga diikuti dengan meningkatnya populasi algae dan fitoplankton-fitoplankton di samudara Atlantik dan Pasifik yang semakin produktif menghasilkan zat Dimetilsulfida, yang setelah terlepas ke udara, kemudian akan bereaksi mengurai zat-zat efek rumah kaca di atmosfer. Mekanisme ini akan mengurangi kandungan zat-zat rumah kasa yang menyebabkan pemanasan global dan kerusakan ozon di atmosfer.
Temuan sistem respon ‘umpan balik’ akibat kerusakan lingkungan di bumi ini, sempat menimbulkan kesimpulan yang kontroversial karena dengan demikian berbagai problem kerusakan lingkungan hidup di dunia saat ini, dapat dianggap sesungguhnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan, karena bumi ternyata menyediakan sistem dan mekanismenya sendiri untuk melakukan netralisasi dan melakukan penyembuhan-penyembuhan atas problem ancaman kerusakan yang sedang dihadapinya. Problem pemanasan global dan polusi udara saat ini tak perlu terlalu dikhawatirkan karena mekanisme internal metabolisme bumi akan menyediakan sistem-sistem yang akan menetralisirnya.
Premis ini tentu saja kontroversial bagi kalangan aktivis lingkungan hidup. Meskipun konsep dasar Gaia yang memandang bumi sebagai sebuah sistem holistik global yang seluruh komponen penghuninya mempunyai kaitan dan berada dalam saling ketergantungan, tetap dianggap sebagai gagasan yang prospektif di dalam memahami kaitan sistem kerja bumi. Tetapi pada bagian kesimpulan yang menganggap bahwa ancaman kerusakan lingkungan hidup sebagai bukan anacaman yang serius, tetap ditolak oleh kalangan environmentalis.
Sebaliknya pada bagian inilah yang sering ‘dibajak’ oleh kalangan industrialis dan para perusak lingkungan, melalui iklan-iklan mereka, yang mengatakan bahwa di dalam mekanisme Gaia residu industri sesungguhnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan karena akan tereduksi sendiri oleh mekanisme metabolisme bumi.
Lovelock kemudian merevisi beberapa kesimpulan-kesimpulan di buku pertamanya ini, melalui 4 buku yang ia terbitkan selanjutnya ; The Ages of Gaia (1988), The Practical Science of Planetary Medicine (1991), Homage to Gaia (2000), dan The Revenge of Gaia (2006). Di dalam penelitiab mutakhir yang tertuang di dalam buku-buku terbarunya, Lovelock menemukan bahwa memang benar bahwa bumi mempunyai sistem kekebalannya sendiri, dan didalam sistem metabolisme bumi itu terdapat sistem respon umpan balik yang siap mereduksi dan menyembuhkan luka atau penderitaannya sendiri. Namun Lovelock menemukan ‘red light’ atau alarm peringatan di dalam sistem itu, bahwa sistem kekebalan dan respon umpan balik yang dimiliki bumi itu mempunyai batas limit kemampuannya. Bahkan saat ini, Lovelock mensinyalir, bahwa sistem bumi sudah sampai pada tahap yang tidak mampu lagi merespon dan menetralisir residu-residu akibat aktivitas manusia yang dapat mengancam keseimbangan bumi. Artinya jumlah residu akibat berbagai aktivitas manusia saat ini ternyata sudah tidak equivalen lagi dengan kapasitas bumi untuk mereduksinya.
Ini salah satunya dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa fenomena pemanasan global akibat tingginya kandungan CO2 dan zat-zat efek rumah kaca di atmosfer ternyata tidak mampu secara cepat direduksi oleh seluruh tumbuh-tumbuhan dan fitoplanton-fitoplankton yang berada dimuka bumi saat ini. Konsentrasi CO2 di atmosfer sudah meningkat sekitar 35% sejak era revolusi industri 400 tahun lalu, tetapi berdasarkan riset-riset terbaru, kemampuan semua komponen bumi untuk mereduksinya hanya meningkat 2% lebih cepat. Sehingga bumi sekarang berada dalam ancaman pemanasan global yang benar-benar nyata.
Bumi mungkin masih akan tetap eksis meskipun terjadi peningkatan suhu di dalam tubuhnya, karena didalamnya akan terjadi proses-proses membentuk keseimbangan-keseimbangan baru sebagai hasil interaksi dan negosiasi antar komponen pembentuknya. Tetapi menurut Lovelock, sama sekali tidak ada jaminan bahwa manusia akan bisa tetap eksis didalam sistem keseimbangan baru itu. Karena dalam sejarah bumi sendiri terdapat bukti bahwa telah berulangkali terjadi adanya pemusnahan massal atas unsur-unsur penghuninya yang dominan dan berkuasa, namun ternyata tak mampu menyesuaikan diri didalam sistem homeostasis yang baru. Sehingga menjadi peringatan bagi manusia kalau ia tidak bisa mengendalikan perilakunya untuk tidak merusak lingkungan, maka ia bisa terancam terlikuidasi dari bumi.
Konsep penting lain dari teori Gaia didalam memandang kehidupan di bumi adalah bahwa biosfer (lingkungan kehidupan) sangat bergantung, berinteraksi dan berkorelasi erat dengan komponen-komponen bumi yang lain, dan bahwa setiap komponen-komponen di dalam biosfer sendiri, masing-masing mempunyai fungsi, nilai, peran dan kegunaan sendiri untuk saling melengkapi, berinteraksi dan bergantung satu sama lain untuk saling menolong dan mendukung agar tetap bisa eksis di muka bumi. Seperti misalnya hutan hujan tropis dan lahan basah yang masing-masing mempunyai fungsi dan peran tersendiri dalam memelihara kestabilan biosfer untuk mendukung sistem homeostasis bumi.
Salah satu keprihatinan mendalam Gaia saat ini adalah cepatnya laju penurunan keanekaragaman hayati di muka bumi. Keanekaragaman hayati merupakan salah satu bagian penting dari sistem Gaia, karena di dalam Gaia semua unsur isi bumi mempunyai peran dan fungsi yang sama namun spesifik sesuai dengan karakternya, sehingga hilangnya salah satu unsur komponen kehidupan akan berpeluang mempengaruhi kestabilan sistem di dalam Gaia. Baik itu unsur biotik maupun abiotik. Baik itu unsur biotik kelas rendah seperti bakteri, sampai unsur biotik kelas tinggi seperti manusia. Telah menjadi bukti bahwa respon atas meningkatnya zat-zat rumah kaca di atas atmosfer tidak hanya dilakukan oleh jenis-jenis tumbuhan tingkat tinggi, tetapi juga oleh alga dan fitoplankton-fitoplankton di samudera. Organisme yang sebelumnya diabaikan dan dianggap tidak penting di dalam rantai fotosintesis bumi. Ini membuktikan bahwa bahkan unsur-unsur penyokong biosfer pada tingkat microbiologi dan makluk hidup yang belum teridentifikasi pun mempunyai peran penting di dalam sistem metabolisme organisme bumi.
Besarnya kandungan keanekaragaman hayati yang berada didalam hutan hujan tropis yang dimiliki Indonesia, mempunyai peran yang sangat penting di dalam eksistensi sistem Gaia. Hutan-hutan tropis merupakan pusat keanekaragaman hayati yang paling tinggi di bumi. Masing-masing species yang terkandung di dalamnya mempunyai peran yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan, karena menjadi penyeimbang dan penyokong bagi unsur kehidupan yang lain. Sehingga kecenderungan untuk memanfaatkan lahan hutan kita menjadi hutan-hutan industri monokultur, sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan kosmologi Gaia. Didalam Gaia, produktifitas ekosistem yang tinggi akan lebih banyak ditemukan didalam ekosistem-ekosistem yang multikultur.
Sehingga konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan hal yang sangat penting, tidak saja bagi sistem kehidupan di wilayah Indonesia, tetapi juga untuk seluruh sistem global bumi.
Etika Gaia
Sebagai sebuah teori sains, Gaia telah melahirkan sebuah implikasi etik tersendiri di dalam memandang kehidupan di bumi dan bagaimana selayaknya interaksi manusia dengan berbagai komponen bumi yang lain dibangun. Etik Gaia tampaknya cenderung berlawanan dengan teori evolusi Darwinian yang selama ini mendominasi persepsi publik di dalam memandang eksistensi kehidupan di bumi.
Teori evolusi Darwinian mendasarkan pandangannya bahwa eksistensi kehidupan makhluk hidup di bumi didasarkan pada konsep ‘survival of the fittest’ atau seleksi alam. Di dalam konteks kajian sains biologi, teori-teori Darwin memang tetap penting untuk menjelaskan fenomena-fenomena di dalam kajian populasi dan ekosistem. Namun di dalam kajian-kajian dalam skala biosfer, teori Gaia akan lebih mampu menyediakan perangkat-perangkat analisis dan perspektif yang lebih menarik dan komprehensif.
Dalam teori Darwin (1809-1882), kehidupan di bumi dipandang sebagai proses yang penuh persaingan dan terjadi seleksi alam, siapa yang menang dan kuat dialah yang bisa eksis di bumi. Organisme yang satu berjuang dan berhadapan dengan organisme yang lain untuk saling membunuh dan menguasai, gambaran seperti ini dapat kita lihat dalam trend film-film sains biologi saat ini, yang suka sekali mengeksploitasi cerita tentang rantai predator sesama organisme di bumi. Kehidupan di bumi dipandang oleh manusia sebagai obyek yang perlu dikuasai dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Kapitalisme dan eksploitasi alam merupakan fenomena yang menggejala dalam perspektif Darwinian.
Di dalam teori Gaia, yang memandang bahwa kehidupan di bumi ini sebagai sebuah sistem organisme tunggal dimana seluruh komponen-komponen pembentuknya saling berinteraksi, bekerjasama dan adanya konsep saling ketergantungan satu sama lain dalam sebuah sistem yang homeostasis, maka manusia bukan satu-satunya makhluk hidup yang paling sentral dan berkuasa dalam yang mengatur kehidupan di bumi. Manusia bukanlah makhluk yang paling istimewa, tetapi ia setara dan mempunyai kontribusi dan kesempatan yang sama dengan unsur-unsur bumi yang lain untuk mengelola dan menghidupi bumi. Sehingga manusia harus mempunyai rasa rendah hati dan menghormati setiap unsur dan komponen bumi yang lain, terhadap alam disekitarnya, dan terhadap makhluk hidup sesamanya. Hukum ‘wajib’ bagi setiap manusia untuk memelihara lingkungan dan hutan disekitarnya, karena ia mempunyai tanggung jawab yang sma dengan penghuni bumi yang lain untuk saling menjaga kehidupan.
Etik Gaia adalah suatu etika yang melandaskan pikiran dan tingkah laku yang bukan hanya memanfaatkan alam demi keuntungan diri sendiri (manusia) semata, melainkan tingkah laku yang mempunyai tanggung jawab untuk terus memelihara keseimbangan alam dan melestarikan keutuhan, kebersatuan, keberlangsungan dan keserasian ekosistem, biosfer, dan seluruh komponen pendukung sistem global bumi, karena bumi merupakan suatu sistem organisme kosmik yang terdiri dari komponen-komponen yang saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan, sehingga kehidupan di bumi harus saling menopang dan berjalan terus menerus secara konstan. Dalam gambaran Lovelock, bumi ini ibarat sebuah koperasi raksasa, dimana seluruh anggotanya saling berkerjasama, berinteraksi dan berbagi. Ingatlah selalu, jika kamu memotong sebatang pohon di hutan, maka tak hanya alam sekitar yang disakiti dan beresiko terkena kutukan dampak negatifnya, tetapi seluruh sistem global, dan masyarakt di ujung dunia lain, juga akan menerima efek negatifnya. Pada sebatang pohon, bersandar pula beribu kehidupan yang lain.
Di dalam etik Gaia, manusia sebagai makhluk hidup dari unsur biosfer memang bukan merupakan sentral dari seluruh sistem kehidupan, tetapi ia tetap merukan makhluk yang penting, karena kemampuan akal dan budinya. Manusia hanyalah salah satu elemen dalam seluruh eksistensi sistem global bumi, namun karena kemampuan akal budinya, manusia harus selalu rendah hati, tidak sewenang-wenang, dan selalu mempertimbangkan bahwa setiap tindakannya akan mempunyai implikasi terhadap keberadaan unsur-unsur komponen pendukung bumi yang lain.
Sehingga manusia dalam sistem etik Gaia, tidak bisa lagi berpikir dan bertindak egois dan individualis. Kalau kita membuang sampah, harus menjadi kesadaran kita bahwa sampah itu akan mempengaruhi sistem tanah, udara, dan alam sekitarnya, sehingga kita harus memilih cara yang tepat, bagaimana agar sampah yang kita buang itu tidak mengganggu dan merusak komponen-komponen bumi yang lain.
Kita wajib memiliki kasadaran untuk memelihara, menjaga dan melestarikan hutan dan lingkungan hidup di sekitar kita, bukan semata-mata demi kepentingan manusia, agar tidak banjir, longsor atau bencana yang lain, tetapi itu merupakan bagian dari tanggung jawab sistem kosmik kehidupan global bumi. Setiap organisme atau species yang kita sentuh atau temui, harus selalu menjadi kesadaran kita, bahwa itu juga merupakan makhluk yang mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup dan mempunyai nilai yang sama berharganya dalam memjaga sistem kehidupan bumi. Semua tindakan-tindakan kita dalam menjaga hutan dan lingkungan merupakan bagian dari upaya menjaga kehidupan dan kemaslahatan bersama seluruh penghuni bumi.
Manusia harus menghormati unsur pendukung bumi yang lain, tanah, udara, air, lautan, dan semua penghuninya baik yang hidup maupun tidak. Bumi, kelestarian dan kesinambungan eksistensinya merupakan pusat dari orientasi kehidupan manusia.
Gaia dalam kearifan masyarakat lokal kita
Gaia yang diambil dari kata Ge atau dewi bumi dalam bahasa Yunani, sesungguhnya juga sebuah konsep penghormatan terhadap lingkungan hidup yang sudah kita kenal di dalam tradisi-tradisi masyarakat lokal di Indonesia. Di Jawa kita kenal dengan nama Dewi Sri sebagai dewa kesuburan tanah. Demikian juga di dalam masyarakat-masyarakat lokal di berbagai daerah di Indonesia, mereka selalu mempunyai orientasi pujaan spiritual terhadap dewa bumi atau dewa kelestarian lingkungan hidupnya, tetapi dengan ama-nama sebutan yang berlainan. Di dalam konteks nasional, Ge dapat pula kita artikan sebagai Ibu Pertiwi, yang selalu mendapat penghormatan di dalam setiap literatur kita. Bahkan lagu Ibu Pertiwi merupakan salah satu lagu yang populer dan dikenal oleh setiap orang di Indonesia yang merupakan penghormatan terhadap tanah air kita, tempat kita hidup, bergantung dan berakhir.
Penghormatan terhadap bumi beserta seluruh isinya sesungguhnya juga telah menjadi orientasi di dalam sistem-sistem tradisional masyarakat kita. Melalui upacara-upacara tradisional sebelum masa tanam atau sesudah panen di daerah-daerah pertanian, sebagai bentuk ungkapan penghormatan dan upaya untuk selalu mengingatkan perlunya kita menjaga dan melestarikan seluruh sistem kehidupan di bumi ini. Memang seluruh sistem kepercayaan di dalam upacara-upacara tradisional itu hanya berkaitan terhadap sistem kepercayaan lokal, namun sesungguhnya tradisi-tradisi itu mempunyai dimensi pengaruh terhadap kehidupan global.
Gaia sebenarnya telah kita kenal dalam sistem-sistem tradisional masyarakat kita, namun revitalisasi perlu dilakukan lagi saat ini, dalam konteks pemahaman yang lebih kontemporer.***
Daftar Pustaka :
1. Lovelock, James, Bumi yang Hidup, Yayasan Obor, Jakarta (1988).
2. Kuswata Kartawinata dan Anthony J. Whitten, Krisi Biologi : Hilangnya Keanekaragaman Hayati, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta (1991).
*Pemerhati sains hayati dan pengurus Yayasan Rindang Indonesia, tinggal di Jakarta.
Friday, August 29, 2008
Clash of civilisations or calculation of interests: an interview with Anis Baswedan
by Wahyuana
Only 39 years old, Anies Baswedan's thoughts have been considered so influential that Foreign Policy magazine has rated this Rector of Paramadina University 60th on a list of the world's top 100 intellectuals.
Critical of the dominance of a cultural approach to Muslim-Western conflicts, he believes conflict is not triggered by cultural, religious, or civilisational identity, but by a calculation of interests. He expands on this concept in an interview with Jakarta-based journalist, Wahyuana.
What exactly do you mean by "a calculation of interests" in Muslim-Western conflicts?
Baswedan: The choice to engage in violence or peace isn't the projection of any ideological, cultural or religious factors, but instead, a strategic calculation, or a calculation of interests. A group opts to use violent approaches or peaceful methods depending on each approach's incentives or disincentives. Who is considered the enemy and what confrontational method will be used is often determined more by a calculation of interests than of ideology, religion or culture.
For example, let's consider relations between what we commonly refer to as the Afghan mujahideen and the United States. These various Afghan opposition groups were allies of the United States while fighting against the Soviet occupation of Afghanistan in the 1980s. At that time the United States considered them freedom fighters or heroes. Now, however, some of these same groups are fighting against the United States, the new occupying force, and are therefore indiscriminately called terrorists.
It is the perspective of each party, how it sees its challenges, interests and positions, that influences whether it become allies or enemies with the other.
Does this mean the clash of civilisations is nonsense?
Baswedan: I think it's a forced terminology. What really happens is a polarisation, and it has occurred in many forms throughout the history of mankind. There are polarisations in culture, ideology, race and religion. Polarisation has become an innate part of life itself.
Samuel P. Huntington's clash of civilisations is too forced – as if there is a specific religious/cultural conflict between the Muslim world and the West. There isn't. Throughout history, conflicts pitted as clashes between civilisations weren't solely about religion. For example, the Crusaders also had interests in land and politics.
What about ideological or religious motives behind Muslim-Western conflicts? Do you deny such motives?
Baswedan: I don't deny them. Ideological or religious motives, of course, exist. However, they only occur at the micro, or individual level. Religion or ideology is just a tool that is hijacked to recruit and motivate people and to create solidarity with the perpetrators to whom it gives an air of legitimacy. These conflicts are presented as ideological or religious campaigns in order to inspire followers, legitimate the war as a "just war", and attract allies, etc.
That is why we need to use rational strategic analysis to enable us to acknowledge potentially violent conflict that is about to arise, so we can find a way to prevent it. But if we only employ a cultural framework (an approach that sees the psycho-religious-cultural variables influentially shaping the actions of a person or a group), we would walk in circles, without ever learning how to solve the conflict.
Don't you think that hijacking ideology, culture, or religion for such strategic interests shows that they could be lethal weapons?
Baswedan: Exactly. Ideology, culture and religion are all excellent weapons for creating solidarity because of their transcendental and messianic values. But as weapons, they are used for external interests, not for themselves. When the external interests are achieved, they might be used for other strategic interests, which, in the case of geopolitical change, could turn allies into enemies.
What do you think about the future of Muslim-Western relations?
Baswedan: Today, the situation is fascinating. Islam grows and exists in prominent civilisational centres, such as in the capital cities of America and Europe. As a minority, Muslims there have to express their religious nature and negotiate Muslim values through the language and structures of the host country, becoming part of its civilisational treasure. The same thing is also experienced by Westerners that live in the Muslim world. It is in the hands of these ambassadors that the future of Muslim-Western relations lies, for they are in the privileged position of being fully a part of both Muslim and western societies.
Published on Commongroundnews.org
Only 39 years old, Anies Baswedan's thoughts have been considered so influential that Foreign Policy magazine has rated this Rector of Paramadina University 60th on a list of the world's top 100 intellectuals.
Critical of the dominance of a cultural approach to Muslim-Western conflicts, he believes conflict is not triggered by cultural, religious, or civilisational identity, but by a calculation of interests. He expands on this concept in an interview with Jakarta-based journalist, Wahyuana.
What exactly do you mean by "a calculation of interests" in Muslim-Western conflicts?
Baswedan: The choice to engage in violence or peace isn't the projection of any ideological, cultural or religious factors, but instead, a strategic calculation, or a calculation of interests. A group opts to use violent approaches or peaceful methods depending on each approach's incentives or disincentives. Who is considered the enemy and what confrontational method will be used is often determined more by a calculation of interests than of ideology, religion or culture.
For example, let's consider relations between what we commonly refer to as the Afghan mujahideen and the United States. These various Afghan opposition groups were allies of the United States while fighting against the Soviet occupation of Afghanistan in the 1980s. At that time the United States considered them freedom fighters or heroes. Now, however, some of these same groups are fighting against the United States, the new occupying force, and are therefore indiscriminately called terrorists.
It is the perspective of each party, how it sees its challenges, interests and positions, that influences whether it become allies or enemies with the other.
Does this mean the clash of civilisations is nonsense?
Baswedan: I think it's a forced terminology. What really happens is a polarisation, and it has occurred in many forms throughout the history of mankind. There are polarisations in culture, ideology, race and religion. Polarisation has become an innate part of life itself.
Samuel P. Huntington's clash of civilisations is too forced – as if there is a specific religious/cultural conflict between the Muslim world and the West. There isn't. Throughout history, conflicts pitted as clashes between civilisations weren't solely about religion. For example, the Crusaders also had interests in land and politics.
What about ideological or religious motives behind Muslim-Western conflicts? Do you deny such motives?
Baswedan: I don't deny them. Ideological or religious motives, of course, exist. However, they only occur at the micro, or individual level. Religion or ideology is just a tool that is hijacked to recruit and motivate people and to create solidarity with the perpetrators to whom it gives an air of legitimacy. These conflicts are presented as ideological or religious campaigns in order to inspire followers, legitimate the war as a "just war", and attract allies, etc.
That is why we need to use rational strategic analysis to enable us to acknowledge potentially violent conflict that is about to arise, so we can find a way to prevent it. But if we only employ a cultural framework (an approach that sees the psycho-religious-cultural variables influentially shaping the actions of a person or a group), we would walk in circles, without ever learning how to solve the conflict.
Don't you think that hijacking ideology, culture, or religion for such strategic interests shows that they could be lethal weapons?
Baswedan: Exactly. Ideology, culture and religion are all excellent weapons for creating solidarity because of their transcendental and messianic values. But as weapons, they are used for external interests, not for themselves. When the external interests are achieved, they might be used for other strategic interests, which, in the case of geopolitical change, could turn allies into enemies.
What do you think about the future of Muslim-Western relations?
Baswedan: Today, the situation is fascinating. Islam grows and exists in prominent civilisational centres, such as in the capital cities of America and Europe. As a minority, Muslims there have to express their religious nature and negotiate Muslim values through the language and structures of the host country, becoming part of its civilisational treasure. The same thing is also experienced by Westerners that live in the Muslim world. It is in the hands of these ambassadors that the future of Muslim-Western relations lies, for they are in the privileged position of being fully a part of both Muslim and western societies.
Published on Commongroundnews.org
Thursday, June 26, 2008
Baby growth up (0-6)
Baby Writing (web project)
Anak Umur 2 Minggu
Ketika anak masih dalam kandungan, ia berada dalam lingkungan yang hangat, enak dan nyaman. Pada waktu itu is sudah belajar mengenali suara dan sensasi-sensasi lain dari luar tubuh ibunya. Tetapi Anda tidak dapat memastikan sebarapa besar personaliti dari si Anak terbentuk ketika dalam kandungan. Namun dia telah belajar banyak ketika tidur dalam kandungan dan merasakan hal-hal yang terjadi dalam lingkungan ibunya.
Pada anak usia 2 minggu, dia msih belum dapat berkomunikasi secara langsung. Anak hanya bisa menangis, tetapi Anda dapat berkomunikasi dengannya melalui suara Anda dan dari sentuhan Anda. Anak akan senang sekali jika dipegang, dipeluk, dibelai, dicium, dipijat dan diayun-ayunkan lembut. Anak mungkin akan mengatakan 'ah' ketika ia mendengar suara Anda atau melihat muka Anda, dan dia bergairah ketika menemukan Anda diantara suasana yang sedikit lebih rame.
Tangisan Mulas
Jika anak Anda suka menangis selama lebih dari 3 jam terus menerus, dan tidak ada dokter yang mampu memberikan penjelasan medisnya, kemungkinan ia sedang mengalami 'colicky cries' atau tangisan mulas --yaitu sebuah kata untuk menerangkan atau menjelaskan ketidakmampuan si Anak dalam mengontrol tangisannya padahal ia dalam keadaan sehat, seperti anak yang lain.
Perut/lambung anak mungkin benar-benar sedang tidak membuat nyaman dirinya, untuk itu salah satu alternatif penanganannya adalah tariklah kedua kaki anak agar dia bisa mengeluarkan 'gas' yang ada pada perutnya. Gejala ini bisa hadir kapanpun, tetapi biasanya terjadi antara pukul 6 sore sampai tengah malam hari. namun jangan khawatir, gejala ini biasanya akan hilang sekitar 60% pada usia 3 bulan dan 90% hilang pada usia 4 bulan.
Tali Pusar
Sesudah Anak anda dilahirkan, dokter atau bidan akan memotong tali pusat/tali pusar bersama 'ari-ari' dan masih akan tertinggal sedikit sisa tali pusat yang masih bersatu bersama dengan pusar, yang akan bertahan sampai kering, dan akan terlepas.
Selama ini pusar anak masih dibungkus, untuk sebaiknya Anda tidak memandikan anak di bak mandi, tetapi cukup membasuhnya dengan spon air hangat, ini agar bagian pusar anak tetap bertahan kering. Tunggulah sampai kering, dan sisa pusar akan kering dan jatuh terlepas sendiri dari pusar anak. Proses ini biasanya akan memakan waktu 1-2 minggu pertama setelah kelahiran.
Anak Rewel
Anda mungkin akan sering menemukan anak Anda suka marah-marah dan rewel pada tiap akhir hari. Hal ini adalah normal. Anda harus sabar dan tahan mendengar tangisannya. Ini terjadi karena anak Anda sedang dihadapkan pada pertemuan-pertemuannya pada suara-suara baru atau pemandangan baru yang ia temui sepanjang hari tadi.
Sekalipun Anda tinggal dirumah yang tenang, dia akan disibukkan menghadapi dan menyesuaikan dengan banyak hal baru di dunia ini. Jantung anak Anda akan menghadapi kejutan-kejutan dan detaknya mengalami perubahan setiap menerima sesuatu yang baru. Jika menghadapi ini, peganglah pelan-pelan, peluk, cium, dan coba tenangkanlah. Ayun-ayunkan sambil mendekap bersama tubuh anda dengan lembut.
Baby Blues Sindroma
Sebagai orang tua baru, atau terutama ibu baru, Anda biasanya akan menghadapai sebuah sindroma keringkihan emosional.
Sedikitnya 60 -80 persen dari para ibu baru akan menghadapi 'baby blues' yaitu suatu depresi lunak yang diakibatkan gabungan antara sifat lekas marah, capek kurang tidur akibat sibuk merawat si anak, masgul menghadapi bebargai masalah rumit dan hal-hal teknis kecil seperti mengganti popok berkali-kali, dan berbagai kecapekan lain.
Jika dalam 2-3 minggu 'baby blues' masih belum Anda kuasai, Anda menghadapi masalah yang cukup serius. sekitar 20 persen para Ibu baru menghadapi ini. Gejalanya sebuah simpton berkepanjangan insomnia, merasa sedih sepanjang hari, kesukaran memusatkan pikiran, malas menghadapi semua aktivitas, gelisah, tak selera makan, kepanikan menyerang (seperti jantung berdegup, kepala pening/migrain, kebingungan, atau merasa ada malapetaka akan datang0, atau bahkan keinginan bunuh diri, sebaiknya anda segera menghubungi dokter dan psikolog Anda.
Ini sering dihadapi para ibu baru. Berkonsultasi ke dokter dan psikolog akan sangat baik bagi Anda jika menghadapi ini, karena tidak saja berguna bagi kesembuhan Anda, tetapi juga berguna bagi anak Anda.
Ingat, Setiap Anak adalah Unik
Ingat selalu, setiap anak adalah unik dan memiliki karakter sendiri. Ia punya potensi yang sama dengan anak-anak yang lain untuk menjadi generasi platinum yang cerdas. Setiap anak akan melewati setiap tahapan perkembangan dan pertumbuhan yang sama, meski tidak akan sama kecepatan penguasaannya dalam melewati tahapan-tahapan itu.
Mungkin seorang anak lebih cepat menguasai sebuah ketrampilan, sementara anak lain akan menyusul beberapa waktu kemudian. Hal ini jangan menjadi masalah dan membuat kekhawatiran Anda. Ingat pula, setiap anak prematur biasanya akan lebih lambat dalam menjalani setiap tahapan perkembangan dan pertumbuhan.
Dan penting diingat, jangan ragu untuk segera konsultasi ke dokter atau psikolog anak, jika Anda menghadapai masalah atau memerlukan pertimbangan-pertimbangan dalam memberikan perlakuan anak yang sesuai.
Thursday, March 20, 2008
Highest Bird Flu Death Toll 105
By Wahyuana
Jakarta – Muhammad Andika, baby 3 years, has died on Saturday last week by avian influenza, said official of health ministry. The case is bringing Indonesia to be world highest cases of bird flu to 105 death tolls of 129 cases.
Indonesian health ministry's director general for illness control and environmental health I Nyoman Kandun said on Sunday that all examinations on the blood samples of the boy's had showed that he was contracted by H5N1 virus.
"Based on laboratory test of the Eijkman Biological Molecular Laboratory and the Research and Development Laboratory of Health Ministry Body has indicated that he is positively invected avian influenza," said I Nyoman Kadun.
The boy lived with his family at Kebayoran Lama District, South Jakarta. Andika starting sick on February 5, 2008 with number indications are feverish, coughing and asphyxia. After tens days under hospitalized he is dies on February 16, 2006 at Persahabatan Hospital, West Jakarta.
Based on field investigation of the Environmental Health and Illness Control Bureau of Health Ministry were fund any 5-6 the chicken butchery and collecting place at around his family house.
Last week on February 10, 2008, APP –a nickname of 16 years teenager boy has died at Dr. Moewardi hospital at Solo, Central Java –around 477 kilometres east Jakarta. Test laboratory by health ministry department said he has invected H5N1 virus. Local health ministry official said a day before sick is 5 chickens at around his house were dies and he was slaughter some chickens leaving.
Indonesia is highest country hit bird flu since avian influenza attack across Asian 2003. About 105 peoples were dies of 129 bird flu cases spreading across country. Jakarta Capital, West Java Province, Banten Province, East Java Province and Central Java Province are most attached.
More than 225 people have died worldwide from attach the virus, according to the World Health Organization's Web site.
Indonesia is tropical country that the virus is adaptive to grow up and spreading. With the population is large poor, the traditional poultry is well income for the common peoples.
Indonesia was planed to budgeting more than US $ 61 millions to handle this pandemic for 2008 run.***
Tuesday, March 18, 2008
"Unknown, therefore unloved": An interview with Meutya Hafid
by Wahyuana
26 February 2008
Jakarta - Meutya Hafid is a global journalist. She was held hostage by a militant group while covering the war in Iraq, and recently travelled to Australia on a three-week exchange program after receiving Australia's Elizabeth O'Neil Award for Journalism. The award, granted to one Indonesian and one Australian, fosters mutual understanding between the two countries while promoting accurate and informed media coverage. Hafid speaks with journalist Wahyuana about her experiences in Australia and the Middle East, as well as her views on democracy, Jewish-Muslim relations and the role the media should play in encouraging dialogue instead of divisions.
What did you do while you were in Australia?
As we know, Australia is a country with a complex, multi-cultural migrant society. While I was there, I engaged in dialogue with Jewish and Muslim minorities, as well as certain racial minorities.
What is life like for minority groups in Australia, particularly Muslims?
Structurally, minorities receive equal treatment from the government, though socially they are often discriminated against by majority groups. For instance, Australian Muslim women are sometimes insulted and mocked because they wear hijab. However, minority groups have the right to bring up their concerns in public debate or before a human rights council, where the options are either negotiated settlement or going to court.
In Indonesia, there are many serious cases of discrimination that are mentioned only briefly in the media before being forgotten by the public. The case of Ahmadiyya, a Muslim community that believes the second advent of Jesus has been fulfilled, comes to mind. The community's mosques were recently vandalised by some groups that accused them of deviating from Islamic doctrine. Police took many Ahmadiyya followers "to safety", but in doing so gave the attackers virtual free rein to vandalise that property.
Do you believe that the issue of protection for minority rights is part of a clash of civilisations?
I don't see it as a clash of civilisations. It's a phenomenon that usually happens in countries with significant majority and minority groups. In Indonesia, this kind of racialism and/or discrimination sometimes emerges subconsciously, over ethnic and group differences.
Meanwhile, in Australia, immigrants come from many different cultures and countries – Europe, Asia, Africa, the Middle East and elsewhere. Integration takes time and does not always occur smoothly, yet in Australia all citizens are legally protected from discrimination, no matter where they come from or what colour their skin is. I think Australia can serve as a multi-cultural model.
What makes Muslim minorities in Australia appear to be better protected than Muslim minorities in Indonesia?
This may be because democracy is deeply rooted in government systems in Australia. Australian minority groups are also well aware of their rights. For example, in several states where migrant populations are dense, the police have created multicultural division units that not only take legal action over conflicts related to cultural differences, but are also responsible for building intercultural harmony. They work together with religious minorities and community leaders.
Is democracy the best way to protect minority rights?
I think democracy is one of the best ways, though I don't think it's the only way. It should be remembered that democracy is not only the awareness of one's rights, but also of one's responsibilities. If those can be balanced, I think that conflict can be minimised.
Besides democratisation, good values, such as religious beliefs that are deeply rooted in individuals, certainly play a major role in reducing majority-minority issues. There is no religion that teaches aggression against minorities in its midst.
When you visited Israel and Palestine at the invitation of the Australian/Israeli Jewish Affairs Council (AIJAC), did you see a similar phenomenon to what you see in Australia or Indonesia?
The situation in Israel and Palestine is very different from the situation in Australia. However, something I noticed that was interesting in Israel and Palestine was that, at the grassroots level, individual Jews and Muslims actually need each other and depend on each other. Many Israeli houses are built by Palestinian workers. And several of the Palestinian journalists that I met preferred to live and work in Tel Aviv. Also, during a dialogue I observed between political leaders, such as former Israeli's Prime Minister Shimon Peres and the mayor of Ramallah, I felt their palpable desire to create peace.
In both the Middle East and South East Asia, how do you see the relationship between the Muslim world and the West?
There is an estrangement between the Muslim world and the West because of misunderstandings between the two communities. I think what is happening is a clash created intentionally by specific groups on both sides who have various ulterior motives.
I deeply encourage dialogue between civilisations, cultures, religions and/or beliefs. We need to know each other, and accept that we are indeed different, yet put those differences in the context of our different histories and of our commonalities. The media should play a major role by providing more accurate and fair information about both sides, making room for greater understanding and appreciation, and providing an alternative to the proverb "Unknown, therefore unloved".
* Wahyuana is a Jakarta-based journalist and founder of the Maluku Media Centre (MMC), an institution for peace, conflict resolution and peace journalism. This article was written for the Common Ground News Service (CGNews) and can be accessed at www.commongroundnews.org.
by Wahyuana
26 February 2008
Jakarta - Meutya Hafid is a global journalist. She was held hostage by a militant group while covering the war in Iraq, and recently travelled to Australia on a three-week exchange program after receiving Australia's Elizabeth O'Neil Award for Journalism. The award, granted to one Indonesian and one Australian, fosters mutual understanding between the two countries while promoting accurate and informed media coverage. Hafid speaks with journalist Wahyuana about her experiences in Australia and the Middle East, as well as her views on democracy, Jewish-Muslim relations and the role the media should play in encouraging dialogue instead of divisions.
What did you do while you were in Australia?
As we know, Australia is a country with a complex, multi-cultural migrant society. While I was there, I engaged in dialogue with Jewish and Muslim minorities, as well as certain racial minorities.
What is life like for minority groups in Australia, particularly Muslims?
Structurally, minorities receive equal treatment from the government, though socially they are often discriminated against by majority groups. For instance, Australian Muslim women are sometimes insulted and mocked because they wear hijab. However, minority groups have the right to bring up their concerns in public debate or before a human rights council, where the options are either negotiated settlement or going to court.
In Indonesia, there are many serious cases of discrimination that are mentioned only briefly in the media before being forgotten by the public. The case of Ahmadiyya, a Muslim community that believes the second advent of Jesus has been fulfilled, comes to mind. The community's mosques were recently vandalised by some groups that accused them of deviating from Islamic doctrine. Police took many Ahmadiyya followers "to safety", but in doing so gave the attackers virtual free rein to vandalise that property.
Do you believe that the issue of protection for minority rights is part of a clash of civilisations?
I don't see it as a clash of civilisations. It's a phenomenon that usually happens in countries with significant majority and minority groups. In Indonesia, this kind of racialism and/or discrimination sometimes emerges subconsciously, over ethnic and group differences.
Meanwhile, in Australia, immigrants come from many different cultures and countries – Europe, Asia, Africa, the Middle East and elsewhere. Integration takes time and does not always occur smoothly, yet in Australia all citizens are legally protected from discrimination, no matter where they come from or what colour their skin is. I think Australia can serve as a multi-cultural model.
What makes Muslim minorities in Australia appear to be better protected than Muslim minorities in Indonesia?
This may be because democracy is deeply rooted in government systems in Australia. Australian minority groups are also well aware of their rights. For example, in several states where migrant populations are dense, the police have created multicultural division units that not only take legal action over conflicts related to cultural differences, but are also responsible for building intercultural harmony. They work together with religious minorities and community leaders.
Is democracy the best way to protect minority rights?
I think democracy is one of the best ways, though I don't think it's the only way. It should be remembered that democracy is not only the awareness of one's rights, but also of one's responsibilities. If those can be balanced, I think that conflict can be minimised.
Besides democratisation, good values, such as religious beliefs that are deeply rooted in individuals, certainly play a major role in reducing majority-minority issues. There is no religion that teaches aggression against minorities in its midst.
When you visited Israel and Palestine at the invitation of the Australian/Israeli Jewish Affairs Council (AIJAC), did you see a similar phenomenon to what you see in Australia or Indonesia?
The situation in Israel and Palestine is very different from the situation in Australia. However, something I noticed that was interesting in Israel and Palestine was that, at the grassroots level, individual Jews and Muslims actually need each other and depend on each other. Many Israeli houses are built by Palestinian workers. And several of the Palestinian journalists that I met preferred to live and work in Tel Aviv. Also, during a dialogue I observed between political leaders, such as former Israeli's Prime Minister Shimon Peres and the mayor of Ramallah, I felt their palpable desire to create peace.
In both the Middle East and South East Asia, how do you see the relationship between the Muslim world and the West?
There is an estrangement between the Muslim world and the West because of misunderstandings between the two communities. I think what is happening is a clash created intentionally by specific groups on both sides who have various ulterior motives.
I deeply encourage dialogue between civilisations, cultures, religions and/or beliefs. We need to know each other, and accept that we are indeed different, yet put those differences in the context of our different histories and of our commonalities. The media should play a major role by providing more accurate and fair information about both sides, making room for greater understanding and appreciation, and providing an alternative to the proverb "Unknown, therefore unloved".
* Wahyuana is a Jakarta-based journalist and founder of the Maluku Media Centre (MMC), an institution for peace, conflict resolution and peace journalism. This article was written for the Common Ground News Service (CGNews) and can be accessed at www.commongroundnews.org.
Islamic finance is going global
by Wahyuana
05 February 2008
Jakarta - The 2008 Islamic Finance Festival (FES) was held in Jakarta from 16 to 20 January. Hosted by the Bank of Indonesia, this year’s theme was Islamic finance and banking for a prosperous Indonesia.
President Susilo Bambang Yudhoyono opened the event by describing how a system of Islamic banking had helped reduce the impact of the 1998 economic crisis in Indonesia. When conventional banks went bankrupt due to the hyper-devaluation of the Indonesian Rupiah (IDR), Islamic banking survived and became the backbone of Indonesian economy by channelling most of its funding to small- and medium-sized businesses.
Although the global share of Islamic finance and banking is still relatively small – comprising only 1.7% of total national economic assets in Indonesia – a shari’a-based economic market that follows the principles of Islamic law caters to the needs of around 200 million Muslims.
The current focus on Islamic banking in Indonesia came when, after observing the positive performance of the Islamic banks in Indonesia, the Indonesian government began to look at it as an alternative system with the potential to improve the economic situation of those people that were devastated by the 1998 crisis. On a larger scale, President Yudhoyono saw an opportunity for Indonesia to become the centre for Islamic finance and banking in Asia and the world.
An example of how Islamic banking differs from other types of banking is that Islamic banks often lend money to companies with floating interest rate loans. The floating rate of interest is pegged to the company's rate of growth. Thus, the bank's profit on the loan is equal to a certain percentage of the company's profits. Once the principal amount of the loan is repaid, the profit-sharing arrangement is concluded.
Another example is venture capital funding. An entrepreneur will provide labour and the bank will provide financing, so that both profit and risk are shared. Such participatory arrangements between capital and labour reflect the Islamic view that the borrower must not bear all the risk/cost of a failure, resulting in a balanced distribution of income and preventing the lender from monopolising the economy.
In an Islamic mortgage transaction, instead of lending the buyer money to purchase the item, a bank might buy the item from the seller, and re-sell it to the buyer at a profit, while allowing the buyer to pay the bank in instalments, with no additional penalties for late payment. In this third example, in order to protect itself against default, the bank requires strict collateral.
The benefits of Islamic finance have been recognised beyond Indonesia. The United Kingdom plans to issue and trade sukuk (non-interest bearing bonds) starting this year, denominated in sterling for the benefit of both local Muslims and others looking for exposure to sterling as a currency. In addition, there are a number of emerging European institutions, such as the Islamic Bank of Britain and the European Islamic Investment Bank. And Thailand and Singapore have begun to follow suit. In fact, along with Hong Kong, Singapore has become the most attractive Islamic finance market in Asia.
Global corporations, such as HSBC Amanah, Citibank Syariah, and Allianz Syariah, are also offering a number of Islamic finance alternatives in the insurance sector.
Deputy Governor of the Malaysian Central Bank, Dato’ Mohd Razif Abdul Kadir, says that there are currently 300 Islamic financial institutions operating in 76 countries in the world. The capitalisation of the global assets of Islamic finance has amounted to more than $1 trillion per year and the Dow Jones Islamic Index has reached $10 trillion. This share is still small compared to the total value of the global financial industry. In the past 20 years, however, the emergence of Islamic finance has become a stimulating phenomenon in the business world with a level of growth of 65% per year.
The temptation to engage in an industry with such growth levels is obvious.
Perhaps one of the most important benefits of Islamic finance is that it has proven to be a calm face for the global image of Islam, which over the years has been tainted by terrorism.
President Yudhoyono also claims that Islamic financial services are not only aimed at Muslim communities. There are common values in Islamic finance and banking, making it more accessible and acceptable for non-Muslims. An interest-free loan, for instance, is respected by all three Abrahamic faiths; passages referring to it can be found in the Qur’an (2:275, 278-279), and in other religious texts such as the New Testament of the Bible (Luke 6:34-35) and the Torah, or Old Testament (Exodus 22:25).
In addition, Islamic finance values equality, channelling credit to people through open investment opportunities, creditor-debtor loss and profit sharing.
Operating on such foundations makes Islamic finance and banking comparable to the idea of the “new monetary economy paradigm” outlined by Joseph E. Stiglitz, a 2001 Nobel laureate in Economy. Furthermore, all of these economic tenets are in line with the principles of democracy – an economy by the people and for the people, which is able to erase economic alienation.
* Wahyuana is a Jakarta-based journalist and founder of the Maluku Media Center (MMC), an institution for peace, conflict resolution and peace journalism. This article is written for the Common Ground News Service (CGNews) and can be accessed at www.commongroundnews.org.
by Wahyuana
05 February 2008
Jakarta - The 2008 Islamic Finance Festival (FES) was held in Jakarta from 16 to 20 January. Hosted by the Bank of Indonesia, this year’s theme was Islamic finance and banking for a prosperous Indonesia.
President Susilo Bambang Yudhoyono opened the event by describing how a system of Islamic banking had helped reduce the impact of the 1998 economic crisis in Indonesia. When conventional banks went bankrupt due to the hyper-devaluation of the Indonesian Rupiah (IDR), Islamic banking survived and became the backbone of Indonesian economy by channelling most of its funding to small- and medium-sized businesses.
Although the global share of Islamic finance and banking is still relatively small – comprising only 1.7% of total national economic assets in Indonesia – a shari’a-based economic market that follows the principles of Islamic law caters to the needs of around 200 million Muslims.
The current focus on Islamic banking in Indonesia came when, after observing the positive performance of the Islamic banks in Indonesia, the Indonesian government began to look at it as an alternative system with the potential to improve the economic situation of those people that were devastated by the 1998 crisis. On a larger scale, President Yudhoyono saw an opportunity for Indonesia to become the centre for Islamic finance and banking in Asia and the world.
An example of how Islamic banking differs from other types of banking is that Islamic banks often lend money to companies with floating interest rate loans. The floating rate of interest is pegged to the company's rate of growth. Thus, the bank's profit on the loan is equal to a certain percentage of the company's profits. Once the principal amount of the loan is repaid, the profit-sharing arrangement is concluded.
Another example is venture capital funding. An entrepreneur will provide labour and the bank will provide financing, so that both profit and risk are shared. Such participatory arrangements between capital and labour reflect the Islamic view that the borrower must not bear all the risk/cost of a failure, resulting in a balanced distribution of income and preventing the lender from monopolising the economy.
In an Islamic mortgage transaction, instead of lending the buyer money to purchase the item, a bank might buy the item from the seller, and re-sell it to the buyer at a profit, while allowing the buyer to pay the bank in instalments, with no additional penalties for late payment. In this third example, in order to protect itself against default, the bank requires strict collateral.
The benefits of Islamic finance have been recognised beyond Indonesia. The United Kingdom plans to issue and trade sukuk (non-interest bearing bonds) starting this year, denominated in sterling for the benefit of both local Muslims and others looking for exposure to sterling as a currency. In addition, there are a number of emerging European institutions, such as the Islamic Bank of Britain and the European Islamic Investment Bank. And Thailand and Singapore have begun to follow suit. In fact, along with Hong Kong, Singapore has become the most attractive Islamic finance market in Asia.
Global corporations, such as HSBC Amanah, Citibank Syariah, and Allianz Syariah, are also offering a number of Islamic finance alternatives in the insurance sector.
Deputy Governor of the Malaysian Central Bank, Dato’ Mohd Razif Abdul Kadir, says that there are currently 300 Islamic financial institutions operating in 76 countries in the world. The capitalisation of the global assets of Islamic finance has amounted to more than $1 trillion per year and the Dow Jones Islamic Index has reached $10 trillion. This share is still small compared to the total value of the global financial industry. In the past 20 years, however, the emergence of Islamic finance has become a stimulating phenomenon in the business world with a level of growth of 65% per year.
The temptation to engage in an industry with such growth levels is obvious.
Perhaps one of the most important benefits of Islamic finance is that it has proven to be a calm face for the global image of Islam, which over the years has been tainted by terrorism.
President Yudhoyono also claims that Islamic financial services are not only aimed at Muslim communities. There are common values in Islamic finance and banking, making it more accessible and acceptable for non-Muslims. An interest-free loan, for instance, is respected by all three Abrahamic faiths; passages referring to it can be found in the Qur’an (2:275, 278-279), and in other religious texts such as the New Testament of the Bible (Luke 6:34-35) and the Torah, or Old Testament (Exodus 22:25).
In addition, Islamic finance values equality, channelling credit to people through open investment opportunities, creditor-debtor loss and profit sharing.
Operating on such foundations makes Islamic finance and banking comparable to the idea of the “new monetary economy paradigm” outlined by Joseph E. Stiglitz, a 2001 Nobel laureate in Economy. Furthermore, all of these economic tenets are in line with the principles of democracy – an economy by the people and for the people, which is able to erase economic alienation.
* Wahyuana is a Jakarta-based journalist and founder of the Maluku Media Center (MMC), an institution for peace, conflict resolution and peace journalism. This article is written for the Common Ground News Service (CGNews) and can be accessed at www.commongroundnews.org.
Subscribe to:
Posts (Atom)