Friday, September 02, 2005

Pelobi Dibalik Helsinki

Pengalaman ikut terlibat dalam perundingan damai Malino I dan II membuat dokter Farid Husain tak hanya pandai mengobati pasien. Tapi juga mempunyai resep-resep jitu dalam upaya 'penyembuhan' konflik. "Sederhana saja kok, seperti kalau kita hendak menyatukan kembali pasangan pisah ranjang itu lho," ujar Farid Wagjdi Husain, ketika diminta cerita apa resep rahasia dari pekerjaan sampingan dia sebagai pialang penyelesaian konflik.

Farid Husain suka memakai metafor 'keluarga' sebagai kerangka memahami konflik-konflik yang terjadi di Indonesia. "Seperti problem suami istri dalam keluarga, memang ada masalah dalam rumah tangga tapi belum sampai terjadi perceraian, malahan sebenarnya masih saling menyayangi. Makanya saya percaya dialog sangat dibutuhkan untuk mencari solusi perselisihan itu," ujar dokter spesialis bedah dalam yang juga Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan yang ditemui Forum Keadilan di sela-sela acara sosialisasi hasil-hasil perundingan MoU RI-GAM di Helsinki, Finlandia, yang diadakan kantor Menko Polkam, tanggal 20 Agustus 2005, di Hotel Borobudur, Jakarta.

Sebagai 'the man behind scene' tidak banyak orang yang tahu kalau dia telah memberikan kontribusi yang besar dalam jalan menuju perundingan damai Malino I untuk menyelesaikan konflik Poso, perundingan Malino II untuk menyelesaikan konflik di Ambon dan Maluku, dan sekarang perundingan monumental RI-GAM di Helsinki yang akan mengakhiri 30 tahun konflik bersenjata di Aceh.

Ihwal keterlibatan Farid Husain dalam perundingan Helsinki bermula pada sekitar bulan Agustus 2003, ketika Ia diminta oleh Yusuf Kalla, ketika itu masih menjabat sebagi Menko Kesra, untuk menjajaki kemungkinan mengupayakan perdamaian di Aceh yang lebih mapan, permanen dan mampu mengakhiri konflik disana yang telah berlarut-larut menelan korban diperkirakan sampai 15.000 orang. Setelah pada bulan sebelumnya, draft damai melalui COHA (Cessation of Hostilities Agreement- Kesepakatan Penghentian Permusuhan) mengalami kegagalan pelaksanaan di lapangan yang kemudian mendorong terjadinya penerapan darurat militer di Aceh.

"Saya merasa permintaan Pak Yusuf itu sudah merupakan perintah. Apalagi Pak Yusuf Kalla telah meyakinkan bahwa konflik di Aceh pun bisa dihentikan karena masyarakat disana sebenarnya sudah lelah didera konflik. Program ini pun ketika itu juga mendapat restu dan lampu hijau dari ibu Presiden Megawati Soekarnoputri. Dan kemudian menjadi semakin lancar ketika pasangan SBY-Kalla memenangi Pemilu 2004," ujar Farid Husain.

Setelah mendapat tugas suci itu Farid Husain pun segera turun ke lapangan. Farid yang pandai berteman, dan luwes bergaul itu mulai bergerilya membina hubungan-hubungan dekat 'emosional' dengan para anggota GAM. Farid tak segan untuk mengajak makan bersama atau sekedar pelancong menghabiskan waktu untuk meningkatkan kepercayaan persahabatan. "Agar upaya resolusi konflik itu mapan, harus melibatkan semua kelompok," ujar Farid. Ia pun membagi lobi ke GAM ke dalam 5 kelompok, yaitu GAM Militer, GAM pemerintahan di Swedia, GAM civil society, GAM New York, dan GAM kota-kota besar lain di dunia.

Sampai Ia kemudian berjumpa dengan Muhyidin dari kelompok GAM Civil Society yang ternyata mempunyai relasi luas di dalam struktur GAM yang telah diaspora ke berbagai belahan dunia dan menghantarkan Farid melakukan pertemuan-pertemuan kalangan penting GAM. Namun lobi masih belum tumbuh ke pembicaraan diplomasi.

Titik terang suatu ketika di bulan Januari 2005 ketika Farid Husain kedatangan Juha Christensen, seorang bule warga Swedia sales peralatan kedokteran, yang sebelumnya selama beberapa tahun pernah mengadakan penelitian Antropologi di Universitas Hassanuddin, Makassar, tempat Farid Husain juga bekerja sebagai dosen di Fakultas Kedokteran sebelum melangkah ke putaran jabatannya sekarang di Depkes dan kantor Menko Kesra.

Dalam pertemuan itu ternyata Juha tidak cuma menawarkan barang-barang dagangannya seperti alat-alat kedokteran tapi dia juga menawarkan seepboat dan belakangan juga menyatakan mengenal beberapa tokoh teras pimpinan GAM di Swedia, yang beberapa di antaranya juga mempunyai bisnis di bidang farmasi.

Setelah pertemuan itu Juha Christensen dapat kepercayaan untuk jadi 'broker' lobi Farid ke pimpinan-pimpinan GAM di Swedia dan juga ke pemerintah Swedia.

Pada bulan Januari 2005, Juha sempat mengatur sebuah pertemuan orang-orang GAM dengan Farid Husain. Tiga orang GAM, diantaranya Abdullah Zaini dan Bachtiar Abdullah, ketika bertemu di hotel tempat pertemuan ternyata hanya sambil lalu, bahkan tidak menyapa sama sekali Farid Husain. "Saya sebenarnya mendongkol sekali, tapi tetap tidak boleh marah," ujar Farid Husain. Hati mendongkol memang kerap menghampiri para pekerja lobi seperti Farid Husain.

Hadiah hiburan atas kekesalan Farid Husain ternyata justru menjadi jembatan utama ke arah perundingan Helsinki. Ketika Juha Christensen kemudian memperkenalkan Farid Husain dengan pemimpin redaksi Souman Kuvaletti, sebuah majalah terkenal di Swedia, yang kemudian membawa jalan bagi Farid untuk bertemu dengan ketua Crisis Management Initiative (CMI), Martti Ahthisaari (67) mantan perdana menteri Swedia !996-2000 yang dikenal sebagai mediator ulung, yang juga mempunyai pengalaman jam terbang tinggi dalam keterlibatan di bidang resolusi konflik di sejumlah negara seperti konflik Balkan, Irlandia dan Namibia.

Pertemuan dengan Martti Ahthisaari ternyata menunjukkan lampu hijau yang menggembirakan, Martti Ahthsaari mau menerima tawaran untuk bertindak sebagai mediator dan fasilitator bagi perundingan RI-GAM.

Lobi Farid Husain dan pertemuan-pertemuan pun terus berlanjut. Apalagi kemudian terjadi peristiwa bencana tsunami di bulan Desember yang menghancurkan seluruh sendi kehidupan orang Aceh, sehingga seakin mendesak keperluan untuk diadakannya perundingan RI-GAM guna mencari solusi damai di Aceh untuk memberi kesempatan rehabilitasi pasca tsunami.

Sebagai langkah awal sebuah perundingan informal pun mulai diadakan. Perundingan pertama dimulai pada tanggal 28 Januari 2005. Delegasi Indonesia diwakili lima orang yaitu Menteri Huku dan HAM Hamid Awaluddin selaku ketua delegasi, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djali, Farid Husain, Deputi Menko Polkumkam Mayjend. (Purn.) Usman Basyah dan Direktur HAM, Kamanusiaan, dan Sosial Budaya I Gusti Agung Wesaka Puja.

Sedangkan dari pihak GAM delegasi terdiri dari 3 utusan GA Swedia yaitu Malik Mahmud selaku ketua delegasi, Zaini Abdullah, dan Bachtiar Abdullah, ditambah 1 GAM Australia Nurdin Abdul Rachman dan 1 GAM Singapura Nurjuli.

"Meskipun sudah memasuki perundingan, peran saya masih tetap sama, lebih berperan sebagai cuci-cuci," ujar Farid Husain. Istilah cuci-cuci hanya sebagai joke dari Farid Husain untuk mengistilahkan tugasnya yang lebih berfungsi melakukan pendekatan-pendekatan informal dan emosional dengan tim dari GAM. Tim delegasi memang berbagi tugas, Hamid Awaluddin dan Sofyan Djalil sebagai juru bicara yang mewakili delegasi untuk tampil ke public, Mayjen. (Purn) Usman Basyah sebagai pemasok data-data yang diperlukan, I Gusti Agung Wesaka Puja sebagai ahli tata bahasa draft-draf kesepakatan, sedangkan Farid Husain sebagai penghubung antar anggota delegasi.

"Misalnya ketika terjadi ketegangan dalam perundingan, nah tugas saya setelah break perundingan untuk mencairkan suasana. Makanya saya lebih sering berada di kamar delegasi GAM untuk ngobrol, senda gurau, dan mencairkan suasana. Sekaligus untuk memahami secara langsung apa saja inspirasi dari suara-suara GAM tiap kota besar, yang selalu menelpon memberi masukan ke delegasi. Hampir semua pendapat GAM perwakilan ditampung, sehingga MoU itu juga hasil dari draft usulan-usulan semua komponen GAM," ujar Farid Fusain.

Keluwesan dan keakraban Farid tampaknya memang menjadi modal utama dalam memuluskan perundingan itu. Ketegangan yang sempat muncul ketika putaran pertama diselesaikan dengan cara main sky bareng-bareng di Lahti, sebuah kawasan wisata salju terkenal di Swedia. "Semua delegasi sudah pulang ke Indonesia, tinggal saya sendiri. Dan kemudian main dengan Juha dan semua delegasi GAM ke Lahti, kita main-main disana selama beberapa hari, cari makanan ringan terus makan bareng-bareng. Karena saya dokter, saya juga perhatian sama kesehatan mereka," kenang Farid Husain. Dan dia tidak mau mengaku berapa biaya yang dikeluarkan untuk menanggung semua proses lobinya yang sukses ini.***

by Wahyuana
The article was published at Forum Keadilan Magazine

No comments: